Showing posts with label filsafat. Show all posts
Showing posts with label filsafat. Show all posts

Sunday, October 1, 2017

Filsafat Islam | Pengaruh Filsafat Muhammad Iqbal di Masa Kini | Sinau Filsafat

Pengaruh fisafat Iqbal yang paling signifikan adalah tentang sistem politik Negara Islam. Yang tidak terlepas dari cita-cita tentang keadilan sosial. Hal ini banyak mengisnpirasi para tokoh-tokoh seperti Sayyid ‘Ali Khamene’i, ‘Ali Syari’ati, dan Murtadha Muthahhari. Ketiga tokoh yang disebutkan merupakian para pelaku revolusi Iran yang menajdikan negara Iran sebagai Negara Islam.


Makalah-Filsafat-Islam


Akan dirangkumkan lima pokok pemikiran Muhammad Iqbal yang sampaikan sekarang masih menjadi rujukan para intelektul dari kalangan muslim dan non-muslim.


  1. Memandang sejarah sebagai gerakan progresif. Iqbal memulai argumentasinya dengan menunjukkan sifat teleologis (kebertujuan) alam semesta ciptaan Tuhan. Selanjutnya, dalam proses pergerakan menuju tujuan penciptaan itu, Iqbal menunjukkan sifat dinamis penciptaan itu sendiri. Iqbal melihat waktu sebagai sesuatu yang sakral sehingga ia mengutip sebuah hadist Qudsi yang melarang “mencaci waktu (dahr)” karena “waktu adalah Allah”
  2. Ijtihad sebagai sokoguru gerak Islam. Ijtihad merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk mengerahkan pemikiran-pemikiran dalam rangka menanggapi aksi Allah, menjawab tantanganNya yang terus menerus menambahkan ciptaan baru itu. Dengan ijtihad bukannya mengadung distorsi terhada ajaran Islam yang auntentik. Justru merupakan inti khilafah. Iqbal mnyebutnya kemitraan dengan Allah.
  3. Penegasan kembali konsep Alquran mengenai alam semesta empiris sebagai tanda-tanda (ayat) Allah. Kendatipun demikian, penghargaan al-Quran terhadap empiris sama sekali tak mengurangi penekanannya kepada rasio sebagai fakultas untuk mendapatkan kebenaran . 
  4. Intuisi sebagai kelanjutan rasio, meski pada tataran yang lebih tinggi. Lebih dari pada itu Iqbal menunjuk pada peran intelek (intuisi atau qalb/fu’ad) yang mampu mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi. Berbeda dengan pemikir Muslim yang lain seperti Al-Ghazali yang terkadasng terkesan mempertentangkan rasio dengan intuisi.
  5. Menegaskan penekanan al-Quran kepada amal. Yakni, setelah segenap penghargaanya kepada alam empiris, rasio, dan intusisi, itu akhirnya keberadaan seseorang dinilai dari kualitas amalnya. Butir terak ini kiranya melengkapi sifat pemikiran Iqbal yang dalam segenap intelektualismenya yang terkadang amat liberal, dinamistik, dan aktivistik ( Khamenei, Syariati, 2002: vii-ix).


Read more

Perempuan dan Tasawuf - Sinau Filsafat

Apakah ada kajian tentang laki-laki? Pertanyaan ini muncul, ketika realita
menunjukkan bahwa sangat banyak sekali yang mengkaji seputar perempuan. Seakan-akan
dunia adalah milik laki-laki dan perempuan sebagai obyek yang diperbincangkan dan
berhak untuk dikuliti dari berbagai penjuru. Akan tetapi jika tidak mengangkat isu-isu
perempuan, realita menunjukkan perempuan sering mengalami penindasan.
 

Banyak pihak dengan beragam pendekatan berjuang untuk memposisikan perempuan pada tempatnya,
dan persoalan yang muncul apakah sama antara laki-laki dan perempuan? Ada yang berpendapat sama dan ada yang berpendapat berbeda. Pertanyaan lain muncul kenapa jika perempuan dan laki-laki berbeda, dan kenapa jika keduanya sama? Apakah jika berbeda harus dipertentangkan? Tulisan ini muncul dari kejenuhan melihat keduanya dipertentangkan dan  einginan untuk mencari sebuah warna

baru yang lebih ramah, dan menimalisir munculnya polemik yang baru. Dan melihat
kondisi perempuan yang dianggap "rendah" serta posisinya "di bawah laki-laki", terutama dalah hal spiritualitas maka tulisan ini menggunakan prespektif tasawuf.  Dimana tasawuf sangat dekat bahkan bertalian erat dengan perkara spiritualitas. Selain itu, tasawuf merupakan khasanah keilmuan Islam yang ramah terhadap segala perbedaan, karena tasawuf lebih menitikberatkan pada sisi esoteris, yang tidak melihat sisi luar dari seseorang, begitu pula dengan jenis kelaminnya. Tulisan ini menggunakan pendekatan filosofis, lebih
tepatnya menggunakan kacamata tasawuf.

Tasawuf merupakan khasanah keilmuan Islam yang terlepas dari sekat-sekat yang
ada, lebih ramah dengan berbagai perbedaan. Karena tasawuf tidak berbicara tentang
aspek fisik atau materi, akan tetapi lebih bahkan melampauinya. Berdasarkan pemahaman
tersebut, penulis mencoba melihat berbagai polemik yang dihadapi oleh perempuan
dengan menggunakan prespektif tasawuf. Berbeda dengan khasanah keilmuan Islam
lainnya, seperti Fiqh dan Ilmu kalam, tasawuf menampilkan Tuhan dengan sangat ramah,
sisi feminin Tuhan lebih ditonjolkan, sehingga perempuan yang selalu dianggap sangat kental sisi femininnya memiliki kedudukan karena ternyata Tuhan juga memiliki sisi
feminin. Sedang kedua keilmuan di atas lebih menunjukkan sisi maskulin Tuhan, dan
kedua keilmuan tersebut banyak diminati orang sehingga Islam terkesan sangat kasar
terhadap perempuan.
Anggapan bahwa perempuan memiliki spiritualitas yang rendah tidaklah beralasan,
karena sifat feminin yang dimilikinyalah sebenarnya yang memudahkannya berhubungan
dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya tasawuf tidak mengunggulkan jenis kelamin
seseorang yang lebih dilihat bagaimana kedudukannya di hadapan Tuhan. Dalam prespektif
tasawuf perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukan untuk dipertentangkan karena
keduanya saling melengkapi, jika mempertentangkan keduanya, semua yang terkait dengan
relasi keduanya tidak akan berakhir. Perempuan dengan kecenderungan femininnya dan
laki-laki dengan maskulinnya, jika keduanya disatukan mengeejawantahkan diri Tuhan,
karena Tuhan memiliki sisi feminin maupun maskulin.

Read more

Saturday, September 30, 2017

Outline The Thought Of David Hume - Sinau Filsafat

Short BiographyHume was born in Edinburgh, Scotland on 26 April 1711 with the name was originally David Home. But in 1734 he changed his name because in the United Kingdom the difficulty pronouncing "Homewith a Scottish accent. Hume was the son of Joseph Shrinside and couples Khaterine Falcorner. But his father died when the age of Hume was a child, so he was raised by his mother.


david-hume

Hume have enrolled in the University of Edinburgh to study classical literature. thenhe decided to come out of University and chose to go to France to finally be a great philosopher. Hume reached its peak as a historian in his work The History Of England. The paper describes the search events from the invasion of Julius Caesar to the revolution of 1688, which is a best seller in one day. David Hume in his view, that onlyreligion can deflect others from their everyday lives to think about things pertaining to politics.
The thought of David Hume was heavily influenced by the empiricism of John Lockeand George Berkeley, a few French-speaking writers such as Pierre Bayle, and also figures in the intellectual community Foundation United Kingdom such as Isaac Newton, Samuel Clarke, Francis Hutcheson, Adam Smith, and Joseph Butler. Hume died at age 65 in the year 1776 in his hometown of Edinburgh, Scotland. And throughout his life, Hume never married.

Outline The Thought Of David Hume

Hume States that human beings are driven to do the positive traits that not by moral feeling but rather the ratio. With the ratio of man produces a tool or a way to reach pleasure, but which drove the action it is the feeling of moral work subjectively based on self-love (which is useful in order to make ourselves feel scrumptious) and sympathy (making others also felt deliciously and protect others from fear). Sympathy it according to Hume, encouraging humans to cultivate public welfare and justice as the protection of their rights (Copleston, 1993:337-338). Hume added that feelings of Justice that human nature is owned artificial, not natural.New justice evolved after humans dealing with social problems. Everyone agreed to the demands of Justice and stick to it through refraction to follow rules based on sympathy-sympathy we feel for others. To engage in justice that each should adhere to the agreement and otang rules together.
In ethical Hume also discard all forms of causality, as common sense can only point to the existence of an act of a certain alignment of that de facto exists with a particular purpose that de facto exists, or by a specific regulation which de facto there. Just feeling that give the nature of the good or evil in morality to a certain deeds. Therefore the feelings and belief are important in ethics.
Read more

Epistemologi Abid Al Jabiri - Filsafat Islam

Sinau Filsafat - Kali ini akan membahas tentang Epistemologi dari filsuf Muhammad Abid Al-Jabiri. Sekilas biografi nama lengkap Muhammad Abid al Jabiri lahir di maroko, ia dosen filsafat dan pemikiran isalam di fakultas sastra, Universitas Muhamad V, Rabat, Maroko. Ia juga seorang yang menggemari pemikiran Karl Marx. Meskipun ia membatasi diri hanya pada Islam - Arab ia membangun metodologi sendiri. ia juga termasuk pemiki kaum strukturalis, postrukturalis, dan posmodernis.


Baca : Manusia dalam Perpekstif Islam

Epostemologi Abid Al Jabiri
Epistemologi Abid al jabiri dibagi menjadi 3 kerangka yaitu ; Bayani, Irfani, dan Burhani. Mari kita sedikit ulas 3 hal tersebut.

  1. Bayani, adalah metode berfikir yang mempunyai ciri khas arab-islam, mengutamakan teks secara langsung dan tidak langsung, serta melalui pembenaran oleh pemikiran bahasa yang diacu melalui literasi/ buku pustaka yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits. Ushul dan furu', ushul adalah ujung rantai dari hubungan timbal balik dengan furu', menurut jabir ushul di sini tidak menunjuk pada dasar-dasar hukum fiqh, seperti al-quran, ijma', sunnah, dan qiyas, tetapi pada pengertian umum bahwa ia adalah pangkal dari proses pengalian pengetahuan. Peranan dan hubungan ushul dengan furu' mencakup sebagai sumber pengetahuan, sebagai sandaran bagi pengetahuan lain, dan sebagai pangkal proses pembentukan. Menurut Jabir, lafadz makna mengandung dua aspek yaitu; Teori dan Praktis. Dari sisi teori muncul tiga persoalan. Pertama, tentang makna suatu kata. Kedua, tentang analogi bahasa. Ketiga, tentang pemaknaan al asma asy-syar'iah, seperti kata zakat, sholat, puasa, dan lain sebagainya. Untuk cara jabir memperoleh pengetahuan ada dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi teks. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika.
  2. Irfani, adalah pengetahuan yang didasarkan pada tersingkapnya rahasia-rahasia realita oleh Tuhan, diperoleh dengan olah nurani. Irfan dibagi menjadi 3 tahapan; Persiapan, Pengungkapan, dan Penerimaan. Tahap Persiapan memiliki 7 tahapan; Tobat, Wara, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakkal, dan Ridha. Beberapa pengkaji masalh irfani atau mistik membagi pengetahuan ini dalam beberapa tingkatan; Pertama, pengetahuan tak terkatakan. Kedua, Pengetahuan irfan atau mistisisme. Ketiga, Pengetahuan metasisisme yang terbagi menjadi dua; pertama, 1 orang ketiga masih dalam tradisi yang bersangkutan, kedua 2 orang ketiga dari tradisi yang berbeda.
  3. Burhani, adalah pengetahuan yang di landaskan atas rasio/akal. Menurut Jabir, rasio memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat indra, yang dikenal dengan istilah tassawur dan tasdiq. Burhani menggunakan aturan silogisme, tidak murni rasio tapi juga didasari atas rasio objek-objek eksternal. Silogisme dalam burhani terbagi menjadi 3 tahapan; Tahapan pengertian, tahapan pernyataan, dan tahapan Penalaran.
Baca Juga : Makalah Filsafat Islam Muhammad Iqbal

Dari ketiga hal yang sudah dijelaskan diatas, perbedaannya ialah; epistemologi bayani menghasilkan pengetahuan melalui analogi non fisik kepada yang asal, Epistemologi Irfani menghasilkan pengetahuan melalui proses penyatuan rohani kepada Tuhan dengan penyatuan Universal, sedangkan Epistemologi burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika berdasarkan atas pengetahuan sebelumnya yang sudah diyakini kebenarannya. Kesimpulannya pengetahuan atas hikmah yang didapat tidak dihasilkan oleh kekuatan rasio saja, namun juga melalui proses pencerahan rohani dan semua itu dengan memakai argumen rasional.

Note : Bayani = Teks Suci, Irfani = Intuisi, Burhani = Rasio
Read more

Friday, September 29, 2017

AIDIT, POLITISI YANG MALAS GOSOK GIGI? - Sinau Filsafat

Ketika seorang jurnalis bertanya, peserta yang baru selesai menonton filem G30S/PKI berpendapat bahwa melalui filem itu orang akhirnya mengerti bagaimana kekejaman PKI sedia kala.


Pendapat mengani filem sebagai representasi dari suatu peristiwa perlu digaris bawahi. Alih-alih merupakan gambaran sebenarnya, filem adalah produk kreatif manusia. Dalam studi bahasa, masalah representasi semacam itu menjadi wilayah kajian wacana. Wacana dalam hal ini dilihat dari sudut pandang kritis. Mohammad A. S. Hikam (1996) menjelaskan bahwa terdapat tiga paradigma dalam kajian bahasa, salah satu diantaranya ialah paradigma kritis. Dalam pandangan ini, bahasa dipahami sebagai alat dominasi antar golongan. Berlainan dengan paradigma positivistik, yakni anggapan bahwa bahasa mampu mewadahi peristiwa secara otentik apa adanya, paradigma kritis justru menganggap peristiwa mengalami pembiasan.

Contoh kasus ialah saat terjadi aksi menuntut Ahok beberapa waktu lalu, beberapa media memberitakan peristiwa itu secara berbeda. Salah satu menggambarakan kejadian itu sebagai 'demo rusuh', sedangkan yang lain menyebutnya 'demo bela Islam'. Apa gerangan yang terjadi? Mengapa peristiwa yang sama dilukiskan secara berbeda? Di sinilah paradigma kritis menyadari peran ideologi dalam menceritakan ulang sebuah peristiwa. Van Dijk (1997) berpendapat bahwa pilihan kata seperti itu memang erat kaitannya dengan nilai-nilai dan kepentingan pihak di belakang media. Bagi penulis yang tidak sependapat dengan demonstrasi itu menggambarkannya dengan cara yang cenderung negatif. Sebaliknya, media yang sejalan akan menceritakannya dengan nada penuh heroisme.

Lalu bagaimana dengan filem? Filem sejatinya juga merupakan bahasa. Bedanya jika dalam tuturan dan tulisan mediumnya adalah bunyi  dan grafis, sedangkan dalam filem mediumnya berupa gambar. Lebih tepatnya berupa motion picture. Meskipun dalam filem juga terdapat dialog maupun monolog yang menggunakan tuturan. Jadi filem sesungguhnya juga berperan sebagai media komunikasi yang menghubungkan antara komunikator dengan komunikan melalui sinema. Merunut gagasan paradigma kritis sebelumnya, filem dengan demikian juga tidak lepas dari ideologi dan kepentingan pihak yang berada di balik layar. Sebuah peristiwa yang direpresentasikan melalui filem ada kemungkinannya dibiaskan sesuai dengan ideologi dan kepentingan pihak yang bersangkutan.

Dalam kaitannya dengan hal itulah kita perlu membukan kembali catatan yang ditinggalkan oleh Wijaya Herlambang. Dalam karya berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965 (2013), dia mengungkap bagaimana alat ideologis Orde Baru seperti filem G30S/PKI bekerja untuk memperkuat dominasi politik Soeharto. Menurutnya, penggambaran terhadap komunisme dalam filem itu melegitimasi kekerasan yang menimpa orang-orang yang dituduh anggota PKI. Memang, filem itu menggambarkan PKI sebagai kelompok yang keji dan kotor. Bahkan ada penggalan dalam filem itu yang menarik perhatian saya, yakni adegan meng-clouse up mulut Aidit ketika tengah terjadi rapat untuk merencanakan penculikan para jendral. Penggalan itu memperlihatkan gigi Aidit yang nampak kotor, hingga kemudian menciptakan kesan yang menjijikkan.

Ideologi bekerja dalam ruang produksi. Seorang sutra dara mengarahkan proses pembuatan filem
mulai dari pengambilan gambar hingga proses editing yang harus disesuaikan dengan kehendak pihak-pihak yang berada di baliknya, layaknya Orde Baru melalui filem G30S/PKI. Kerja di ruang produksi ini akan menentukan mana sisi yang perlu untuk ditonjolkan dan mana yang harus disembunyikan, termasuk bagaimana penggambaran dilakukan. Maka, sulit untuk mengatakan bahwa filem G30S/PKI merupakan gambaran sesungguhnya mengenai peristiwa penculikan dan pembunuhan para jendral kala itu.

Konstruksi simbol seperti gambar, bunyi, dan tuturan berperan ampuh dalam menciptakan kesadaran dan mempengaruhi psikologis dari masyarakat. Sebuah penggambaran tertentu akan cenderung dipilih dibandingkan dengan yang lain untuk tujuan mencapai target yang dikehendaki. Maka filem G30S/PKI sulit untuk dipisahkan dari upaya dramatisasi Orde Baru. Begitu juga saya pun sangsi bahwa Aidit adalah politisi sekaligus tokoh partai komunis yang malas gosok gigi.

 ( Zalkhoiri,  Solo, 29/09/2017 )
Read more

Aku Berpikir, Maka Aku… Menderita - Sinau Filsafat

Aku berfikir- maka aku adaKali ini Sinau Filsafat akan membagikan artikel yang di tulis oleh mas Reza A.A Wattimena. Beliau Dosen di Unika Widya Mandala Surabaya, Doktor Filsafat dari Universitas Filsafat Muenchen, Jerman. Tulisan ini Begitu menarik dan berguna. Tulisan ini pernah di muat di Rumahfilsafat(dot)com.


Sejak kecil, kita diajar untuk menjadi pintar. Kita diajar untuk melatih pikiran kita, sehingga menjadi pintar. Dengan kepintaran tersebut, kita dianggap bisa hidup dengan baik di kemudian hari. Kita juga bisa menolong orang lain dengan kepintaran yang kita punya.

Hal ini bukan tanpa alasan. Dengan pikiran, manusia menciptakan filsafat. Dari filsafat kemudian berkembanglah beragam cabang ilmu pengetahuan, seperti kita kenal sekarang ini. Dari situ lahirlah teknologi yang kita gunakan sehari-hari.

Akal Budi di Eropa

Di dalam sejarah Eropa, penggunaan akal budi manusia untuk berpikir menandakan lahirnya era baru di masa Yunani Kuno, sekitar 2300 tahun yang lalu. Cara berpikir mistik mitologis digantikan dengan cara berpikir logis rasional. Dunia tidak diatur oleh para dewa yang saling membenci, melainkan oleh hukum-hukum rasional yang bisa dipahami dengan akal budi. Dengan memahami hukum-hukum alam, manusia lalu bisa menguasai alam itu untuk kepentingannya.

Di era abad pertengahan, yakni sekitar tahun 1300-an di Eropa, penggunaan akal budi secara mandiri juga membuka era baru, yakni era renaisans yang kemudian mendorong era pencerahan (Aufklärung) Eropa. Orang lalu keluar dari fanatisme agama, dan mulai berani menata kehidupan pribadi maupun bersama dengan prinsip-prinsip yang masuk akal. Penggunaan akal budi secara mandiri dianggap sebagai jalan keluar dari segala bentuk kebodohan. Atmosfer optimisme terhadap perkembangan peradaban manusia terasa kuat di udara.

Di dalam filsafat dikenal argumen dari Rene Descartes, yakni aku berpikir, maka aku ada. Pikiran dianggap sebagai inti dari pribadi manusia. Pikiran juga dianggap sebagai satu-satunya hal yang tak terbantahkan keberadaannya, menurut Descartes. Sejak saat itu, penyelidikan mendalam terhadap struktur berpikir manusia pun dimulai.

Puncaknya, pada hemat saya, ada di dalam filsafat pengetahuan Immanuel Kant. Ia menegaskan, bahwa pikiran manusia bergerak dengan beragam kategori (Kategorien der Vernunft). Dengan beragam kategori ini, yakni ruang, waktu, substansi, esensi, dan sebagainya, manusia bisa memahami dunianya. Dengan kata lain, pikiran manusia “menciptakan” dunia, yakni dunia sebagaimana dihidupinya.

Masalahnya

Optimisme terhadap pikiran manusia itu pun runtuh, sejalan dengan berubahnya waktu. Penjajahan Eropa atas seluruh dunia, perbudakan, pembunuhan massal, genosida dan dua perang dunia yang menghancurkan banyak negara membuka sisi gelap dari pikiran manusia. Akal budi berubah menjadi semacam alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang justru tidak rasional, seperti perang dan perbudakan. Akal budi menciptakan cara pandang dualistik-antagonistik yang melahirkan perbedaan kawan-lawan.

Cara pandang dualistik yang memisahkan dan membuat tegangan antar manusia inilah akar dari segala konflik yang ada. Kita melihat orang lain sebagai sosok yang berbeda, bahkan musuh. Kita juga melihat alam sebagai sesuatu yang terpisah, yang bisa diperas untuk kepentingan kita. Pada tingkat pribadi, cara pandang dualistik antagonistik ini melahirkan kecemasan yang mendalam di dalam diri manusia, karena perasaan terpisah dengan alam dan manusia lain yang begitu kuat.

Adorno dan Horkheimer melihat semua gejala ini sebagai sebuah krisis. Mereka menyebutnya sebagai dialektika pencerahan (Dialektik der Aufklärung). Intinya adalah, bahwa akal budi telah berubah menjadi mitos baru. Ia adalah pembebas yang kini justru menjadi penjara baru bagi hidup manusia yang melahirkan banyak masalah.

Di dalam bukunya yang berjudul Teori Tindakan Komunikatif (Theorie des kommunikativen Handelns), Jürgen Habermas menawarkan jalan keluar dengan memahami akal budi sebagai akal budi komunikatif (kommunikative Vernunft). Sisi komunikatif ini sudah selalu ada di dalam bahasa dan di dalam pola pembicaraan antar manusia. Jika sisi ini dikembangkan, akal budi komunikatif bisa menjadi jalan keluar dari berbagai krisis di dalam kehidupan manusia. Akal budi komunikatif dianggap sebagai jalan keluar dari kebuntuan akal budi.

Namun, banyak kritik yang menyatakan, bahwa pemikiran Habermas ini terlalu ideal. Pengaruh kekuasaan dan kepentingan tidak pernah bisa dilepaskan di dalam hubungan antar manusia. Teori tindakan komunikatif menarik secara teoritis dan filosofis. Namun, di dalam kehidupan politik nyata, ia tetap tunduk pada cengkraman kekuasaan dan kepentingan yang lebih besar.

Di dalam bukunya Kritik der cynisischen Vernunft, Peter Sloterdijk menegaskan, bahwa akal budi tidak lagi dapat dijadikan sandaran bagi kehidupan manusia. Terlalu banyak kelemahan yang terkandung di dalamnya. Ia pun menyarankan, agar kita bersikap sinis terhadap akal budi kita sendiri. Tulisan-tulisan Sloterdijk lalu mengarah pada estetika sebagai jalan keluar dari segala kelemahan akal budi.

Tradisi Lain

Eropa bergulat dengan akar dari kebudayaannya sendiri, yakni penggunaan akal budi secara mandiri di dalam kehidupan manusia. Akal budi telah membawa banyak perkembangan bagi hidup manusia. Namun, harga yang harus dibayar pun tidak kecil. Perang raksasa sampai dengan penderitaan batin yang amat dalam adalah dua contoh yang paling nyata.

Ada tradisi lain yang mencoba memikirkan hakekat dari pikiran manusia. Tradisi ini adalah tradisi Zen yang berkembang di India, Cina, Korea dan Jepang. Di dalam tradisi Zen, pada hakekatnya, pikiran manusia adalah kosong. Ia tidak memiliki inti yang mandiri. Ia muncul dari beragam hal yang saling terkait, lalu kemudian terpisah di waktu berikutnya.

Pikiran adalah juga sumber dari penderitaan hidup manusia. Ketika orang mulai berpikir, segalanya lalu muncul, yakni ruang, waktu, masa lalu, masa depan, penderitaan, kenangan dan ambisi. Ketika manusia mengira, bahwa semua itu benar, maka ia jatuh ke dalam kelekatan dengan pikirannya sendiri. Ia pun jatuh ke dalam penderitaan hidup yang berat.

Jalan keluar dari ini adalah dengan kembali ke keadaan sebelum pikiran (before thinking). Keadaan sebelum pikiran ini disebut juga sebagai keadaan alamiah manusia. Keadaan ini tidak memiliki nama ataupun konsep. Ia jernih dan seperti ruang hampa luas.

Orang lalu diajarkan untuk hidup dari titik sebelum pikiran tersebut. Artinya, orang hidup sepenuhnya dari kejernihan. Ketika ia memutuskan, ia pun memutuskan dari kejernihan. Ketika ia bertindak, ia juga bertindak dari kejernihan.

Ada paradoks disini. Ketika orang hidup dari titik sebelum pikiran, ia melepaskan kelekatan dengan pikiran yang ia punya. Ketika kelekatan runtuh, orang lalu justru bisa menggunakan pikiran secara jernih dan tajam untuk menanggapi berbagai keadaan. Pikiran yang terbebaskan dari kelekatan adalah pikiran yang bisa membebaskan manusia dari segala bentuk masalah di dalam hidupnya.

Jika orang hidup dari titik sebelum pikiran, maka secara alami akan tumbuh cinta dan kebijaksanaan yang sejati di dalam dirinya. Moralitas tidak lagi dipahami sebagai penyesuaian terhadap aturan-aturan masyarakat yang sudah ada sebelumnya, melainkan sebagai gerak batin yang muncul secara alami dari saat ke saat. Hannah Arendt pernah menulis, bahwa bahaya terbesar peradaban manusia bukanlah sikap tidak patuh, melainkan kepatuhan buta pada aturan. Kepatuhan buta inilah yang melahirkan fanatisme terhadap beragam sistem yang melahirkan konflik dan penderitaan bagi begitu banyak orang.

Mencoba

Kita harus melepaskan kecanduan berpikir. Kita harus juga melepaskan kelekatan pada pikiran. Jalan keluar dari Zen menarik untuk dicoba, yakni kembali ke keadaan alamiah kita sebagai manusia sebelum segala pikiran muncul. Saya sudah mencobanya, dan saya merasakan kejernihan yang luar biasa di dalam berpikir dan bertindak.

Saya tidak hanya lepas dari segala bentuk penderitaan batin, tetapi juga bisa menolong orang lain yang membutuhkan, sesuai dengan kemampuan saya. Zen memang bukan sekedar teori, tetapi laku hidup nyata. Buahnya bukan hanya kecerdasan, tetapi kedamaian, kejernihan dan kebijaksanaan yang sejati. Anda tertarik mencoba?Aku Berpikir, Maka Aku… Menderita

Baca Juga : Pengantar Filsafat Ringan


Read more

Anekdot Logika - Hukum Non-Kontradiksi - Sinau Filsafat

Tanpa Logika, akal tidak berguna.Dengannya, Anda dapat memenangkan argumen dan meyakinkan banyak orang.


logika-hukum non-kontradiksi


Platon : 
Terdapat begitu banyak filsafat yang saling bersaing. 
Bagaimana saya dapat yakin bahwa ada sesuatu yang benar?
Markesot :
Siapa bilang ada sesuatu yang benar?
Platon : 
Ke situ lagikan. Mengapa kamu selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain?
Markesot :
Kamu punya kesulitan dengan hal itu?
Platon : 
Saya bahkan tidak tahu mengapa saya bertanya karena beberapa hal jelas benar. Seperti satu tambah satu sama dengan dua. Itu benar, cerita usai.
Markesot :
Tetapi bagaimana anda dapat yakin?
Platon : 
Karena saya adalah seorang athena yang cerdas :D
Markesot :
Itu pertanyaan lain lagi. Tetapi alasan kamu dapat yakin satu tambah satu adalah dua karena mengikuti hukum logika yang tak terbantahkan (absolut).

Markesot benar.
Mari kita mulai dengan sebuah lelucon klasik yang mengambil logika Aristoteles. 

Seorang Rabbi menjalankan pengadilan di desanya. Bohim berdiri dan mengajukan masalahnya, sambil berkata, "Rabbi, Yona melewatkan domba-dombanya menyebrangi sawah saya setiap hari dan tanamanku mati karena terinjak-injak, ini tanah saya, ini tidak adil."

Rabbi itu berkata, "anda benar bohim !!!".
Tetapi kemudian Yona berdiri dan berkata " Tetapi bohim, melintasi tanahmu merupakan jalan satu-satunya menuju sumber air sehingga domba-dombanya bisa minum. Tanpanya, mereka akan mati. selama berabad-abad setiap gembala mempunyai hak jalan diatas tanah mengelilingi sumber itu, maka saya juga harus punya hak juga".

Dan Rabbi itu berkata, "Anda benar".
Pembantu perempuan, yang mendengarkan semuanya itu, berkata kepada Rabbi, "tetapi, Rabbi, keduanya tidak mungkin benar!"
Dan rabbi itu menjawab, "kamu benar!"

Pembantu perempuan itu memberi tahu sang Rabbi bahwa dia telah melanggar Hukum Non-Kontradiksi Aristoteles, yang bagi seorang rabbi tidak sejahat melanggar hukum yang melarang menginginkan pembantu perempuan tetangga, meskipun cukup dekat. Hukum Non-Kontradiksi mengatakan bahwa tidak ada suatu pun yang sekaligus dapat begitu dan sekaligus tidak begitu pada waktu yang sama. 


Read more