Friday, September 29, 2017

AIDIT, POLITISI YANG MALAS GOSOK GIGI? - Sinau Filsafat

Ketika seorang jurnalis bertanya, peserta yang baru selesai menonton filem G30S/PKI berpendapat bahwa melalui filem itu orang akhirnya mengerti bagaimana kekejaman PKI sedia kala.


Pendapat mengani filem sebagai representasi dari suatu peristiwa perlu digaris bawahi. Alih-alih merupakan gambaran sebenarnya, filem adalah produk kreatif manusia. Dalam studi bahasa, masalah representasi semacam itu menjadi wilayah kajian wacana. Wacana dalam hal ini dilihat dari sudut pandang kritis. Mohammad A. S. Hikam (1996) menjelaskan bahwa terdapat tiga paradigma dalam kajian bahasa, salah satu diantaranya ialah paradigma kritis. Dalam pandangan ini, bahasa dipahami sebagai alat dominasi antar golongan. Berlainan dengan paradigma positivistik, yakni anggapan bahwa bahasa mampu mewadahi peristiwa secara otentik apa adanya, paradigma kritis justru menganggap peristiwa mengalami pembiasan.

Contoh kasus ialah saat terjadi aksi menuntut Ahok beberapa waktu lalu, beberapa media memberitakan peristiwa itu secara berbeda. Salah satu menggambarakan kejadian itu sebagai 'demo rusuh', sedangkan yang lain menyebutnya 'demo bela Islam'. Apa gerangan yang terjadi? Mengapa peristiwa yang sama dilukiskan secara berbeda? Di sinilah paradigma kritis menyadari peran ideologi dalam menceritakan ulang sebuah peristiwa. Van Dijk (1997) berpendapat bahwa pilihan kata seperti itu memang erat kaitannya dengan nilai-nilai dan kepentingan pihak di belakang media. Bagi penulis yang tidak sependapat dengan demonstrasi itu menggambarkannya dengan cara yang cenderung negatif. Sebaliknya, media yang sejalan akan menceritakannya dengan nada penuh heroisme.

Lalu bagaimana dengan filem? Filem sejatinya juga merupakan bahasa. Bedanya jika dalam tuturan dan tulisan mediumnya adalah bunyi  dan grafis, sedangkan dalam filem mediumnya berupa gambar. Lebih tepatnya berupa motion picture. Meskipun dalam filem juga terdapat dialog maupun monolog yang menggunakan tuturan. Jadi filem sesungguhnya juga berperan sebagai media komunikasi yang menghubungkan antara komunikator dengan komunikan melalui sinema. Merunut gagasan paradigma kritis sebelumnya, filem dengan demikian juga tidak lepas dari ideologi dan kepentingan pihak yang berada di balik layar. Sebuah peristiwa yang direpresentasikan melalui filem ada kemungkinannya dibiaskan sesuai dengan ideologi dan kepentingan pihak yang bersangkutan.

Dalam kaitannya dengan hal itulah kita perlu membukan kembali catatan yang ditinggalkan oleh Wijaya Herlambang. Dalam karya berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965 (2013), dia mengungkap bagaimana alat ideologis Orde Baru seperti filem G30S/PKI bekerja untuk memperkuat dominasi politik Soeharto. Menurutnya, penggambaran terhadap komunisme dalam filem itu melegitimasi kekerasan yang menimpa orang-orang yang dituduh anggota PKI. Memang, filem itu menggambarkan PKI sebagai kelompok yang keji dan kotor. Bahkan ada penggalan dalam filem itu yang menarik perhatian saya, yakni adegan meng-clouse up mulut Aidit ketika tengah terjadi rapat untuk merencanakan penculikan para jendral. Penggalan itu memperlihatkan gigi Aidit yang nampak kotor, hingga kemudian menciptakan kesan yang menjijikkan.

Ideologi bekerja dalam ruang produksi. Seorang sutra dara mengarahkan proses pembuatan filem
mulai dari pengambilan gambar hingga proses editing yang harus disesuaikan dengan kehendak pihak-pihak yang berada di baliknya, layaknya Orde Baru melalui filem G30S/PKI. Kerja di ruang produksi ini akan menentukan mana sisi yang perlu untuk ditonjolkan dan mana yang harus disembunyikan, termasuk bagaimana penggambaran dilakukan. Maka, sulit untuk mengatakan bahwa filem G30S/PKI merupakan gambaran sesungguhnya mengenai peristiwa penculikan dan pembunuhan para jendral kala itu.

Konstruksi simbol seperti gambar, bunyi, dan tuturan berperan ampuh dalam menciptakan kesadaran dan mempengaruhi psikologis dari masyarakat. Sebuah penggambaran tertentu akan cenderung dipilih dibandingkan dengan yang lain untuk tujuan mencapai target yang dikehendaki. Maka filem G30S/PKI sulit untuk dipisahkan dari upaya dramatisasi Orde Baru. Begitu juga saya pun sangsi bahwa Aidit adalah politisi sekaligus tokoh partai komunis yang malas gosok gigi.

 ( Zalkhoiri,  Solo, 29/09/2017 )
Load disqus comments

0 comments