Tuesday, September 19, 2017

ALIRAN-ALIRAN DALAM EPISTEMOLOGI - Filsafat Pengetahuan

ALIRAN-ALIRAN DALAM EPISTEMOLOGI

Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Epistemologi memiliki banyak aliran, untuk memahaminya silahkan dibaca...


Aliran Epistemologi Filsafat


Empirisme

Empirisme berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh melalui indra. Indra memperoleh kesan-kesan nyata. Kemudian, kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia sehingga menjadi pengalaman. Pengetahuam yang berupa pengalaman terdiri atas penyusunan dan pengaturan kesan-kesan yang bermacam-macam. Dari segi hakikat pengetahuan empirisme berpendirian bahwa pengetahuan berupa pengalaman. (Sudaryanto, 2013: 39).
Pengetahuan diperoleh dengan perantaraan indra, kata seorang penganut empirisme. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa), dan didalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman indrawi. Menurutnya, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari pengindraan dan refleksi yang pertama-tama dan sederhana tersebut. (Kattsoff, 2004: 133)
Tokoh-tokoh empirisme diantaranya adalah, John Locke, Berkeley, David Huston, Thomas Hobbes, dan yang lainnya.

Rasionalisme

Sumber pengetahuan menurut rasionalisme adalah akal. Akal memperoleh bahan melalui indra. Kemudian diolah oleh akal sehingga menjadi pengetahuan. Rasionalisme mendasarkan pada metode deduksi, yaitu cara memperoleh kepastian melalui langkah-langkah metodis yang berttik tolak dari hal-hal yang bersifat umum untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak didalam ide kita, dan bukannya pada objek. (Kattsoff, 2004: 135)
Tokoh-tokoh rasionalisme diantaranya adalah Rene Descartes, Spinoza, dan Leibniz.

Fenomenologi

Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak.Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.
Berangkat dari pemikiran Edmund Husserl (1859-1938), bahwa obyek ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas pada empirik, tetapi mencakup fenomena yang bersifat persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek tentang sesuatu di luar subyek dan ada sesuatu yang bersifat transenden.
Sifat-sifat yang pokok dari fenomenologi dapat dijelaskan secara luas, tetapi kita harus ingat bahwa ada arti yang sempit bagi fenomenologi, yaitu arti sebagai metoda. Bagi fenomenologis, berfilsafat harus dimulai dengan usaha yang terpadu untuk melukiskan isi kesadaran. Suatu usaha yang jelas adalah sangat perlu bagi deskripsi. Dengan deskripsi ini dimaksudkan suatu pandangan hati-hati terhadap struktur yang pokok dari benda, tepat seperti yang nampak. Fenomenologis memperhatikan benda-benda yang konkrit, bukan dalam arti yang ada dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi ada struktur yang pokok dari benda-benda tersebut, sebagaimana yang kita rasakan dalam kesadaran kita, karena kesadaran kita adalah ukuran pengalaman. (Titus, 1984: 399)
Dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah ilmu yang mempelajari fenomen-fenomen yang atau apa saja yang nampak. Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Tokoh-tokohnya, Edmund Husserl, Max Scheler, dan Maurice Merlean-Ponty.

Intuisionisme

Intusionalisme adalah suatu aliran atau paham yang menganggap bahwa intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Intuisi termasuk salah satu kegiatan berpikir yang tidak didasarkan pada penalaran. Jadi Intuisi adalah non-analitik dan tidak didasarkan atau suatu pola berpikir tertentu dan sering bercampur aduk dengan perasaan. Tokoh aliran intusionalisme, antara lain: Plotinos (205 -270) dan Henri Bergson (1859 -1994).
Bergon menyatakan bahwa intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif. (Kattsoff, 2004: 141)

Positivisme

Positivisme berpendirian bahwa kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan faktawi. Apapun yang berada diluar dunia pengalaman tidak perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia ini. Filsafat positivisme berpandangan bahwa semua fenomena tunduk terhada hukum alam yang sama. Urusan kita adalah mengupayakan suatu penemuan akurat atas hukum-hukum itu.

Skeptisisme

Skeptisisme adalah satu-satunya aliran yang secara radikal dan fundamental tidak mengakui adanya kepastian dan kebenaran, atau sekurang-kurangnya menyangsikan secara fundamental kemampuan pikiran manusia untuk mendapatkan kepastian. (Pranarka, 1987: 95)
Secara etimologikal kita mengetahui bahwa istilah skeptisisme itu berasal dari kata bahasa Yunani skeptomai, artinya memperhatikan dengan cermat, meneliti. Para skeptisi pada mulanya adalah orang-orang yang mengamati segala sesuatu dengan cermat serta mengadakan penelitian terhadapnya. Namun karena didalam interaksi diantara mereka itu tidak tercapai kesepakatan, maka timbullah masalah baru yaitu mengenai patokan kesepakatan. Bahkan selanjutnya sementara sampai kepada kesimpulan untuk meragukan adanya kepastian dan ukuran kebenaran. Dari situlah timbul istilah skeptisisme yaitu aliran atau sistem pemikiran yang mengajarkan sikap ragu sebagai sikap dasar yang fundamental dan universal. (Pranarka, 1987: 95)

Agnotisisme

Mudhofir (1996:4) dengan singkat menjelaskan bahwa agnostisisme dalam epistemologi adalah aliran yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin memperoleh pengetahuan tentang suatu pokok permasalahan. Pokok permasalahan yang seperti apa? Tidak dijelaskan dalam bukunya.
Sedangkan Hartoko (1986:3) menjelaskan dengan menambahkan apa yang tidak dapat diketahui itu. Menurutnya agnostisisme sama dengan skeptisisme, yang menyangkal bahwa hakekat sesuatu dapat diketahui (melawan pengetahuan metafisik). Apalagi pengetahuan menganai adanya tuhan dan sifat-sifatnya. Merekea (para agnotis) hanya menerima pengetahuan inderawi dan empirik. Tiada menerima adanya analogi.
Jika kembali melihat arti katanya tentu akan mendapatkan pengertian yang lebih luas lagi. Lorens (2005:22-23) mengatakan bahwa asal istilah ini ialah kata yunani, ’ yang berarti ‘bukan’ atau ‘tidak’, dan gnostikos yang berarti ‘orang yang mengetahui’ atau ‘mempunyai pengetahuan tentang’. Agnostis berarti tidak diketahui.

Objektivisme

Dalam Mudhofir (1996:167) objektivisme diartikan sebagai pandangan yang menganggap bahwa segala sesuatu yang dipahami adalah tidak tergantung pada orang yang memahami. Dapat dikatakan, ada kebenaran sejati terlepas dari pemikiran manusia. Ini mengingatkan kita kepada paradoks antara kaum Sofis dan Sokrates pada zaman Yunani kuno.
Basman (2009:34) juga menguraikan argumen objektivisme. Menurutnya  Argumen objektivisme mencakup penolakan terhadap metode pemikiran subyektivisme dan penggunaan kata ide secara lebih positif. Asumsi bahwa terdapat alam realitas adalah lebih baik dan lebih memadai dari asumsi lain. Asumsi tersebut sesuai dengan pengalaman hidup kita sekarang, dan pemahaman kita terhadap proses pemikiran.
Karl R. Popper, dalam Chalmers (1982:128) Karl R. Popper mengemukakan pendapatnya tentang objektivisme yang disadur dari buku Objective Knowledge. Popper mengatakan bahwa :
Pengetahuan atau fikiran dalam pengertian objektif, terdiri dari problema-problema, teori-teori, dan argumen-argumen itu sendiri. Pengetahuan dalam pengertian objektif ini sepenuhnya independen dari klaim seseorang untuk mengetahuinya ; ia pun terlepas dari keyakinan seseorang atau kecenderungan untuk menyetujuinya, atau untuk berlakukannya atau untuk bertindak. Pengetahuan dalam pengertian objektif ini adalah pengetahuan tanpa orang: ia adalah pengetahuan tanpa diketahui subjek.”

Subjektivisme

Subjektivisme adalah pandangan bahwa objek dan kualitas yang kita ketahui dengan perantaraan indera kita adalah tidak berdiri sendiri, lepas dari kesadaran kita terhadapnya. Realitas terdiri atas kesadaran serta keadaan kesadaran tersebut, walaupun tidak harus kesadaran kita dan keadaan akal kita (Titus, 1984: 218).

Fenomenalisme

Untuk memahami pikiran fenomenalisme, sedikitnya kita melihat pendapat Kant dalam hal pengetahuan. Indra hanya dapat memberikan data indra, dan data indra itu ialah warna, cita rasa, bau, rasa dan sebaliknya. Memang benar, kita mempunyai pengalaman; tetapi sama benarnya juga bahwa untuk mempunyai pengetahuan (artinya menghubungkan hal-hal), maka kita harus keluar dari atau menembus pengalaman. (Kattsoff, 1987: 138)
Jika orang membayangkan berupa apakah suatu rasa bersahaja dengan suatu bunyi yang kasar, maka jelaslah bahwa data indra yang murni tidaklah berupa pengetahuan. Pengetahuan terjadi bila akal menghubungkan, misalnya, rasa menekan yang bersahaja dengan bunyi yang kasar, untuk memperoleh fakta bahwa tekanan terhadap sesuatu menyebabkan terjadinya bunyi tersebut. Hubungan ialah suatu cara yang dipakai oleh akal untuk mengetahui suatu kejadian, hubungan tidak dialami. Hubungan ialah bentuk pemahaman kita, dan bukan isi pengetahuan. (Kattsoff, 1987: 138)
Dapat kita simpulkan bahwa fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa Fenomenal (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang Fenomenalisme suka melihat gejala, dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung.

Pragmatisme

Pragmatisme tidak mempersoalkan apa hakikat pengetahuan, tetapi menanyakan apa guna pengetahuan. Daya pengetahuan hendaklah dipandang sebagai sarana bagi perbuatan. Charles S. Pierce menyatakan bahwa yang penting adalah pengaruh apa yang dapat dilakukan sebuah ide atau suatu pengetahuan dalam suatu rencana. (Sudaryanto, 2013: 41)
William James menyatakan bahwa ukuran kebenaran sesuatu itu ditentukan oleh akibat praktisnya. Sesuatu pengertian tidak pernah benar, tetapi pengertian hanya dapat menjadi benar. Ukuran kebenaran hendaknya dicari dalam tingkatan seberapa jauh manusia sebagai pribadi dan secara psikis merasa puas. (Sudaryanto, 2013: 41)

Scientisme

Scientisme adalah suatu paham bahwa pernyataan ilmu saja yang benar, yang selain ilmu tidak memiliki arti. Kadang kata ini digunakan oleh sosiolog seperti Friedrich Hayek atau filsuf seperti Karl Popper, kadang digunakan untuk merujuk pada perkembangan ilmu alam yang condong menjadi ideologi. Scientisme bisa mengacu pada penggunaan yang salah dari ilmu pengetahuan atau pemikiran bahwa metode atau kategorisasi dari filsafat alam membentuk satu-satunya metode yang sah dalam filsafat atau bidang pengetahuan yang lain, dan scientisme bisa memiliki jangkauan makna yang banyak.
Dalam scientisme kebenaran yang dianut adalah kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah ini mengalahkan kebenaran lainnya, bahkan (dalam versi yang kuat) kebenaran lain dianggap tidak bermakna.  Sayangnya Scientisme ini sendiri memiliki kelemahan yang fatal. Kelemahan itu adalah bahwa Scientisme sendiri menghancurkan dirinya sendiri.
Pernyataan mengenai kebenaran scientisme sendiri tidak berasal dari suatu pengetahuan ilmiah. Ini menyebabkan andai saja Scientisme benar maka dia bisa jadi dengan sendirinya membatalkan dirinya, karena pernyataan dasar kebenaran Scientisme tidak didukung kebenaran ilmiah.
Menurut scientisme, Ilmu empiris hanyalah satu-satunya sumber pengetahuan (scientisme kuat) atau lebih moderat (scientisme lemah) sumber terbaik dari kepercayaan rasional tentang sesuatu adalah ilmu empiris. Kadang tuduhan scientisme dikaitakan dengan New Atheist seperti Richard Dawkins dan Sam Harris. Sam harris berpendapat untuk mendekati pertanyaan-pertanyaan etis dan spiritual dengan pendekatan ilmiah. Dawkin bersikeras bahwa keberadaan kecerdasan-kreatif super adalah pertanyaan ilmiah

Anti-Intelektualisme

Yang dimaksud dengan anti-intelektualisme sebagai gerakan reaksi terhadap suasana yang terlalu intelektualistik, akan pikiran yang abstrak dan essensialistik yang mewarnai seluruh perkembangan hingga saat ini. secara ringkas kiranya dapat dikatakan bahwa gerakan ini mengajukan suatu slogan pemikiran: bukan manusia untuk pengetahuan tetapi pengetahuan untuk manusia. Suasana yang terjadi sebelumnya dipandang sebagai jalan yang telah menyimpang karena telah membuat pengetahuan keluar dari konteks dasarnya yaitu manusia. (Pranarka, 1987: 101)
Anti-intelektualisme kontemporer ini merupakan suatu reaksi terhadap arusnya aliran-aliran yang partial sifatnya namun mengajukan claim yang sifatnya mutlak dan sebagai sistem yang sifatnya final dan total secara deterministik. Maka itu gerakan anti-intelektualisme juga merupakan suatu gerakan yang sifatnya anti-absolutisasi, anti-determinisme, dan kadang-kadang juga menjadi gerakan yanganti-sistem. (Pranarka, 1987: 101)

14. Fallibilisme

Istilah ini pertamakali digunakan filsuf CS Pierce. Fallibilisme adalah prinsip filosofis bahwa manusia bisa salah. Istilah ini diambil dari kata latin abad tengah Fallibilis. Konsep ini sangat penting bagi ilmu pengetahuan, ini dikarenakan ilmu pengetahuan mencari validitas kebenaran. Karena itu mereka mengharapkan suatu pengetahuan menjadi seakurat mungkin.
Fallibilism menunjukkan bahwa sebuah pengetahuan tidak bisa dipastikan dengan sepasti-pastinya. Selalu terdapat keraguan dalam sebuah pengetahuan. Misalnya saja kepercayaan ilmiah, kita tidak bisa pasti bahwa suatu saat sebuah teori baru akan muncul untuk mengganti teori yang lama. Berbeda dengan skeptisisme, dalam prinsip ini tidak dianjurkan untuk tidak mempercayai sesuatu hanya karena dia tidak meyakinkan atau masih bisa diragukan.
Suatu kepercayaan mendasar misalnya seperti “matahari terbit dari timur” tidak bisa dikatakan seratus persen meyakinkan karena siapa tahu esok matahari terbit dari barat. Walau demikian kita masih bisa mempercayai bahwa matahari esok pagi terbit dari timur karena biasanya selalu demikian.
Sebagai doktrin formal falibilisme dikaitkan dengan kaum filsuf pragmatis dan serangan mereka terhadap foundasionalisme. Namun ide-ide ini terdapat dalam filsuf-filsuf kuno. Seorang yang akrab dengan prinsip ini adalah Karl R Popper yang membangun teori pengetahuannya yaitu rasionalisme kritis dari presupposisi falibilisme. Digunakan juga oleh WVO Quine untuk menyerang di antaranya perbedaan antara pernyataan analitis dan sintesis.
Dalam fallibilisme sesuatu dianggap tidak mutlak benar dan bisa salah. Karenannya suatu pengetahuan itu meragukan Terutama pada ilmu empiris. Dalam ilmu empiris sesuatu fakta baru bisa membatalkan sebuah teori lama. Dan karena fakta baru itu belum muncul maka bisa jadi pengetahuan sekarang salah. Dari contoh tersebut maka seharusnya bidang yang tidak memerlukan penelitian empiris seperti matematika dan logika lebih pasti karena tidak harus melakukan pengamatan empiris. Namun ada juga yang meragukan matematika dan logika, ini disebabkan walaupun mereka tidak melakukan pengamatan empiris namun kesalahan manusia masih bisa terjadi.
15. Teori Kritis
Perlu diingat bahwa teori kritis adalah sebuah gerakan intelektual yang dilakukan bersama-sama oleh sekelompok intelegensia dalam kurun sejarah tertentu. Pengertian “kritik” dimaksudkan sebagai kritis terhadap ajaran-ajaran dibidang sosial yang ada pada saat itu dan juga kritis terhadap keadaan masyarakat pada saat itu yang sangat memerlukan perubahan radikal. Nama ini dipopulerkan oleh Max Horkheimer. (Listiyono, 2003: 97) Lebih lanjut ia mengatakan,
Kata “kritik” disini harus dimengerti dalam arti kritis terhadap ajaran-ajaran dibidang sosial yang terdapat pada saat itu (termasuk Marxisme ortodox) serentak juga dalam arti kritis terhadap keadaan masyarakat pada saat otu, yang memerlukan perubahan radikal.
Referensi :
- Harold H. Titus, 1984, Persoalan-persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta
- Listiyono Santoso dkk. 2003, Epistemologi Kiri, Ar-Ruzz Press, Yogyakarta

- Louis O. Kattsoff, 2004. Pengantar Filsafat. Tiara Wacana, Yogyakarta
Load disqus comments

0 comments