Monday, September 18, 2017

Makalah Idealisme



BAB I PENDAHULUAN
 A. Latar Belakang
        Pada hakikatnya epistemologi membahas tentang pengetahuan,  yang berkaitan dengan apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan tersebut. Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang sesuatu objek; dengan kata lain menyusun gambaran dalam akal tentang fakta yang ada diluar akal. Persoalannya kemudian adalah apakah gambaran itu sesuai dengan fakta atau tidak? Apakah gambaran itu benar? Atau apakah gambaran itu dekat pada kebenaran atau jauh dari kebenaran?
       Untuk itu dalam makalah ini , saya akan membahas tentang hakikat kebenaran itu mulai dari teori yang akan saya jelaskan yaitu teori idealisme. Kemudian selain itu ada pengertian idealisme, tokoh-tokohnya dan sejarahnya.
 B. Rumusan Masalah
      Dengan penjesan singkat diatas, maka dapat dirumuskan sebuah masalah yang nantinya akan dijelaskan nanti, yaitu:
  1. Apa yang melatarbelakangi Idealisme itu?
  2. Apa pengertian Idealisme itu?
  3. Apakah Idalisme Objektif itu?
  4. Bagaimana Ajaran Idealisme pada umumnya?
  5. Apakah hakikat pengetahuan Teori Idealisme itu?
  6. Siapa saja tokoh-tokoh filsafat yang menjelaskan tentang idealisme?
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Idealisme
Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak barbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis daripada penjelmaan ruhani.[1]
 Idealisme atau serba-cita adalah sering disebut orang sebagai serba-cita subyektif (idealisme subyektif) atau subyektivisme. Paham ini harus dibedakan dari serba-cita objektif atau metafisik, yang merupakan teori metafisika. Teori tersebut beranggapan, sekalipun alam obyektif itu nyata dan tidak bergantung pada budi yang menanggapinya (persepsi) namun pada hakikatnya ia adalah psikis mental, rohaniah atau spiritual.[2]
   Adalah merupakan anggapan umat manusia, bahwa obyek-obyek dikelilingnya benar-benar mempunyai wujud seperti yang kita cium atau rasa, lepas atau tidak bergantung pada budi yang menangkapnya. Ada atau tidak adanya budi (manusia), obyek-obyek itu tetap berwujud. Ia disebut dunia luar yang realitasnya berdiri sendiri.
     Barkeley datang untuk meragukan kita. Apakah benar ada dunia luar yang berdiri sendiri itu? Ia mengajarkan bahwa tidak ada wujud objek yang lepas dari budi yang menanggapnya (persepsi). Mungkin orang akan menganggap teori Barkeley itu naïf.
     Apa yang kita maksud manakala kita katakana sepohon kayu ada? Yaitu bahwa ia ditanggap. Demikian kata Barkeley. Sebab, ketika kita coba memikirkannya sebagai tidak ditanggap, kita masih berpikir. Ia adalah obyek pemikiran. Yang kita ketahui hanyalah bagaimana ia kita tanggap.
     Terhadap idealisme Berkeley itu timbul keberatan dan perlawanan. Oleh karena itu, kata lawan serba-cita atau idealisme, dunia obyek itu adalah rill, dan pengetahuan kita tentang dia adalah benar, sekalipun kebenarannya hanya sebagian. Dan pengetahuan yang benar tentang dunia ini selalu diperluas dengan menerapkan metode-metode penelitian umum.[3]
 B.     Idealisme Objektif
Setelah era Renaisans, tidak muncul satupun sistem fisafat tangguh,               namun beragam aliran dan pandangan filsafat terus menerus lahir dan mati. Jumlah serta ragam aliran dan “isme” meningkat tajam sejak permulaan abad ke-19. Dalam tinjauan singkat ini, tidak terulang kesempatan untuk menyebutkan mereka satu persatu, karenanya kita hanya akan sesingkat mungkin menyebutkan sebagian mereka.
Setelah Kant (dari akhir abad ke-18 sampai medio abad ke-19) sejumlah filosof Jerman menjadi terkenal, dan gagasan-gagasan mereka kurang lebih bermuara pada pemikiran Kant. Kalangan iniberupaya menutupi titik mistik. Kendati pandangan mereka berbeda-beda. Mereka umumnya beranjak keberagaman (multi plicity) dari kemanunggalan secara puitis dan mereka disebut dengan “Para Filosof Romantis”.
Kecenderungan terhadap kebebasan yang mendorong Fichte dan para romantic lain, Semisal Fredrich Wilhelm Joseph Von Schelling, untuk menerima sejenis idealisme dan kesejatian ruh (yang salah satu karakteristiknya adalah kebebasan). Paham pemikiran ini lantas dikembangkan lebih jauh oleh G.W.F.Hegel, dan relatif menjadi sistem filsafat yang koheren, dan disebut dengan idealisme objektif.
C.    Ajaran Idealisme Pada Umumnya
    Revolusi Kopernikan yang telah diadakan Kant dalam bidang filsafat dengan kritisismenya, diteruskan dengan lebih radikal lagi oleh pengikut-pengikut idealisme. Menurut pendapat mereka tidak ada suatu realitas pada dirinya atau suatu realitas yang obyektif belaka. Realitas seluruhnya bersifat subyektif. Realitas seluruhnya merupakan buah hasil aktifitas suatu subyek. Yang dimaksud disini dengan subyek bukanlah subyek perorangan tertentu, melainkan suatu Subyek Absolut atau, dipandang dari sudut agama, Allah.[4]
 Dapat dimengerti juga semua berkecenderungan pada panteisme dan sangat mengagumi filsafat Spinoza. Subyek Absolut itu bersifat tak terhingga dan tidak boleh dianggap sebagai suatu substansi yang tertutup dalam dirinya, tetapi sebagai suatu proses yang selalu berkembang terus. Aktivitas subyek itu tidak dapat dianggap sebagai pemikiran yang sadar, sebab pada taraf bawah-manusiawi aktivitas itu tidak disadari. Oleh karenanya harus dikatakan bahwa dalam diri manusia Allah menjadi sadar akan dirinya sendiri. Demikianlah kiranya dapat dilukiskan sedikit pikiran-pikiran dasar yang terdapat pada para idealis Jerman.[5]
 D.    Hakikat Pengetahuan Teori Idealisme
Hakikat pengetahuan Idealisme yaitu suatu ajaran idealisme menandaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subyektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subyektif dan bukan gambaran objektif tentang realitas. Subjektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu dari orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini, tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui (subjek).[6]
Bagi idealisme, dunia dan bagian-bagiannya harus dipandang sebagai hal-hal yang mempunyai hubungan, seperti organ tubuh dengan bagian-bagiannya. Dunia merupakan suatu kebulatan bukan kesatuan mekanik, tetapi kebulatan organik yang sesungguhnya yang sedemikan rupa, sehingga suatu bagian darinya dipandang sebagai kebulatan logis, dengan makna sebagai inti yang terdalam.
Premis pokok yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam alam semesta. Idealisme tidak mengingkari adnya materi. Namun, materi adalah suatu suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab, seseorang yang akan memikirkan materi itu, dalam hakikatnya yang terdalam, dia harus memikirkan roh atau akal. Jika seseorang ingin mengetahui apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah akal budi itu; bukannya apakah materi itu.
Idealisme subjektif juga akan menimbulkan kebenaran yang relatif karena setiap individu berhak untuk menolak kebenaran yang datang dari luar dirinya. Akibatnya, kebenaran yang bersifat universal tidak diakui. Kalau demikian jadinya, maka aturan-aturan agama dan kemasyarakatan hanya bisa benar untuk kelompok tertentu dan tidak berlaku bagi kelompok yang lain. Lagi pula, idealisme terlalu mengutamakan subjek sebagai si penilai, dengan meredahkan objek yang dinilai. Sebab, subjek yang menilai kadangkala berada pada keadaan yang berubah-ubah, seperti sedang marah dan gembira.[7]
 E. Tokoh-Tokoh Filsafat Yang Menjelaskan Idealisme
 1. J.G. FICHTE
   JOHAN GOTTLIEB FICHTE(1762-1814) kerap kali menunjukan filsafatnya sebagai “Wissenschaftslehre”. Yang dimaksudkannya dengan nama ini ialah suatu refleksi tentang pengtahuan.  Fichte sepekat dengan Kant bahwa semua ilmu membahas salah satu obyek tertentu, sedangkan filsafat bertugas memandang pengetahuan sendiri. Oleh karenanya filsafat merukan ilmu yang mendasari ilmu-ilmu lain dan akibatnya dinamai sebagai “Wissenschaftslehre” yang sebetulnya berarti “ajaran tentang ilmu pengetahuan”.[8]
    Menurut pendapat Fichte, filsafat harus berpakal bukan dari suatu substansi melainkan dari suatu perbuatan (Tathandlung), yaitu Aku Absolut mengiakan dirinya sendiri dan denga itu megadakan dirinya sendiri. Dengan lain perkataan, realitas seluruhnya harus dianggap menciptakan diriny sendiri (“self- creating”). Dengan cara inilah Fichte bermaksud juga memperdamaikan pertentangan antara rasio teoritis rasio praktis yang terdapat dalam fisafat Kant. Rasio teoritis tidak dapat ditempatkan pada awal mula, tetapi didahului dan dirangkum oleh suatu perbuatan. Oleh karena itu memang pada tempatnyalah jika filsafat Fichte disebut idealisme praktis.
   Menurut Fichte dualitas yang terdiri dari aku terhingga dan non- aku diperdamaikan lagi dalam praksis moral. Dan sebetulnya dualitas itu sama sekali perlu supaya praksis moral dapat dijalankan. Aku Absolut mengadakan non- aku untuk menciptakan bahan bagi aktivitas moral. Moralitas termasuk inti sari pemikiran Fichte. [9]
Berkenaan denga Fichte tentu tidak boleh dilupakan “Atheismusstreit” (pertikaian tentang ateisme) yang timbul dalam kalangan- kalangan intelektual di Jerman pada akhir abad 18. Alasannya ialah anggapan Fichte yang radikal tentang Allah. Fichte mengemukakan suatu pengertian etis tentang Allah. Menurut dia agama sama dengan pengakuan adanya. Cara Fichte menguraikan pendapatnya member kesan seakan-akan ia tidak menerima Allah bersifat personal. Akhirnya pada tahun 1779 ia harus meletakkan jabatannya sebagai professor di kota Jena.
 2. F.W.J. SCHELLING
            FRIEDERICH WILHELM JOSEPH SCHELLING (1775-1854)  sudah  mencapai kematangan sebagai fisuf pada waktu ia masih berumur sangat muda. Pada tahun 1798, usianya baru 23 tahun, ia menjadi professor di universitas di Jena. Sampai akhir hidup pemikira Schelling selalu berkembang, biarpun dalam perkembangan pasti ada juga kontinuitas. Para sejarawan filsafat membedakan beberapa periode dan perkembangan pemikiran Schelling. Dalam periode terakhir Schelling terutama mencurahkan perhatian filosofisnya pada agama dan mistik. Disini kita membatasi diri pada periode yang biasa disebut “filsafat identitas”, karena taraf pemikiran inilah dapat dianggap sebagai gelang rantai yang menghubungkan filsafat Fichte dengan filsafat Hegel.[10]
         Sudah kita lihat bahwa pada Fichte alam (non-aku) adalah buah hasil Roh (Aku Absolut). Menurut Schelling, Roh tidak mempunyai prioritas terhadap Roh. Dua- duanya berasal dari sumber sama sekali netral, yang oleh Schelling dinamai sebagai Identitas Absolut atau Indiferensi Absolut. Jadi, sumber ini tidak boleh dianggap subyektif atau obyektif, material, atau spiritual, sebab semua perlawanan atau oposisi terdapat disini dalam bentuk kesatua yang masih belum terpisah. Dari Identitas Absolut inikeluarlah alam serta roh dan dengan itu realitas seluruhnya. Oleh karenanya pada Schelling alam tidak ditempatkan dibawah roh, tetapi alam dan roh seakan-akan membentuk dua kutub yang derajatnya sama. Roh selalu hadir dalam alam dan alam selalu hadir dalam roh. Dalam menyusun filsafat identitas ini Schelling sangat dipengaruhi oleh pemikiran Spinoza, sehingga juga gaya gaya bahasa yang dipakai dalam periode ini mirip dengan cara Spinoza menulis. [11]
 3. G.W.F. HEGEL
            Idealisme Jerman memuncak pada GEORG WILHELM FRIEDRICH  HEGEL (1770-1831). Walaupun usianya lebih tua dari Schelling, namun Hegel menyusun karya-karyanya yang terpenting setelah Schelling sudah menjadi filsuf yang tersohor. Mula-mula ia dianggap  sebagai murid Schelling, tetapi lama-kelamaan ia mencapai pendirian yang dengan jelas bersimpang jalan dengan filsafat Schelling. Sejak ia mengajar di universitas Berlin (tahun 1818), ia mengalami kepopuleran Schelling.[12]
 a. Rasio, Ide, Roh
Hegel sangat mementingkan rasio. Tetapi, kalau dikatakan demikian, jangan kita salah mengerti maksudnya. Yang dimaksud bukan saja rasio pada manusia perorangan, tetapi juga dan terutama rasio pada Subyek Absolut, karena Hegel pun menerima prinsip idealistis bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan suatu subyek. Suatu dalil Hegel yang kemudian menjadi terkenal berbunyi: “Semuanya yang real bersifat rasionaldan semuanya yang rasional bersifat real”. Maksudnya adalah bahwa luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran (atau “ide” menurut istilah yang dipakai Hegel) yang memikirkan dirinya sendiri. Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja bereaksi atas kecondongan intelektual waktu itu yang mencurigai rasio sambil mengutamakan perasaan. Kecondongan ini terutama dilihat dalam kalangan ”filsafat kepercayaan” dan dalam aliran sastra Jerman Jerman yang disebut “Romantik”. [13]
 4.      A. Schopenhauer
Seorang filsuf Jerman lain mempunyai hubungn erat dengan idealisme Jerman, biarpun ia sendiri tidak mau digolongkan digolongkan didalamnya. Namanya adalah ARTHUR SCHOPENHAUER. Ia menganggap diri sebagai murid Kant, tetapi ia mengemukakan juga kritik yang sudah terdapat pada para idealis, terutama dengan menolak adanya “das Ding-ansich”. Oleh karenanya ia berpendapat juga b ahwa realitas seluruhnya bersifat subyektif. Tetapi ia tidak menyetujui bahwa idealisme menyetarafkan realitas seluruhnya denga roh atau rasio. Schopenhauer berpendapat bahwa realitas menurut hakikatnya yang terdalam adalah kehendak. Dalam diri manusia “kehendak metafisis”itu menjadi taraf kesadaran. Tetapi pada manusia menjadi nyata juga bahwa kehendak itu tidak pernah dapat dipuaskan. Bertentangan dengan Fichte, Schelling,dan Hegel, Schopenhauermempunyai pandangan dunia yang betul-betu pesimististis.[14]
 5.        Plato
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran Plato (348-428 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap- tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universaldari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruagan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.[15]
BAB III PENUTUP
A.                Kesimpulan
Dalam uraian pembahasan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa Idealisme disebut orang serba-cita subyektif (idealisme subyektif) atau subyektivisme. Ajaran idealisme menandaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Demikian pula dapat dilukiskan sedikit pikiran-pikiran dasar yang terdapat pada para idealis Jerman. Fichte menentukan Subyek Absolut sebagai “Aku Absolut”, Schelling (sekurang-kurangnya dalam salah satu periode perkembangannya) sebagai “identitas Absolut”, dan Hegel sebagai “Roh Absolut” atau “ide”. Dalam sistem Fichte terutama moralitas yang menjadi pusat pemikirannya, sedangkan dalam sistem Schelling mistik, dan dalam sistem Hegel rasio.
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, asmoro. Filsafat umum Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Bachtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Bachtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Gazalba, Sidi. Sistimatik Filsafat. Jakarta : Bulan Bintang, 1991.
Yazdi, Muh.T.Musbah. Filsafat Agama. Jakarta : Bulan Bintang, 1991.
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1975.


[1]Hasbullah Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008) h. 138
[2] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991)h. 30
[3] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991)h. 33
[4] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1975)h. 64
[5] K. Bertens, Ringkasan Sejarah  Filsafat ( Yogyakarta:Kanisius, 1975)h. 65
[6] Amsal Bakhhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008)h. 96
[7] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999)h. 41
[8] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius,1975)h. 65
[9] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1975)h. 66
[10] K.Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1975)h.67
[11] K.Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat ( Yogyayakarta:Kanisius,1975)h. 67
[12]K.Bertens, RingkasanSejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1975)h. 67
[13] K.Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1975)h.68
[14] K.Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1975)h. 71

[15] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008)h. 139
Load disqus comments

0 comments