Wednesday, May 16, 2018

Makalah METAFISIKA JEAN PAUL SARTRE | Sinau Filsafat

                               BAB I                                      

PENDAHULUAN
METAFISIKA-JEAN-PAUL-SARTRE-SINAU-FILSAFAT
METAFISIKA JEAN PAUL SARTRE - SINAU FILSAFAT
                                      
1.1 Latar Belakang Masalah 
            Jean Paul Sartre (1905-1980) adalah seorang filsuf yang terkenal di Perancis. Tulisannya bukan hanya di bidang filsafat murni, tetapi juga dalam bidang seni dan sosial. Ia juga mempengaruhi pemikiran para penulis, seniman, ahli-ahli sosial dan para aktivis politik pada masanya. Sartre lahir di Paris pada 21 Juni 1905 dari sebuah keluarga agamawan. Ayahnya meninggal ketika ia masih berusia satu tahun, ibunya mengajak Sartre tinggal bersama sang kakek, Charles Schmeitzer, yang kemudian sangat memberikan pengaruh yang besar bagi pemikiran Sartre mendatang.
            Pada September 1933, Sartre pergi ke Berlin untuk belajar filsafat Edmund Russerl sang pencetus “fenomenologi”. Setelah mempelajari fenomenologi, ia membuat sebuah esay yang berjudul “ Transendensi Ego”. Baginya, fenomenologi adalah sarana mengungkapkan realitas dan pengalaman kongkret. Kemudian ia menerapkan fenomenologinya dalam psikologi, terutama fantasi dan emosi. Dalam berfilsafat dan berpikir tentang konsep politik Sartre cenderung “berhaluan kiri”. Ia selalu berusaha mengkritisi sistem kapitalisme dan memperjuangkan hak-hak kaum buruh. Ia menulis “ Percobaan Satu Ontologi Fenomenologis” sebagai kritiknya tasa rasio dialektis ( Bertens, 2006: 91-98).
            Kemudian di tahun 1938 ia menerbitkan sebuah karya novel terkenal yang berjudul Nausea. Karya besar Sartre yang lain adalah Being and Nothingness yang diterbitkan pada 1943. Waktu itu ia menulis karya ini di dalam tahanan. Seperti pada judulnya, salah satu yang menjadi bahasan buku tersebut adalah mengenai ‘Ketiadaan dalam Ada’. Ada dan Ketiadaan adalah tema aktual yang dibicarakan dalam karya-karya Sartre. Menurutnya, Ada terbagi menjadi dua macam, yaitu: l’etre-en-soi  (berada dalam dirinya) dan l’etre-pour-soi (berada untuk dirinya). Kedua macam Ada ini diulas dalam Being and Nothingness sebagai suatu sistem metafisika.
            Menurut Frederick Sontag: “Philosophy, insofar as it is the search for first principles or the basic assumptions implicit in any question, is metaphysics.” (Sontag, 1970:1) Metafisika adalah filsafat pokok yang menelaah ‘prinsip pertama’ (the first principle). Dalam metafisikanya, Sontag juga berpendapat bahwa masalah yang ada merupakan persoalan yang hendak di jawab oleh setiap pemikiran metafisika. Kajian atas persoalan yang-ada mengiringi munculnya persoalan baru, yakni masalah “yang-tiada” (nothingness) (Siswanto, 2004:29). Berdasarkan dua hal diatas, nampak adanya kemiripan dalam pembahasan metafisika Sartre dan problem metafisika Sontag yang perlu dikaji lebih lanjut.
1.2 Rumusan Masalah
            1.2.1 Bagaimana problem metafisika Frederick Sontag?
            1.2.2 Bagaimana sistem metafisika J.P.Sartre?
            1.2.3 Bagaimana analisis koherensi pemikiran metafisika Sontag dan Sartre?
1.3 Tujuan
            Berdasarkan latar belakang permasalahan dan rumusan masalah tersebut iatas, dapat dirumuskan tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
            1.3.1 Mengetahui  problem metafisika menurut Frederick Sontag.
            1.3.2 Mengetahui pemikiran sistem metafisika J.P.Sartre.
            1.3.3 Menganalisis koherensi pemikiran metafisika Sontag dan Sartre.



BAB II
PEMBAHASAN
METAFISIKA-JEAN-PAUL-SARTRE-SINAU-FILSAFAT
METAFISIKA JEAN PAUL SARTRE

2.1 Problem Metafisika Frederick Sontag 
Metafisika adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang “yang-ada sebagai yang-ada”. Metafisia berasal dari istilah Yunani: ta meta ta physika; artinya “sesudah atau dibelakang realitas fisik”(Siswanto, 2004:2). Aristoteles menyebut metafisika dengan istilah being qua being. Sehingga pengertian metafisika adalah cabang filsafat yang mengkaji yang-ada sebagai yang ada (Aristoteles). Menurut Anton Bakker metafisika adalah cabang filsafat yang menyelidiki dan menggelar gambaran umum tentang struktur realitas yang berlaku mutlak dan umum.
Orang sering mengkaitkan metafisika dengan sang filsuf besar Aristoteles. Alasannya adalah melalui karya Aristoteles The First Philsophy. Karya Aristoteles ini membahas pengetahuan tentang tujuan segala disiplin. Kemudian Andronikos dari Rodhos menyebut sebagai metafisika. Christian Wolff seorang filsuf yang hidup pada abad ke-17 memberikan nama baru untuk cabang filsafat ini. Istilah yang digunakannya adalah ontology. Menurut Wolf ontology dapat dibagi menjadi dua yaitu: ontology umum dan ontology khusus. Ontology umum membahas being just that-being dengan perspketif yang lebih luas. Serta ontology khusus, yang terdiri dari psikologi rasional, kosmologi, dan teologi natural.
Dalam perkembangannya metafisika mendapat kritik yang tajam. Kritik itu datang dari para filsuf empirisisme yang melandaskan pemikirannya pada yang nampak. Sesuatu yang tak dapat ditangkap indera menurut kaum empirisisme tak dapat dimengerti. Dengan kata lain pengalaman menjadi titik pangkal pengetahuan. Ide-ide yang dibangun kaum rasionalisme tentang metafisika adalah X yang tak dapat dipahami.
Dari tokoh diatas Aristoteles dan Wolff melahirkan pembedaan akan istilah yang digunakan untuk cabang filsafat ini. Pada abad kontemporer orang tidak lagi mempermasalahkannya. Metafisika diberi konotasi baru sebagai cabang filsafat yang menggarap atau menyelidiki prinsip-prinsip pertama (Siswanto, 2004:6).
Sebagai salah satu cabang filsafat metafisika mempunyai objek material dan objek formal. Objek materialnya adalah yang-ada. Yang-ada disini harus pertama-tama ditemukan dalam manusia dan kosmos. Objek formalnya menyelidiki noumenon kenyataan;yaitu semua unsur structural yang berlaku “dimana-mana” dan untuk “apa saja” yang-ada (Siswanto, 2004:8)
Dalam perkembangan metafisika sebagai salah satu cabang filsafat. Metafisik tidak luput dari problem-problem yang harus dihadapi. Terdapat perbedaan pandangan dari para filsuf dalam hal ini. Maka dari itu makalah ini memilih salah satu saja dari para filsuf. Filsuf yang dirasa cukup representantif pandangannya adalah Sontag.
Sontag dalam pandangnnya memaparkan lima persoalan metafisika. Pertama, being and nothingness. Secara umum masalah being disetujui oleh para metafisikawan. Karena menjadi tujuan metafisika adalah menggelar gambaran secara umum tentang struktur segala sesuatu atau realitas tertentu. Jika ada “yang-ada” maka ada juga “yang-tiada” (nothingness). Sebab, fakta menunjukkan bahwa tidak semua “yang-ada” itu hadir setiap saat (Siswanto, 2004:16). “yang-tiada” dimaksud disini adalah sesuatu yang mungkin untuk “ada”. Persoalan “yang-ada” melahirkan pertanyaan lanjutan. Pertanyaan itu menyangkut jumlah, apakah “yang-ada” itu satu (the one) atau banyak (the many).
Kedua, time and necessity masih berkaitan dengan “yang-ada”. Bagaimana “yang-ada” hadir dalam masalah time and necessity. Terkait masalah waktu, persoalan paling mendasar adalah bagaimana memahami tatanan hubungan antara masa lampau, masa sekaran dan masa yang akan datang; serta bagaimana kemampuan pikiran mempertimbangkan ketiganya secara simultan (Siswanto, 2004:17). Masalah keniscayaan (necessity) yakni masalah apakah waktu berlaku bagi semua “yang-ada” atau bagi “yang-ada” tertentu saja (Siswanto, 2004:17).
Ketiga, substance and accidens, problem ini mempertanyakan watak “yang-ada” yang paling umum. Membedakan antara subtansi dan aksidensia. Kajian atas masalah ini membawa pada implikasi masalah baru, yakni masalah esensi (prinsip internal yang menyusun kualitas tertentu) dan masalah aksidensia (sesuatu yang tidak tetap, eksistensinnya tergantung pada yang lain dan tanpa itu sesuatu tetap dapat eskis) (Siswanto, 2004:17).
Keempat, the first and the last things permasalahan ini ditambahkan oleh Sontag. Permasalahan the first and the last things banyak tidak disetujui oleh filsuf lainnya. Hal ini membahas tentang apakah “yang-ada” itu “yang-pertama” ataukah “yang-terakhir”.
            Kelima, god and freedom ini merupakan permasalahn terkahir yang disebutkan oleh Sontag. Persoalan tentang god and freedom ditempatkan pada bagian terakhir bukan karena paling tidak penting; justru sebaliknya (Siswanto, 2004:18). Persoalan tentang Tuhan dalam kaitannya dengan persoalan keniscayaan, membawa implikasi metafisis munculnya masalah kebebasan (Siswanto, 2004:18).
2.2 Sistem Metafisika Jean Paul Sartre
            Jean-Paul Sarte membagi status ontologis yang transenden,  ke dalam dua bentuk  yaitu etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya) dan etre-pour-soi (being-for-itself, ada-bagi-dirinya).
a.      etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya)
            Maksud dari etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya) adalah sesuatu yang tidak sadar atau tidak memiliki kesadaran, statusnya sama seperti benda-benda mati seperti batu atau kertas. Dilihat hanya sebagai suatu benda saja. Dia gelap bagi diri sendiri, karena padat dan penuh dengan diri sendiri.
            Apa yang ada adalah identik dengan dirinya sendiri, It is what it is. Keadan ini bersifat masif, tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, self-contained, dan tidak ada hubungan dengan apa pun juga. (Siswanto : 1998). En-soi itu ada karena ada secara kebetulan, dan bukan ciptaan tuhan. Karena, andaikata diciptakan Tuhan maka, en-soi itu ada didalam pikiran Tuhan atau diluarnya. Bila didalam, maka belum tercipta, bila diluar maka ia bukan ciptaan karena berdiri sendiri.
b.      etre-pour-soi (being-for-itself, ada-bagi-dirinya)
            Maksud dari etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya) adalah sesuatu  sudah mempunyai kesadaran tentang sesuatu diluar dirinya . Sadar akan adanya Subjek dan Objek, sadar bahwa ada jarak antara diri dan kesadaran. Dan sadar akan sesuatu, akan adanya jarak, bagi Sartre adalah meniadakan (neantiser) sesuatu. Sadar akan diri sendiri adalah meniadakan diri sendiri. Ketika menjadi pour-soi, pengada itu menjadi retak, karena ia mempunyai kesadaran. Memang kesadaran menghubungkan subjek. etre-en-soi bukanlah benda dan berbeda secara radikal dengan etre-en-soi. Etre-pour-soi memiliki ciri khas negativitas. Menurut etre-pour-soi, kesadaran berarti suatu jarak, distansi, non-identitas. Etre-pour-soi adalah Ada yang berkesadaran. Bagi Sartre, manusia adalah makhluk yang membawa ‘ketiadaan’. Aktivitas etre-pour-soi adalah ‘menidak’ apa yang ada. Sartre menyimpulkan bahwa ‘ketiadaan’ muncul dengan ‘menidak’ dunia. (Bertens : 1996). Sebagai contoh misalnya terdapat seorang manusia yang sedang berbuat suatu hal, dia sadar bahwa dia sedang melakukan suatu proses peralihan. Peniadaan itu terjadi terus menerus, tidak pernah berhenti sebab manusia tidak pernah berhenti berbuat sesuatu. Jadi, proses itu tidak pernah selesai, selalu meniadakan dirinya sendiri dan berusaha untuk menjadi diri yang lain.
            Jika dibandingkan kedua cara berada tersebut, etre-en-soi sama sekali tidak mempunyai relasi dengan etre-pour-soi. Sedangkan, etre-pour-soi mempunyai relasi dengan etre-en-soi, yaitu menidak etre-en-soi. Etre-pour-soi mempunyai keinginan untuk berada sebagai etre-en-soi, yakni mempunyai identitas dan kepenuhan Ada.(Bertens : 1996)
·         Pemikiran dalam Ada dan Ketiadaan
            Program yang akan dilaksanakan dalam buku ini ditunjukkan oleh anak judulnya : suatu ontologi dasar fenomenologis. Dengan metode fenomenologi Husserl, Sartre ingin merancangkan suatu ajaran tentang Ada. Itu berarti, bagi Sartre problem pokok adalah hubungan antara kesadaran dan Ada.
·         Dua cara berada: etre-en-soi dan etre-pour-soi
            Titik tolak tidak bisa lain daripada Cogito: kesadaran yang saya miliki tentang diri saya sendiri. Dalam hal ini, Descrates benar. Tetapi filsuf abad ke-17 ini langsung menafsirkan cogito sebagai suatu cogito tertutup, sebagai cogito yang terpisah dari dunia dan terkurung dalam dirinya. Dari H`usserl dapat kita pelajari bahwa intensionalitas merupakan ciri khas kesadaran. Menurut kodratnya kesadaran terarah kepada yang lain dari dirinya. Menurut kodratnya kesadaran adalah transendensi (bertentangan dengan imanensi yang menandai cogito Descartes).
            Menurut Sartre, para fenomenolog dan khususnya Husserl tidak memberikan penjelasan yang memuaskan tentang Ada-nya fenomen-fenomen. Soalnya adalah apakah Ada-nya fenomen-fenomen merupakan suatu fenomen juga atau tidak? Menurut Husserl Ada-nya suatu objek tidak berbeda secara prinsipal dengan tampaknya obyek itu; Husserl berhenti pada esensi atau eidos, tetapi dengan itu tidak pernah merupakan syarat bagi tampaknya sesuatu. Ada itu selalu bersifat transfenomenal.  Apakah yang dapat dikatakan tentang Ada-nya kesadaran? Sudah kita ketahui, kesadaran itu bersifat intensional: menurut kodratnya terarah kepada dunia. Hal itu dirumuskan oleh Sartre sebagai berikut: kesadaran (akan) dirinya berada sebagai kesadaran akan sesuatu. Kesadaran adalah kesadaran-diri. Tetapi kesadaran (akan) dirinya tidak sama dengan pengalaman tentang dirinya: mengambil dirinya sebagai obyek pengenalan. Cogito bukanlah pengenalan-diri, melainkan kehadiran pada dirinya sebagai nontematis. Karena alasan itu kata “akan” oleh Sartre ditulis antara kurung, jadi harus dibedakan kesadaran tematis dan kesadaran nontematis; kesadaran akan sesuatu dan kesadaran (akan) dirinya. Itu berarti bahwa prarefleksif. Kesadaran (akan) dirinya “membonceng”  pada kesadaran akan dunia. Itu berarti bahwa cogito tidak menunjuk kepada sesuatu relasi pengenalan, melainkan kepada suatu relasi Ada. Kesadaran adalah kehadiran (pada) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya merupakan syarat yang perlu dan cukup untuk kesadaran. Kita tidak membutuhkan suatu Subyek Transendental atau Aku Absolut seperti diterima oleh idealisme.
            Seperti kita lihat, kesadaran akan sesuatu yang lain. Sartre menyimpulkan: terdapat Ada yang transenden (dalam arti: tidak bisa disamakan dengan kesadaran). Disuatu pihak terdapat kesadaran, dilain pihak terdapat Ada-nya fenomen-fenomen atau Ada begitu saja. (being-in-itself; ada pada dirinya sendiri). Tentang etre-en-soi itu harus dikatakan: “it is what it is”. Etre-en-soi tidak mempunyai masa silam, masa depan; tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Etre-en-soi itu sama sekali kontingen. Artinya: ada begitu saja tanpa fondamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat diturunkan dari sesuatu yang lain.
            Suatu hal lain yang ditekankan Sartre (dan ini pun diterima oleh semua fenomenolog) ialah bahwa kesadaran sekali-sekali tidak boleh disamakan dengan benda.
            Sartre menggunakan istilah etre-pour-soi (being-for-sel; ada bagi dirinya) untuk menunjukkan kesadaran. Etre-pour-soi bukanlah benda, bisa dikatakan; berarti juga bahwa etre-pour-soi berbeda radikal dengan etre-en-soi; etre-pour-soi mempunya status yang sama sekali berlainan dengan etre-en-soi. Jadi terdapat dua cara berbeda, dua modes of being yang sama sekali berbeda: etre-en-soi dan etre-pour-soi.
            Lebih lanjut kekhususan etre-pour-soi, kesadaran (akan) dirinya berada sebagai kesadaran akan sesuatu. Dengan perkataan lain, kesadaran adalah intensional. Perumusan ini dapat dibalik juga: kesadaran akan sesuatu berada sebagai kesadaran (akan) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya sendiri adalah konstitutif bagi kesadaran. Suatu maksud, rasa senang, rasa sedih, atau lain sebagainya hanya bisa berada sebagai sadar (akan) dirinya; persis seperti sesuatu benda tidak mungkin berada kecuali dengan memiliki tiga dimensi, kata Sartre. Kalau saya sadar akan sesuatu, berarti juga bahwa saya bukan “sesuatu”, bahwa saya tidak sama dengan “sesuatu” itu. Saya melihat lukisan di dinding sana tau gelas berisi teh dimeja sini: itu berarti, saya sadar bahwa saya bukanlah lukisan atau gelas. Untuk dapat melihat sesuatu, syarat mutlak ialah adanya jarak. Bila sesuatu dekat sekali dengan mata, apalagi bila sesuatu identik dengan mata (seperti misalnya retina atau selaput jala), maka saya tidak akan melihat apa-apa. Contoh lain lagi: saya sementara mengetik; itu tidak berarti saya sadar akan diri saya sebagai orang mengetik, tetapi serentak juga saya sadar bahwa saya tidak identik dengan orang yang mengetik. Saya juga bisa berhenti mengetik dan berjalan jalan atau membaca koran umpamanya. Dari semua ini harus disimpulkan bahwa negatifvitas merupakan ciri khas etre-pour-soi. Manusia sanggup untuk mengadakan relasi dengan yang tidak ada. Tentang entre-pour-soi  hatus dikatakan “it is not what it is”. Kesadaran berarti distansi, jarak, non-identitas. Bagi Sartre itu berarti lagi, kesadaran sama dengan kebebasan.
            Dengan demikian, Sartre dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang banyak memusingkan para filsuf: darimana asalnya ketiadaan? Jawabannya ialah bahwa ketiadaan muncul dengan manusia, dengan etre-pour-soi. Manusia adalah mahkluk yang membawa “ketiadaan”. Aktivitas khusus etre-pour-soi adalah “menindak”.
            Jika kita membandingkan dua cara berada etre-en-soi dan etrepout-soi itu, maka etre-en-soi sama sekali tidak mempunyai relasi dengan etre-pour-soi, sedangkan etre-pour-soi mempunyai relasi dengan etre-en-soi, yaitu tidak lain daripada “menindak” etre-en-soi. Salah satu keinginan etre-pour-soi adalah berada sebagai etre-en-soi: mempunyai identitas dan kepenuhan ada (seperti:etre-en-soi) dan toh mempertahankan sifatnya sebagai etre-pour-soi. Manusia senantiasa berusaha menjadi Allah, sintesa dari etre-en-soi dan etre-pour-soi. Karena itu pada akhir bukunya Sartre mengatakan bahwa manusia merupakan une passion inutile: suatu gairah yang sia-sia saja.
2.3 Analisis Koherensi Problem Metafisika Sontag dengan Sistem Metafisika Sartre
Persoalan pertama yang diajukan Sontag adalah keterkaitan antara metafisika Sontag dan Sartre yang akan diungkap disini yaitu mencoba menjawab persoalan metafisika yang diajukan oleh Sontag mrnggunakan pemikiran Sartre. Persoalan yang diajukan Sontag adalah mengenai being and nothingness.  Pertanyaan tersebut kemudian menyangkut jumlah, apakah “yang-ada” itu satu (the one) atau banyak (the many). Sartre menjawab persoalan ini dengan karyanya yang berjudul Being and Nothingness. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa manusia berhubungan dengan dunia melalui hubungan pertanyaan. Dalam kehidupannya, manusia mengajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap realitas dan kemudian akan mendapatkan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Sartre menjelaskan argumen tersebut dengan sebuah cerita ketika ia mencari temannya, Piere, di sebuah cafe yang penuh sesak oleh pengunjung. Satu demi satu ia melihat orang-orang dan memberikan kesimpulan apakan itu Piere yang ia cari atau bukan. Ternyata, setelah mengamati sekian banyak orang, Piere tidak ada disana. Realitas telah menyatakan suatu ketidakhadiran atau ketidakberadaan yang bukan sekedar fakta gramatikal atau subjektif belaka, tetapi nyata. Ada maupun ketiadaan dari realitas, keduanya menjadi alasan bagi tindakan manusia. Misalnya, setelah ia menyadari bahwa Piere tidak ada di cafe itu, maka ia tergerak untuk melanjutkan mencari Piere di tempat lain. Pertanyaan Sontag tersebut menyangkut jumlah, apakah “yang-ada” itu satu (the one) atau banyak (the many). Berdasarkan (Siswanto, 1998: 140) ontologi Sartre didasarkan pada dualisme. Secara fenomenologis, yang ada (being)  dapat dibedakan menjadi dua macam “Ada dalam diri” (Being in itself – L’etre-en-soi) dan “Ada untuk diri” (Being for itself – L’etre-pour-soi). Maka dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa yang ada menurut Sartre itu jamak (the many).
Persoalan kedua mengenai time and necessity yang masih berkaitan dengan “yang-ada”. Menurut Sartre, berada-bagi-dirinya-sendiri dipisahkan dari masa lalu oleh suatu ketiadaan. Masa lalu memang memiliki faktisitas, yaitu fakta-fakta tertentu yang tidak dapat diubah (takdir). Tidak ada suatu hal pun di masa lalu yang menyebabkan perbuatan kita di masa sekarang. Menurut Sartre, kebanyakan orang mendapat pengaruh dari pengalaman masa lalunya dalam melakukan sebuah tindakan. Misalnya kita memiliki sebuah pengalaman buruk dan tidak ingin peristiwa lalu itu terjadi kembali, maka kita dianggap telah ‘putus’ dari masa lalu. Putusnya diri kita sekarang dengan masa lalu memunculkan sebuah “ketiadaan”.
Persoalan ketiga, substance and accidens, problem ini mempertanyakan watak “yang-ada” yang paling umum. Membedakan antara subtansi dan aksidensia. L’etre-en-soi merupakan substansi, alasannya karena ada-dalam-diri merujuk pada cara bereksistensi secara tertutup. Ia tidak berhubungan dengan hal luar-diluar dirinya sendiri, berarti juga ia terlepas dari aksidensi-aksidensi. Menurut Siswanto (1998: 140), L’etre-en-soi disebut “ada yang tidak berkesadaran”, merupakan adanya benda-benda yang berada begitu saja (it is what it is). Ia timbul secara kebetulan tanpa memerlukan keterangan-keterangan lain. Dapat pula dikatakan bahwa L’etre-en-soi tidak dipengaruhi atau bersentuhan dengan aksidensi.
Raymond dalam Siswanto (1998: 140) menyebutkan bahwa L’etre-pour-soi atau “ada untuk diri” menunjuk cara beradanya manusia yaitu pada kesadaran manusia yang sifatnya melebar dengan dunia kesadaran dan sifat kesadaran yang berada diluar diri sesuatu atau seseorang. Selanjutnya kesadaran memunculkan subjek dan objek. Subjek kemudian menjadi “pengada yang sadar” dan objek sebagai dirinya sendiri yang disadari. Hal ini menunjukkan bahwa L’etre-pour-soi melakukan aktivitas menjadikan diri sebagai subjek dan objek yang berperan sebagai aksidensia.
Keempat, the first and the last things. Setiap keinginan untuk menjadi yang ada dalam diri setiap orang adalah suatu usaha untuk memecahkan masalah tentang yang Absolut, dan setiap usaha perorangan adalah unik dan menyatakan suatu pilihan asli dari berada-di-dalam-dunia. Sartre menyebutnya sebagai ‘Proyek Asli’ atau proyek ‘mendasar’ atau ‘awal’. Sehingga hal ini bermula dari berada-pada-diri (le etre en soi), sebagai the first. Meskipun terdapat anggapan bahwa berada-dalam-diri hanya terdapat pada benda dan hewan namun sekiranya juga terdapat pada manusia, bukankah manusia juga memiliki sifat kodrat jasmani yang tersusun dari unsur animal dan vegetatif. Setelah berada-dalam-diri kemudian manusia menuju pada (le etre pour soi) atau berada untuk diri sebagai the last things. Etre pour soi yang terakhir ini hanya ada pada manusia yang kemudian sadar akan eksistensinya.
Persoalan terakhir mengenai god and freedom,  merupakan permasalahn terkahir yang disebutkan oleh Sontag. Menurut Sartre, manusia dapat didefinisikan sebagai kebebasan. Kebebasan tersebut tampak dalam kecemasan. Kecemasan adalah kesadaran bahwa masa depan saya sepenuhnya ditentukan oleh diri saya sendiri. Menurut K.Bertens (2001:100) Sartre mengungkapkan bahwa manusia berada dalam dilema antara sama sekali bebas atau sama sekali tidak bebas. Tidak ada kemungkinan ketiga. Kebebasan manusia betul-betul absolut, tak ada batasnya selain batas yang ditentukan oleh kebebasannya itu sendiri. Konsep tersebutlah yang menjadi alasan ateisme Sartre. Seandainya Allah ada tidak mungkin dirinya bebas. Allah itu mahatahu yang sudah mengetahui segala-galanya sebelum manusia melakukan suatu hal dan Allah pulalah yang akan menentukan hukum moral. Jika demikian, tiada peluang lagi bagi kreatifitas kebebasan. Allah sebagai Ada Absolut tidak boleh tidak akan memusnahkan kebebasan manusia.




BAB III
KESIMPULAN
 
METAFISIKA-JEAN-PAUL-SARTRE-SINAU-FILSAFAT
METAFISIKA-JEAN-PAUL-SARTRE-SINAU-FILSAFAT
Sontag dalam pandangnnya memaparkan lima persoalan metafisika. Pertama, being and nothingness. Kedua, time and necessity yang masih berkaitan dengan “yang-ada”. Bagaimana “yang-ada” hadir dalam masalah time and necessity. Ketiga, substance and accidents yang mempertanyakan watak “yang-ada” yang paling umum. Membedakan antara substansi dan aksidensia. Keempat, the first and the last things. Hal ini membahas tentang apakah “yang-ada” itu “yang-pertama” ataukah “yang-terakhir”. Kelima, god and freedom. Persoalan tentang Tuhan dalam kaitannya dengan persoalan keniscayaan, membawa implikasi metafisis munculnya masalah kebebasan.
Sedangkan Jean-Paul Sarte membagi status ontologis yang transenden,  ke dalam dua bentuk  yaitu etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya) dan etre-pour-soi (being-for-itself, ada-bagi-dirinya). Etre-en-soi adalah sesuatu yang tidak sadar atau tidak memiliki kesadaran statusnya sama seperti benda-benda mati. Etre-pour-soi adalah sesuatu yang sudah mempunyai kesadaran tentang sesuatu diluar dirinya. Etre-en-soi sama sekali tidak mempunyai relasi dengan etre-pour-soi. Sedangkan, etre-pour-soi mempunyai relasi dengan etre-en-soi, yaitu menidak etre-en-soi. Etre-pour-soi mempunyai keinginan untuk berada sebagai etre-en-soi, yakni mempunyai identitas dan kepenuhan Ada.
Persoalan yang diajukan Sontag adalah mengenai being and nothingness. Sartre menjawab persoalan ini dengan karyanya yang berjudul Being and Nothingness yang menjelaskan bahwa manusia berhubungan dengan dunia melalui hubungan pertanyaan. Secara fenomenologis, yang ada (being)  dapat dibedakan menjadi dua macam “Ada dalam diri” (Being in itself – L’etre-en-soi) dan “Ada untuk diri” (Being for itself – L’etre-pour-soi). Maka dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa yang ada menurut Sartre itu jamak (the many). Persoalan kedua mengenai time and necessity yang masih berkaitan dengan “yang-ada”. Menurut Sartre, berada-bagi-dirinya-sendiri dipisahkan dari masa lalu oleh suatu ketiadaan. Tidak ada suatu hal pun di masa lalu yang menyebabkan perbuatan kita di masa sekarang. Menurut Sartre, kebanyakan orang mendapat pengaruh dari pengalaman masa lalunya dalam melakukan sebuah tindakan. Persoalan ketiga, substance and accidens, problem ini mempertanyakan watak “yang-ada” yang paling umum. Membedakan antara subtansi dan aksidensia. L’etre-en-soi merupakan substansi, alasannya karena ada-dalam-diri merujuk pada cara bereksistensi secara tertutup. Ia tidak berhubungan dengan hal luar-diluar dirinya sendiri, berarti juga ia terlepas dari aksidensi-aksidensi. Keempat, the first and the last things. Setiap keinginan untuk menjadi yang ada dalam diri setiap orang adalah suatu usaha untuk memecahkan masalah tentang yang Absolut, dan setiap usaha perorangan adalah unik dan menyatakan suatu pilihan asli dari berada-di-dalam-dunia. Sartre menyebutnya sebagai ‘Proyek Asli’ atau proyek ‘mendasar’ atau ‘awal’. Sehingga hal ini bermula dari berada-pada-diri (le etre en soi), sebagai the first. Meskipun terdapat anggapan bahwa berada-dalam-diri hanya terdapat pada benda dan hewan namun sekiranya juga terdapat pada manusia, bukankah manusia juga memiliki sifat kodrat jasmani yang tersusun dari unsur animal dan vegetatif. Persoalan terakhir mengenai god and freedom. Menurut Sartre, manusia dapat didefinisikan sebagai kebebasan. Kebebasan tersebut tampak dalam kecemasan. Kecemasan adalah kesadaran bahwa masa depan saya sepenuhnya ditentukan oleh diri saya sendiri. Manusia berada dalam dilema antara sama sekali bebas atau sama sekali tidak bebas. Tidak ada kemungkinan ketiga. Kebebasan manusia betul-betul absolut, tak ada batasnya selain batas yang ditentukan oleh kebebasannya itu sendiri.




Daftar Pustaka
Bertens, K. 1996. Filsafat Barat Abad XX, Jilid II Prancis. PT. Gramedia: Jakarta.
_________. 2006. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. PT. Gramedia Pustaka Utama:     Jakarta.
           
Palmer, Donald. 2003. Sartre Untuk Pemula diterjemahkan oleh B. Dwianta Edi Prakosa dan      Stepanus Wakidi. Kanisius: Yogyakarta.
Siswanto, Joko. 1998. Sistem-Sistem Metafisika Barat: Dari Aristoteles sampai     Derrida.          Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
____________. 2004. Metafisika Sistematik. Taman Pustaka Kristen: Yogyakarta.
Sontag, Frederick. 1970. Problems of  Metaphysics. Chandler Publishing Company: USA.


Load disqus comments

0 comments