Wednesday, October 4, 2017

Metafisika Filsafat | Kedatangan Nihilisme Nietzsche | Sinau Filsafat


aliran-nihilisme
Nihilism

            Sejarah metafisika mengejawantah dalam era Modern dan bergerak menuju puncak kepenuhannya pada Hegel dimana dikotomi subyek x obyek, pemikiran x Ada, partikularitas x universalitas, dipersatukan dalam suatu kesatuan absolut. Kesatuan organik antara segala hal yang bertentangan ini terwujud dalam Roh Absolut yang telah mengejawantah pada tataran pikiran murni, perkembangan alam semesta dan sejarah peradaban. Dengan demikian, segala-galanya telah diterangi dalam suatu kepastian yang niscaya; tak ada lagi tempat bagi yang tak terpahami, tak ada lagi tempat bagi tragedi.


           Sebelum membaca  Kedatangan Nihilisme Sinau Filsafat menyarankan untuk membaca lebih dahulu Tulisan : Pengantar Metafisika Dalam Filsafat | Apa itu Metafisika? 

            Tiga belas tahun setelah kematian Hegel di tahun 1831, yaitu tahun 1844, terbitlah sebuah buku yang menggemparkan masanya. Penulisnya adalah seorang Hegelian Muda. Bukunya itu terbit setahun sebelum Die Heilige Familie nya Marx terbit, setahun sebelum Das Wesen des Christentums nya Feuerbach terbit, juga bersamaan dengan terbitnya buku-buku pertama Kierkegaard. Pada tahun ketika buku itu terbit, lahirlah Friedrich Nietzsche. Dalam buku itu, penulisnya melakukan kritik habis-habisan atas filsafat Hegelian, moralitas Kristiani, masyarakat kapitalis, tirani negara, humanisme dan pandangan ketuhanan. Buku itu berjudul Der Einzige und Sein Eigentum (Individu dan Miliknya). Sang penulis itu bernama Max Stirner (1806-1856).
            Stirner melancarkan kritik atas Hegel dengan membalikkan oposisi hierarkis dalam Hegel. Namun ia telah terlebih dahulu membaca Hegel secara tertentu, maksudnya, menitikberatkan sisi-sisi tertentu dari filsafat Hegel (seperti universalitas, keteraturan dan spiritualitas). Berdasarkan pembacaan yang tertentu inilah, ia memprioritaskan sisi-sisi yang ia anggap disubordinasikan dalam pemikiran Hegel seperti partikularitas, ketiadaan tatanan dan realitas individual.

            Dua puluh delapan tahun setelah buku itu terbit, Nietzsche menerbitkan bukunya yang pertama, Die Geburt der Tragödie (Lahirnya Tragedi). Perlahan-lahan Nietzsche menjadi terkenal sebagai pemikir yang mengumandangkan kedatangan nihilisme. Ia melakukan kritik (seperti sudah didahului oleh Stirner) terhadap moralitas Kristiani, ide tentang Tuhan dan kebenaran. Ia menunjukkan bahwa nihilisme merupakan suatu keniscayaan historis yang akan muncul dari peradaban manusia yang masih terjebak dalam metafisika. Nietzsche yang dibahas di sini adalah Nietzsche sebagaimana dipahami secara umum. Ia berupaya mengatasi nihilisme dengan melakukan pembalikan atas oposisi hierarkis metafisika. Ia lebih memprioritaskan tubuh ketimbang jiwa, kekacauan ketimbang tatanan, irasionalitas kehendak ketimbang rasionalitas nalar, sirkularitas ketimbang teleologi.

            Pada bagian ini kita akan melihat bagaimana kedatangan nihilisme itu terjadi. Pertama, kita akan melihat bagaimana pemikiran Max Stirner (yang jarang kita sebut ketika kita membicarakan Nietzsche) ternyata telah mengantisipasi gagasan-gagasan Nietzsche dan melakukan pembalikan atas hierarki oposisional Hegelian. Kedua, kita akan menguraikan pemikiran Nietzsche dari perspektif umum dalam kaitannya dengan pembalikan hierarki oposisinal metafisika secara umum.
Read more

Pengantar Metafisika Dalam Filsafat | Apa itu Metafisika? | Sinau Filsafat

           Apa itu metafisika? Dari segi etimologi, ilmu “metafisika” umumnya didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang “melampaui” (meta) “hal-hal fisik” (physika). Sejarah filsafat mengisahkan bahwa metafisika adalah “filsafat pertama” (philosophia prōtē). Metafisika muncul sebagai respons manusia terhadap bentangan alam dunia. Pada momen tertentu dari keterlemparannya di dunia, manusia bertanya-tanya akan alasan keberadaannya dan makna dunia ini. Uniknya, pada detik ketika manusia bertanya tentang alasan, ia sesungguhnya telah bertanya tentang dasar, tentang alas, yang melandasi bentangan dunia dan dirinya. Para filsuf Antik menyebut dasar azali itu sebagai “Ada” (ontos). Para teolog nantinya akan menyebut itu dasar azali sebagai “Tuhan” (theos). Dengan kata lain, sejak awal kelahirannya, filsafat telah memandang “Ada” sebagai “dasar” yang melandasi seluruh bentangan semesta ini.Makalah-metafisika-filsafat
           Pandangan ini terlihat jelas dalam manuskrip Aristoteles yang berjudul Metaphysika. Di sana ia menulis tentang “ilmu” yang mempelajari “tentang Ada sebagai Ada dan tentang apa arti ‘ada’”[1]. Ilmu yang ia maksudkan itu nantinya disebut sebagai “metafisika”. Dari kutipan tersebut telah terlihat bahwa Aristoteles membedakan Ada dari ada; yang kedua berada dengan berlandaskan pada yang pertama. Dengan kata lain, bertolak dari pertanyaan tentang alasan dari segala sesuatu, para filsuf telah membagi dua dunia, yaitu dunia penampakan (ranah ada) dan dunia Kesejatian (ranah Ada). Dan metafisika adalah ilmu yang mempelajari Ada itu sendiri. Dengan demikian, metafisika selalu berdasar pada doktrin dua dunia.
Kita tak akan masuk ke penjelasan mendetil tentang pemerian kualitas-kualitas dari kedua dunia itu (misalnya tentang permanensi dan perubahan). Apa yang menarik perhatian kita adalah pembagian itu sendiri. Para metafisikawan melakukan pembagian dua dunia dengan menerakan sifat-sifat yang bertentangan. Dengan kata lain, sejak mula metafisika telah berproses dengan skema logika oposisional. Jika kita mengecek sejarah filsafat Yunani Kuno, kita akan menemukan “artefak-artefak” skema logika oposisional ini. Dengan mengatakan bahwa air merupakan “prinsip dasar” (arkhē) dari semesta raya ini, Thales sesungguhnya telah menggunakan skema logika oposisional ini, yaitu dengan membagi dan memperlawankan secara logis dasar dan sesuatu yang didasari. Hal ini juga nampak jelas pada Anaksimander ketika ia mengatakan bahwa alam semesta tercipta dari oposisi antara panas dan dingin yang keluar dari rahim to Apeiron (yang Tak-Terbatas)[2]. Ketika Anaksimenes mengatakan bahwa arkhē dari realitas adalah “udara” karena dalam “udara” terjadi aktivitas “pemadatan” (puknotēs) dan “pengenceran” (manotēs)[3], ia sebenarnya telah mematuhi skema logika oposisional ini, yaitu dengan memandang realitas sebagai hasil aktivitas oposisi pemadatan-pengenceran. Pada Pitagoras, skema logika ini nampak jelas dalam pandangannya bahwa angka diatur oleh sepasang prinsip yang oposisional, yaitu prinsip Monad (prinsip kesatuan; ganjil) dan Dyad (prinsip keduaan; genap). Begitu pula dalam filsafat Empedokles yang memandang bahwa sejarah digerakkan oleh kontradiksi oposisional antara “cinta” (philōtes) dan “benci” (nēikos). Dalam sejarah metafisika, skema logika oposisional ini tetap menjadi pisau analisa utama. Skema logika ini telah begitu menyatu dengan metafisika itu sendiri.
Namun kita dapat bertanya lebih lanjut: darimana muncul skema logika semacam itu? Atau, jika kita buat pertanyaannya lebih filosofis, apa syarat kemungkinan dari skema logika itu? Skema logika itu muncul dari organisasi atas perbedaan. Dengan kata lain, pengandaian utama skema logika itu adalah asumsi bahwa perbedaan dapat diorganisasikan ke dalam blok-blok atau dikristalkan ke dalam kutub-kutub yang bertentangan secara diametral. Metafisika selalu berangkat dari suatu asumsi tertentu tentang perbedaan, atau lebih tepatnya, dari asumsi bahwa perbedaan dapat diorganisasikan ke dalam pasangan-pasangan oposisi yang stabil. Itulah sebabnya Hegel, pada awal abad ke-19, dapat merumuskan dialektika. Tanpa keterorganisasian perbedaan, tak akan ada dialektika. Itulah sebabnya Hegel dapat menempatkan Oposisi sebagai puncak sintesa dari antitesis Perbedaan dan Varietas dan berkata bahwa “Dalam Oposisi, […] Perbedaan telah disempurnakan.”[4] Jadi metafisika bertolak dari suatu penafsiran tertentu atas perbedaan.
Lantas apa yang dicari oleh metafisika? Telah kita lihat bahwa metafisika berupaya mencari arkhē atau “prinsip dasar”. Dengan kata lain, metafisika berupaya mencari pendasaran atas segala sesuatu. Dan bertanya tentang “prinsip dasar” sama dengan bertanya tentang sesuatu yang mendasari sesuatu, mengenai sesuatu yang menyebabkan sesuatu, mengenai sesuatu yang memungkinkan sesuatu. Kita pun tahu, arkhē tak hanya berarti “asal-usul” namun juga “prinsip yang mengatur” dan sekaligus “prinsip antisipatif atas suatu tujuan tertentu”. Pertanyaan akan arkhē adalah pertanyaan tentang apa/siapa yang mendahului apa/siapa, tentang apa/siapa yang lebih tua dari apa/siapa, tentang apa/siapa yang menguasai apa/siapa. Oleh karena itu, dengan bertanya tentang arkhē, metafisika sebenarnya juga berupaya mencari penjelasan tentang asal dan tujuan segala sesuatu. Dan pertanyaan tentang asal dan tujuan segala sesuatu selalu terkait dengan identitas dari sang manusia yang bertanya. Dengan mengetahui asal dan tujuan kita, maka kita akan mengetahui identitas kita. Maka, jika mau dirumuskan, metafisika adalah organisasi atas perbedaan ke dalam skema oposisional agar mencapai pengertian tentang dasar, asal-tujuan dan identitas.
Dalam tulisan ini, kita akan membahas upaya para filsuf dalam melancarkan kritik atas metafisika, dalam melancarkan apa yang disebut-sebut sebagai “pelampauan atas metafisika”. Kita tidak akan membahas kontribusi tradisi filsafat Analitik dalam upaya pelampauan atas metafisika walaupun “para filsuf linguistik” Lingkaran Wina dan mazhab ordinary language juga turut melancarkan kritik atas metafisika. Kita akan membatasi lingkup analisa tulisan ini dalam konteks tradisi filsafat Kontinental.
Pada Bab I, kita akan melihat tiga upaya yang telah dilakukan untuk “melampaui” metafisika: “pembalikan” a la Nietzsche (sebagaimana pembacaan standar atasnya), “tegangan” a la Heidegger dan “pemutusan” a la Levinas. Nietzsche (sebagaimana dibaca oleh Heidegger) berupaya melampaui metafisika dengan melakukan pembalikan atas hierarki oposisi dalam metafisika, misalnya: dengan mengutamakan tubuh ketimbang jiwa dan kekacauan ketimbang ketertiban. Heidegger berupaya mengatasi ekses negatif metafisika dengan menekankan aspek tegangan antara ketersingkapan (alētheia) dan ketersembunyian (lēthe) Ada. Levinas berupaya melampaui metafisika dengan memutuskan hubungan dari metafisika melalui teori etika tentang Yang-Lain yang sepenuhnya transenden melampaui segala konseptualisasi logika. Ketiga model itu tetap tak bisa melampaui metafisika.
Pada Bab II, kita akan melihat upaya Derrida, dalam pelbagai aspek gagasannya, untuk menghadapi problem metafisika ini. Bab ini juga berperan sebagai pengantar komprehensif atas filsafat Derrida. Melalui dekonstruksi, Derrida berupaya menunda metafisika dengan meradikalkan model tegangan a la Heidegger. Hal ini berkisar pada wacananya tentang kontaminasi. Melalui wacana ini, Derrida mengupayakan suatu “closure of metaphysics” yang bukan merupakan “end of metaphysics”. Inilah sebabnya kita mesti berhati-hati untuk tidak menyamakan filsafat Derrida dengan Posmodernisme, untuk tidak bertempik-sorak merayakan “matinya metafisika”. Justru ketika kita menyamakan “dekonstruksi” dengan “matinya metafisika”, dekonstruksi akan menjadi sekedar jargon dan sumbangannya dalam rangka kritik atas metafisika menjadi hilang. Kita hanya bisa melihat sumbangan terbesar Derrida jika kita melihat dekonstruksi sebagai upaya penundaan, dan bukan pembunuhan, atas metafisika. Karena Derrida sendiri sadar bahwa “akhir metafisika” sama dengan “metafisika (tentang) akhir”.
Namun apa yang membuat metafisika bermasalah? Karena metafisika (alias skema oposisional) membutakan kita dari hal yang sebenarnya. Tidakkah jawaban itu juga bertumpu pada metafisika? Mengapa itu bertumpu pada metafisika, apakah semuanya bertumpu pada metafisika, dan apa karakter-karakter utama dari “metafisika” itu? Pertanyaan-pertanyaan ini akan kita bahas dalam kaitan dengan upaya Derrida untuk menunda metafisika. Hal ini akan muncul dalam bentuk problem-problem yang akan kita bahas dalam Bab III. Pada “Nihilisme dalam Nihilisme”, problem ini akan muncul sebagai problem batas-kontaminatif dari ranah metafisika. Bagian ini merupakan suatu upaya “membaca Nietzsche setelah membaca Derrida”; dengan kata lain, suatu pembacaan yang menghubungkan pandangan Nietzsche dan Derrida. Melalui pembacaan ini kita akan menemukan bahwa ranah metafisika adalah ranah nihilisme dan bahwa kita sudah selalu terjebak di sana karena “batas” selalu bersifat kontaminatif (yang di luar selalu berada di dalam, vice versa) sehingga segalanya imanen dalam ranah metafisika.

Bagian selanjutnya, “Imanensi Ranah-Antara”, membahas tentang bagaimana pandangan mengenai karakter imanen dari ranah-antara merupakan matriks teoritis yang mempertemukan filsafat Perancis tahun 50 dan 60-an (khususnya Derrida, Deleuze, Merleau-Ponty dan Blanchot). Kita akan menemukan bahwa posisi ini merupakan respons atas metafisika Hegel dan, secara sekaligus, merupakan hasil dari pembacaan Hyppolite atas Hegel (setidaknya bagi Derrida dan Deleuze). Keempat tokoh itu sepakat bahwa ranah-antara ini bersifat “pra-konseptual” (baca: pra-oposisional) dan bahwa segalanya “imanen” dalam ranah-antara (segalanya merupakan “efek” dari arus permainan dalam ranah-antara ini sehingga ranah ini merupakan syarat kemungkinan, sekaligus ketidakmungkinan, dari segalanya). Ranah ini merupakan ”fondasi” yang terus menerus mendefondasi dirinya sendiri dalam suatu gerak atau arus kontaminasi yang tak pernah bisa diformalisasikan ke dalam konsep yang ajeg. Kita akan secara sekilas menunjukkan bahwa pandangan tentang ranah-antara ini memiliki kesesuaian dengan apa yang disuarakan Heidegger pada akhir hidupnya dan bahwa kesemuanya menemukan suatu hal yang sama: aporia.

Pada bagian terakhir kita akan melihat bahwa aporia itu terkait dengan problem (serta motif) pelampauan atas metafisika. Untuk melihat hal ini secara lebih jelas, kita akan memasuki diskusi lebih mendetail tentang ranah metafisika. Kita akan berdiskusi tentang problem batas dan bidang kontaminasi dalam kaitan dengan différance. Melalui pertautan ini, muncullah suatu problem dari dekonstruksi, yaitu problem “ketakhinggaan”. Problem ini akan memunculkan masalah lain, yaitu tentang soal ranah “pra-kontaminasi” yang terkait dengan konsep “kebenaran” dan “pertanyaan”. Intensi filsafat Derrida (juga Heidegger dan Deleuze dalam sense masing-masing) adalah pembebasan “yang lain” dari represi sistem oposisi-biner (metafisika) dengan menunjukkan bahwa “yang lain” itulah yang sebenarnya mendahului, memungkinkan serta membatasi sistem oposisi-metafisis. Segalanya imanen dalam ranah yang digelarkan oleh permainan yang lain. Ironisnya, karakter imanen ini jugalah yang menyebabkan segala upaya “pelampauan” (bahkan jika dalam bentuk “penundaan”) selalu mendekam lagi pada ranah metafisika/kontaminasi ini. Upaya untuk menyingkap “yang lain yang sebenarnya” inilah (entah itu perbedaan, Sein ataupun différance) yang mengarahkan mereka pada wacana imanensi dan membuat wacana mereka selalu imanen dalam metafisika. Dengan kata lain, terdapat suatu konsep “kebenaran” tertentu yang melandasi pemikiran mereka: bukan kebenaran sebagai yang beroposisi dengan kesalahan melainkan kebenaran sebagai yang berkontaminasi dengan pertanyaan. Heidegger pernah menulis bahwa tiap pertanyaan, pencarian, selalu sudah mensyaratkan bahwa kita telah memiliki sebagian dari yang dicari dan dipertanyakan. Dengan kata lain, pertanyaan selalu melibatkan antisipasi-kontaminasi dengan kebenaran dari jawaban. Kebenaran dan pertanyaan selalu sudah imanen dalam ranah kontaminasi. Oleh karena itu, berkata bahwa, misalnya, “yang lain adalah struktur kuasi-transendental yang sebenarnya dari seluruh pengalaman” atau bahwa “différance adalah syarat kemungkinan sekaligus ketidakmungkinan yang sesungguhnya dari segala makna dan konsep” adalah sama dengan berkata: “marilah kita terbenam dalam metafisika”. Pada akhir bagian ini, kita akan dihadapkan pada dua alternatif yang muncul dari problem internal dekonstruksi.
Tulisan ini, sejak awal, tidak bermaksud untuk memberikan satu kesimpulan final atas pelbagai persoalan metafisika. Tulisan ini bermaksud untuk menjaga agar pertanyaan tetap terbuka, untuk mengusahakan agar filsafat masih dimungkinkan pasca-dekonstruksi.



[1] Aristoteles, Metaphysics diterjemahkan oleh Richard Hope (New York: Columbia University Press), 1952, hlm. 61. (kalimat pertama dalam buku Gamma).
[2] Kathleen Freeman, The Pre-Socratic Philosophers (Oxford: Basil Blackwell), 1953, hlm. 58.
[3] Ibid. hlm. 65.
[4] GWF Hegel, Science of Logic Vol II (London: George Allen & Unwin Ltd), 1966, hlm. 50.

Read more

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM - SINAU FILSAFAT

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
        Sesudah pemerintahan Abdurrahman II, kekuasaan pemerintahan Dinasti Umayah di Andalusia silih berganti. Andalusia dalam masa 45 tahun sejak masa penaklukannya (711-756 M) dipegang oleh 24 orang gubernur dependen, sehingga rata-rata masa pemerintahannya adalah kurang dari dua tahun. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan Andalusia masa itu masih dalam kegoncangan dan kekacauan. Selama itu, Andalusia terjadi peralihan dari pemerintahan bangsa Goth kepada Bani Umayyah (al-‘Ibadi, 1964:49). Namun, hal itu dapat diatasi oleh al-Dakhil ketika ia berhasil memasuki Andalusia, dan dengan peralihan siasatnya ia dapat mendirikan Bani Umayyah II serta mengatasi konflik dan menyatukan masyarakat Andalusia dibawah kekuasaannya (Lapidus, 1989:380). Setiap pemberontakan dan kerusuhan yang terjadi selalu dapat diatasi oleh Dakhil, seperti menghadapi perlawanan dari al-Fihri, terjadi dua kali di Cordova: pemberontakan Hisham al-Fihri di Toledo dan ancaman-ancaman dari luar, Bani Abbas dan Charmelenge terhadap Andalusia. Semuanya itu dapat digagalkan dan diamankan oleh al-Dakhil (Hitti, 1974:507).
        Selama delapan abad, islam berjaya di bumi Eropa (Andalusia), maka pada saatnya Islam yang pernah membangun peradaban yang cukup gemilang itu harus runtuh dan tersungkur di tanah Eropa. Peradaban Islam yang telah dibangun dengan susah payah dan  kerja keras kaum muslimin itu, harus ditinggalkan dan dilepas begitu saja karena kelemahan-kelemahan yang terjadi di kalangan kaum muslim sendiri, dan karena kegigihan bangsa barat/Eropa untuk merebut dan meruntuhkan peradaban Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
        Pengaruh geografis Andalusia yang terpisah oleh  pegunungan dan sungai-sungai dengan masyarakatnya yang heterogen, tidak memungkinkan sistem pemerintahan sentralisasi yang dibangun oleh Abdurrahman II, maka, digantilah dengan sistem disentralisasi, tetapi ternyata menimbulkan disintegrasi politik. Tiga orang amir, Muhammad ibn Abdurrahman, al-Mundzir, dan Abdullah tidak mampu membendung timbulnya kerajaan-kerajaan kecil. Diantara kerajaan-kerajaan kecil tersebut adalah kerajaan Bani Hujjah di Seville dari suku Arab Yamani, Kerajaan Zu-al nun di Toledo (kemudian hari saat masa kemunduran Bani Umayyah), suku Berber, selatan portugal dan orang-orang spanyol turunan menguasai wilayah Algarave. Penduduk dataran tinggi Elvira di Granada dan penduduk Murcia, serta Kristen di Toledo melepaskan diri dari Amir Abdullah dan beberapa provinsi lainnya dalam wilayah Andalusia menyatakan kemerdekaannya dan tidak lagi mengirim hasil pendapatan daerahnya kepada pemerintah pusat. Amir Abdullah hingga akhir masanya tidak mampu sama sekali menghadapi dan mengatasi krisis yang menimpa Andalusia pada masanya hingga ia meninggal pada 912 M.
        Perlu dicatat, bahwa munculnya Umar Ibn Hafsun yang berasal dari pegunungan Bobastra (tepatnya di Bukit Tolox yang terletak diantara Medina dan Sodonia) dibagian selatan Andalusia. Ia hidup dalam berbagai cara dan tidak konsisten. Riwayatnya dimulai dengan mencuri kambing, maka Hafsun usir anaknya ke Tangier. Setelah ayahnya mati, Umar kembali ke Tolox dan membina kekuatan dengan jumlah sebanyak 40 orang, menjadi ancaman serius bagi empat amir: Muhammad, Mundzir, Abdullah dan al-Nashir. Semasa Abdullah, Umar secara defato menjadi penguasa Andalusia (Rahman, 1975:100-101). Hal ini dapat diatasi Abdurrahman III dikarenakan Umar sudah berusia lanjut. Disamping itu, dan dengan keperkasaanya Abdurrahman mampu mengkonsolidasikan kembali wilayah kekuasaan Umayyah yang sudah hampir musnah, maka selama 20 tahun, awal pemerintahannya semua wilayah Andalusia sudah dapat dikuasainya kembali. Berkat bantuan pasukan Slav yang kuat, sehingga segenap penjuru perbatasan dapat diamankan, dan dengan stabilitas negara yang cukup baik, juga karena khalifah Abbasiah sudah lemah, sementara kekhalifahan Fatimiah di Afrika bersaing kuat--mendorong Abdurrahman III (929 M) menyatakan dirinya sebagai khalifah dengan gelar Amir al-Mu’minin yang telah berhasil menyelamatkan Andalusia sebagai wilayah kekuasaan Umayyah dan menjadikan negeri itu sebagai pusat peradaban Eropa, salah satu pusat peradaban terbesar di dunia. Seperti Konstantinopel dan Baghdad – sehingga Cordova dijuluki sebagai mutiara dunia. Seperti telah diuraikan, bahwa dalam kegiatan ilmiah Andalusia paling jaya semasa Hakam II, namun ia tidak tinggalkan generasi yang mampu dan kuat, menyebabkan setelah ia wafat dan terutama pasca Hajib al-Mansur, Andalusia masuk pada masa kemunduran.
        Hisham ibn Hakam II, masih berusia 12 tahun merupakan orang yang paling berhak mewarisi kekhalifahan ayahnya. Hal ini menyebabkan timbulnya perselisihan di kalangan pejabat tinggi Negara dan orang istana, hingga terpecah menjadi dua kelompok; kelompok militer yang didominasi oleh orang Slav dan orang sipil dengan tokohnya al-Hajib al-Mansur yang didukung oleh menterinya. Sementara pihak militer memandang, Hisham tidak mungkin memimpin dan mengatur Negara karena militer tidak mungkin tunduk dibawah kekuasaannya yang belum dewasa. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa kekhalifahan sebaiknya diserahkan kepada pamannya Hisham, al-Mughirah ibn Abdurrahman al-Nashir. Sementara kelompok sipil mengharapkan kekhalifahan dipegang oleh Hisyam, agar kendali pemerintahan tetap dipegang oleh para penguasa bersama Khalifah Hisham yang kecil itu. Dalam pertentangan kedua kelompok itu, al-Mughirah terbunuh. Diduga kuat, pembunuh itu di dalangi oleh Muhammad ibn Abdullah ibn Amir al-Ma’arifi karena ia telah berhasil merebut jabatan al-Hajib dengan gelar al-Manshur disamping Khalifah Hisham II. Dengan demikian, pihak militer tidak berhasil mengangkat khalifah sesuai keinginannya. Al-Manshur berkuasa (976-1002 M) semasa khalifah Hisham II dan pada masa berikutnya yang menduduki jabatan khalifah adalah anaknya meskipun kekuasaan khalifah seperti boneka al-Manshur dan Sya’roni.
        Pada 609H/1212 M kaum nasrani mengadakan serangan besar-besaran ke Spanyol dengan mengatasnamakan perang suci di Eropa. Mereka dapat menghimpun bantuan sukarelawan persekutuan yang terdiri dari orang-orang Prancis, Jerman, Inggris dan Itali. Serangan tersebut dihadapi oleh khalifah al-Mansur Billah bersama 600.000 tentara di Las Navas de Toloso sekitar 70 mil disebelah timur Cordova. Saat itu pasukan nasrani dipimpin oleh Alfanso VIII, Raja Castile. Dalam peperangan tersebut tentara al-Muwahhidun mengalami kekalahan besar bahkan menyebabkan berakhirnya kekuasaan di Spanyol. Oleh karena itu, satu persatu kekuasaan islam di Spanyol jatuh ke tangan nasrani.
        Militer muslim di Andalusia terdiri dari berbagai suku bangsa seperti Arab (Himyar dan Mudhar), Berber (jumlahnya paling banyak), Mozarab(orang Andalusia asli berbudaya Arab, Mujedar (orang Arab berbudaya Andalusia), Slav, muslim Andalusia, dan suku-suku pribumi yang tidak masuk islam. Setiap kelompok tentara dari suku Arab merupakan tentara cadangan yang dapat ditugaskan pada saat dibutuhkan pemerintah pusat. Masing-masing kesatuan tentara diperbolehkan menggunakan dana dari  daerah pertaniannya masing-masing, sedangkan sisa dana keperluan militer diserahkan ke kas Negara. Kekuatan militer islam yang dimasuki suku-suku selain Arab, terutama keturunan orang Slav yang datang dari Eropa Timur, ditetapkan khusus sebagai tentara pegawai istana amir atau kholifah. Semasa al-Nashir jumlah mereka mencapai ribuan dan pada masa Hajib al-Mansur terjadi perubahan dalam pembentukan militer. Bidang kemiliteran sudah digabung, yaitu terdiri dari suku Arab dan Slav juga dari orang-orang yang berasal dari Berber Afrika Utara yang jumlahnya mayoritas dibanding suku lain. Hal ini karena suku Arab di Eropa diistimewakan dalam masyarakat Spanyol, maka banyak yang tidak tertarik lagi pada bidang militer.   
        Telah disebut, bahwa penyebab kemunduran dan kehancuran kekuasaan islam di Andalusia adalah masih adanya beberapa daerah yang belum dapat diduduki sepenuhnya waktu ekspansi islam  seperti daerah Galicia. Austria bahkan mengadakan hubungan damai dengan mengakui kekuasaan Bani Umayyah. Akhirnya daerah tersebut kemudian dijadikan benteng pertahanan, pelatihan, dan sekolah siasat yang dipersiapkan untuk perlawanan di kemudian hari, dan dari benteng tersebut dikomando upaya untuk memecah belah persatuan dan kesatuan umat islam, bahkan sering menyerang saat ada kesempatan. Perlu diketahui bahwa saat Tariq dan Musa sedang giatnya menaklukan wilayah Andalusia adanya perintah dari Damaskus untuk segera pulang, menyebabkan mereka tidak berhasil menguasai daerah-daerah tersebut, yang terletak di barat laut Andalusia. Kawasan itu akhirnya menjadi pusat Kristen. Austria kemudian berkembang menjadi kerajaan Castile dan Aragon menjadi basis Kristen untuk menyerang kaum muslim dalam rangka mengembalikan daerah kekuasaannya. Unifikasi kerajaan tersebut secara permanen terbentuk pada 1469 M ketika terjadi perkawinan antara Ferdinand, raja Aragon dengan Isabella, raja dari Castile.
        Adapun sebab kemunduran dan kehancuran islam di Andalusia, yaitu para penguasa islam cukup puas dengan menerima upeti dan tidak melakukan islamisasi secara sempurna, bahkan membiarkan mereka mempertahankan hukum dan adat kebiasaan kaum nasrani. Sementara kehadiran bangsa Arab menimbulkan rasa iri dan membangkitkan rasa kebangsaan bangsa Spanyol yang Kristen. Selain itu loyalitas militer islam sebagai tentara bayaran sangat diragukan, kedisiplinan mereka mengikuti perintah atasan disesuaikan dengan siapa yang membayar lebih tinggi, maka perpecahan umat islam sebagai anggota masyarakat atau sebagai penguasa tidak dapat dihindarkan. Pribumi Andalusia tidak sederajat dengan bangsa Arab, tetapi tetap diperlakukan sebagai ibad dan muwalladun sehingga dianggap merendahkan. Oleh karena itu, beragama islam tidak menjadi daya tarik bagi rakyat sebagai dasar pemersatu ideologi. Etnis-etnis non Arab sering menjadi perusak dan menggerogoti perdamaian, sehingga mempengaruhi terhadap kondisi perekonomian. Sementara pembangunan bidang fisik untuk keindahan kota dan peningkatan ilmu pengetahuan yang terlalu serius melalaikan  pembangunan bidang perekonomian yang menjadi pendukung persatuan dan kesatuan.
        Peralihan kekuasaan ynag tidak jelas, maka sering terjadi perebutan kekuasaan sesama ahli waris, yang melemahkan dan hilangnya wibawa pemerintah, bahkan mengakibatkan runtuhnya kekuasaan Bani Umayyah dan al-Muluk al-Tawaif muncul, tetapi tetap pula terjadi perebutan kekuasaan diantara mereka. Dinasti-dinasti yang muncul setelah runtuhnya Umayyah II terdiri dari dinasti yang merdeka dan saling bertikai. Penguasa muslim disana, jauh dari pusat islam lain mengakibatkan jauhnya dukungan, kecuali dari Afrika Utara dibatasi laut, sementara darah sekitar adalah daerah yang dikuasai kaum nasrani yang selalu iri dan merasa direndahkan oleh etnis Arab.
        Semasa dinasti Nasr Maula Ali Abi al-Hasan yang berkuasa di Granada merasa cemas dengan unifikasi kerajaan Castile dan Aragon. Akibatnya terjadi perang dingin dengan kaum nasrani. Dengan menghentikan pembayaran upeti terhadap Ferdinand disampaikan dengan ucapan yang sangat menyakitkan, seperti, “sesungguhnya para sultan Granada terdahulu yang membayar upeti itu sudah mati dan lembaga pencetakan uang di Granada tidak lagi mencetak uang, tetapi hanya memproduksi senjata,” bahkan setelah ucapan itu dilakukan disusul dengan serangan sporadic ke benteng al-Sakra yang sudah dikuasai oleh kaum nasrani. Serangan itu mendapat pukulan dari mereka dan salah satu dari panglimanya dapat menguasai bentengal-Hamrah, Granada yang akhirnya menjadi basis penyerangan selanjutnya. Al-Hasan sendiri wafat, diracun anaknya, Abdullah dan kekuasaan dipegang saudaranya, al-Zaghlul.
        Abu Abdullah yang tidak paham konspirasi kaum Kristen berusaha merintangi upaya pamannya, al-Zaghal yang berupaya mempertahankan Granada dan menyatukan kekuatan islam disekitarnya. Ketika itu, kaum nasrani semakin mendekati dan mengepung Granada sehingga satu persatu benteng Granada—Alora, Qosr Bonila, Ronda dan benteng Loja, Almeria, Malaga, dan kota-kota lain dibagian barat Granada—jatuh ketangan nasrani. Perlawanan pasukan al-Zaghal terhadap pasukan Ferdinand cukup kuat, sehingga kemenangan dan kekalahan silih berganti bagi masing-masing pihak. Namun ketika pasukan Ferdinand datang dengan kekuatan yang sangat besar maka al-Zaghal dengan sekuat tenaga melawan pasukan, yang akhirnya ia putus asa karena tidak memperoleh bantuan dari Afrika Utara karena disan ajuga terjadi perang saudara dan terpaksa menyerahkan diri di bentengnya yang terakhir di Almeria. Kemudian ia mengungsi ke Tillimsan, Maroko dan disana ia wafat. Sebelumnya, Abdullah yang terkenal dengan Boabdil ingin merebut kembali kekuasaannya dari tangan al-Zaghal, maka ia memohon bantuan dari Ferdinand dan Isabella dan berhasil merebut kekuasaan. Boabdil mendapat peringatan keras dari Ferdinand agar segera menyerah dengan berbagai persyaratan yang telah dipersiapkannya, tetapi Abdullah meminta tuntutan itu di tangguhkan. Ferdinand menolak dan segera menyerang agar segera dapat menguasai Granada dari arah Timur.
Abdullah maju ke medan tempur bersama panglima perangnya yang gagah berani. Ia menegaskan sikapnya yang pantang mundur kepada utusannya yang dikirim menghadap Ferdinand. Jika Ferdinand ingin mengambil senjata dari kaum muslim, silahkan datang sendiri untuk merebutnya dari tangan mereka. Pada tahun 1490 M, Ferdinand mengirim pasukannya untuk menghancurkan pasukan islam, tetapi Abdullah dan pasukannya langsung terjun ke medan pertempuran dengan gagah berani. Penduduk Granada pun datang membantu pasukan muslim sehingga kemenangan berada dipihak kaum muslim dan beberapa benteng dapat direbut kembali. Pada tahun 1491 M Ferdinand bersama Isabella melibatkan diri bersama 50.000 personil dengan mendengungkan perang suci. Ketika mendekati pintu gerbang Granada, panglima perang menegaskan kepada pengawal pintu bahwa kita akan menutup pintu dengan jasad kita bertempur untuk mempertahankan tanah yang kita injak masing-masing. Karena, jika tanah ini kita lepas akan kehilangan segalanya. Seruan ini membangkitkan semangat tempur pasukannya, sehingga Ferdinand mendapat kesulitan dalam mengalahkan pasukan kaum muslim. Tetapi, ia mengepung dan memblokade pasukan islam agar kelaparan. Apalagi di musim dingin yang penuh salju telah tiba, maka keadaan kaum muslim menjadi kritis. Boabdil menyerah atas desakan penduduk Granada yang kelaparan dan kedinginan. Sementara Panglima Musa menolak untuk menyerah dan terus bertempur melawan pasukan Ferdinand, dan akhirnya mati terbunuh. Abdullah bersama keluarga pindah ke Maroko dan tinggal di Fez. Granada  (2 Januari 1492 M) dapat dikuasai kaum nasrani dengan masuknya pasukan Castile. Denagn demikian , “salib dapat menyingkirkan bulan sabit.”
        Amir Ali mencatat, orang muslim yang menyinari bangsa Goth di Spanyol selama berabad-abad yang membawa kemajuan luar biasa, kini tenggelam dalam kegelapan setelah mereka mengusir islam secara total, bagikan angsa yang selama ini menelorkan emas, dibunuh, maka berhenti telor emas. Yang dimaksud adalah kejayaan, kemajuan peradaban, dan pembangunan moril maupun materi. Demikian juga sejarawan Spanyol, Conde, islam yang memberi status Eropa yang gelap menjadi maju, setelah islam lenyap dari kemajuan dan pencerahan tenggelam pula dalam kegelapan.  
BAB III
PENUTUP
Sebab-sebab yang melatarbelakangi  runtuhnya agama islam di Andalusia antara lain:
Ø  Pengaruh geografis Andalusia yang terpisah oleh pegunungan dan sungai-sungai dengan masyarakatnya yang heterogen.
Ø  Masih adanya beberapa daerah yang belum dapat diduduki sepenuhnya waktu ekspansi islam seperti daerah Galicia.
Ø  Adanya para penguasa islam yang cukup puas dengan menerima upeti dan tidak melakukan islamisasi secara sempurna, bahkan membiarkan mereka mempertahankan hukum dan adat kebiasaan kaum nasrani.
Ø  Adnya peralihan kekuasaan yang tidak jelas, maka sering terjadi perebutan kekuasaan sesame ahli waris, yang dapat melemahkan dan menghilangkan wibawa pemerintah.
  
DAFTAR PUSTAKA
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Jogyakarta: Pustaka    Book   Publiser, 2007.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Jalil Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: C.V Pustaka Islamika, 2008.                                                    


Read more