Showing posts with label filsafat. Show all posts
Showing posts with label filsafat. Show all posts

Wednesday, October 11, 2017

Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa | Sinau Filsafat

            Kali ini Sinau Filsafat akan membahas Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa, setidaknya, dua aspek dari “kehendak untuk berkuasa” yang paling terkenal, yaitu sebagai kekuatan alamiah dan sebagai pengetahuan. 


Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa | Sinau Filsafat
Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa | Sinau Filsafat

Mari kita mulai dari yang pertama. Dalam bab Principles of a New Evaluation, Nietzsche menggambarkan kehendak untuk berkuasa sebagai: “the primitive form of affect, that all other affects are only developments of it […] there is a striving for power, for an increase of power.”[1] Kehendak untuk berkuasa adalah daya dorong azali. Banyak hal yag dihasilkan oleh kehendak untuk berkuasa ini, tetapi semua itu hanyalah residu atau ekses sampingan, kehendak untuk berkuasa sendiri hanya bergolak untuk kekuasaan, untuk pencapaian lebih dari kekuasaan itu sendiri. Bahkan bagi Nietzsche, hidup itu sendiri juga hanyalah suatu kasus khusus dari kehendak untuk berkuasa[2]. Ia menyebut kehendak untuk berkuasa ini sebagai “the innermost essence of being”[3]; “The world is will to power—and nothing besides! And you yourselvees are also this will to power—and nothing besides!”[4] Untuk lebih memahami kehendak untuk berkuasa, kita akan masuk ke dalam aspek yang kedua: sebagai pengetahuan.
            Pengetahuan pada dasarnya merupakan manifestasi kehendak untuk berkuasa. “Pengetahuan bekerja sebagai alat dari kekuasaan”,  tulis Nietzsche. Esensi keputusan (the believe that something is thus and thus), skematisasi dan seluruh klaim kebenaran sebenarnya adalah manifestasi dari kehendak untuk berkuasa. Kita ingin menguasai alam ini, oleh karena itu kita ciptakan ilmu ukur, konsep baik-buruk dan sebagainya. “Kehendak untuk kebenaran”, bagi Nietzsche, merupakan salah satu bentuk dari kehendask untuk berkuasa. Maka ia berkata bahwa kriteria kebenaran adalah seberapa besar ia meningkatkan perasaan kekuasaan[5]. Hanya saja kata “kuasa” di sini jangan melulu dimengerti dalam arti yang politis, ia lebih luas ketimbang itu.
            Konsepsinya mengenai kehendak untuk berkuasa sebenarnya terkait dengan upaya Nietzsche untuk melakukan revaluasi atas seluruh nilai. Mereka yang mengafirmasi kehendak untuk berkuasa berarti mengafirmasi pula seluruh gejolak alam-semesta ini, hal ini juga berarti bahwa mereka berkata “Ya” terhadap hidup. Oleh karena itu, kita bisa mengerti revaluasi Nietzsche atas “baik” dan “buruk” seperti yang ia tulis dalam Der Antichrist:

What is good?—All that heightens the feeling of power, the will to power, power itself in man.
What is bad?—All that proceeds from weakness.
What is happines?—The feeling that power increases—that a resistance is overcome.[6]

Mengafirmasi kehendak untuk berkuasa berarti terus-menerus mengalami pelampauan kehendak, menjadi liar, mabuk-total seperti sehabis pulang dari “simposium” (pesta minum minuman keras) Dionysius. Itulah kehendak untuk berkuasa, “the unexhausted, procreating life-will”[7]. Afirmasi atas kehendak untuk berkuasa menunjukkan penghormatan manusia atas hidup, bukan penyangkalan atas hidup seperti yang dilakukan oleh para penganut agama. Dengan begitu manusia menerima seluruhnya absurditas kehidupan, seluruh gejolak chaotic alam raya, tanpa mengharapkan surga. Itulah figur seorang Übermensch (“Overman”)[8] seperti yang diwartakan oleh Zarathustra: “I teach you Superman. Man is something that is to be surpassed. […] The Superman is the meaning of the earth.”[9] Itulah Übermensch, ia yang berani berkata “Ya” pada gejolak kehendak untuk berkuasa, pada absurditas hidup.
            Lalu jika hidup ini absurd dan surga, apapun itu, tak ada, akan kemanakah kita? Dengan pertanyaan ini, kita masuk ke ajaran Nietzsche yang lain: eternal return of the same.



[1] Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 366.
[2] Ibid. hlm. 369.
[3] Ibid.
[4] Ibid. hlm. 550.
[5] Ibid. hlm. 290.
[6] Friedric Nietzsche, Twilight of the Idols and The Anti-Christ, op.cit. hlm. 115.
[7] Friedrich Nietzsche, Thus Spake Zarathustra, op.cit. hlm. 164.
[8] Dalam bahasa Inggris, istilah Übermensch memiliki dua terjemahan, yaitu “Overman” dan “Superman”.
[9] Ibid. hl. 67-68.
Read more

Sunday, October 8, 2017

Pengertian Emanasi | Filsafat Islam | Sinau Filsafat

Untuk memahami lebih jauh tentang dunia, tentang jagad raya, tentang kosmis dan segala keruwetannya. Emanansi dalam pandangan filsafat islam baik untuk dibaca. Sinau filsafat sedikit menggoreskan tinta untuk pembaca semua. selamat membaca.

Emanasi-Filsafat-Islam
Pengertian Emanasi | Filsafat Islam | Sinau Filsafat

           Pengertian Emanasi

Secara etimologis emanasi mempunyai arti sesuatu yang mengalir (memancar).
Emanasi menurut Ibnu Sina
Teori Ibnu Sina mengenai emanasi bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud tunggal, secara mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalanya, maka apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa Ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud tetapi satu unsur atomic dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah Tuhan itu, hakikat Dia, adalah identik dengan eksistensi-Nya.

Doktrin Ibnu Sina tentang Wujud 

Sebagaimana para filosof Muslim terdahulu, bersifat emanasionistis. Dari Tuhanlah, Kemaujudan Yang Mesti, mengalir intelegensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Tetapi sifat intelegensi yang pertama itu tidak mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan.

Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan didunia, intelegensi pertama memunculkan dua kemaujudan yaitu :
  1. Intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas.
  2. Lingkung pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya, kemungkinan alamiahnya.

Dalam emanasinya, pendapat Ibnu Sina tak jauh berbeda dengan Al-Farabi, hanya saja, ada sedikit tambahan dari Ibnu Sina mengenai wujud lain yang berbeda dari pemikiran Al-Farabi, yaitu jirmul faalakil aqsha dan nafsul falaqil aqsha yang muncul tatkala akal ber-ta’aqqul mengeluarkan akal kedua. Yang dimaksud jirmul faalakil aqsha adalah langit dengan semua planetnya, sedangkan nafsul falaqil aqsha adalah jiwa dari langit denga semua planetnya. Jadi, menurut Ibnu Sina, tiap-tiap al-‘aql itu menyebabkan timbulnya tiga macam keadaan, yaitu selain dengan akal yang berikutnya juga mengeluarkan jirim langit dan planetnya serta jiwa langit dan planet-planetnya.

Menurutnya, falak mempunyai jiwa dan menggerakannya secara langsung karena berhubungan langsung dengan falak, sedangkan al-aql menggerakannya dari jauh karena al-aql terasing (munfarid). Al-aql mempunyai hal yang disebut al-khair (kebaikan), dan kebaikan inilah yang menjadi tujuan falak untuk mencapai kesempurnaan dirinya.

Untuk mencapai kesempurnaannya, falak berputar mengelilingi al-aqlul-mufarid. Namun falak tidak bisa mencapainya karena setiap falak mencapai satu tingkatan kesempurnaan dalam lingkungan akalnya, dia mempunyai hajat baru kearah akal yang lebih tinggi kesempurnaanya. Maka dari itu, akal pertamalah yang paling sempurna karena merupakan limpahan langsung dari Tuhan. Selanjutnya akal kedua lebih rendah dari akal pertama, dan akal ketiga lebih rendah dari akal kedua, dan seterusnya. Pelimpahan Tuhan atas akal-akal ini terjadi atas kerelaan yang dipikirkan (faidlu ridla ma’qul) oleh Tuhan. Alasan logikanya, limpahan ini berarti bahwa barang yang diingini lebih tinggi tingkatanya dari yang mengingini.

Karena itulah, kenapa Ibnu Sina berkeyakinan bahwa hanya dari bentuk dan materi saja anda tidak akan pernah mendapatkan eksistensi yang nyata, tetapi hanya kualitas-kualitas esensial kebetulan.



Sumber :
Syarif M.M. 1993. Para Filosof Muslim. Mizan. Bandung
Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, Erlangga, Jakarta, 2006.
Poerwantana DKK, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.

Utsman Najati Muhammad, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002.
Read more

Friday, October 6, 2017

METAFISIKA FILSAFAT | NIETZSCHE : SANG NABI NIHILISME

NIETZSCHE: SANG NABI NIHILISME adalah runtutan tulisan dari tema Metafisika Filsafat. Untuk itu, silahkan untuk membaca postingan sebelumnya [ PENGANTAR METAFISIKA DALAM FILSAFAT ] agar pemahaman anda tentang nihilisme dalam metafisika lebih komprehensif.




Nihilisme

Barangkali kita dapat menangkap semangat nihilisme Nietzschean dengan melihat sebagian dari aforisme yang terkenal dalam bukunya, Die fröchliche Wissenschaft (Ilmu yang Ceria):


The Madman
Have you not heard of that madman who lit a lantern in the bright morning hours, ran to the market place, and cried incessantly: “I seek God! I seek God!”—As many of those who did not believe in God were standing around just then, he provoked to much laughter. Has he got lost? asked one. Did he lose his way like a child? asked another. Or is he hiding? Is he afraid of us? He has gone on a voyage? Emigrated?—Thus they yelled and laughed.
The madman jumped into their midst and pierced them with his eyes. “Whither is God?” he cried; “I will tell you. We have killed him—you and I. All of us are his murderers. But how did we do this? How could we drink up the sea? Who gave us the sponge to wipe away the entire horizon? What were we doing when we unchained this earth from its sun? Whither is it moving now? Whither are we moving? Away from all suns? Are we not straying as through infinite nothing? Do we not feel the breath of empty space? Has it not become colder? Is not night continually closing in on us? Do we not need to light lanterns in the morning? Do we hear nothing as yet of the noise of the gravediggers who are burying God? Do we smell nothing as yet of the divine decomposition? Gods, too, decompose. God is dead. God remains dead. And we have killed him.


Memang bombastis kedengarannya. Namun kita tak menemukan definisi tentang nihilisme di kutipan tersbut—bahkan kita tak menemukan kata nihilism di sana—selain seruan yang keras tentang “matinya Tuhan”.

Kata “Tuhan” dalam konteks Nietzschean tidak hanya merujuk pada artian “Tuhan” secara harafiah saja, yaitu Tuhan sebagai suatu entitas yang transenden. “Tuhan” juga berarti suatu titik teguh yang absolut dan niscaya tempat kita menambatkan diri kita sepenuhnya. Itulah dia. Itulah kebenaran. Tepat di sinilah nihilisme itu mengejawantah: kebenaran telah mati.


Istilah “nihilisme” memiliki akar katanya dalam bahasa Latin, yaitu nihil yang artinya “tiada”, “nothing”. Lewat ajarannya tentang nihilisme, Nietzsche langsung menggoyang pondasi tunggal dari seluruh realitas: kebenaran. Lebih persisnya, ia mempertanyakan secara radikal validitas klaim kebenaran. Kita akan kembali membahas tentang nihilisme dan aforisme panjang itu setelah merenung terlebih dahulu mengenai kebenaran.

Apa itu “kebenaran”? 

Truth is the kind of error without which a certain species of life could not live, tulis Nietzsche dalam Der Wille zur Macht. Nampak di sini bahwa Nietzsche berbicara tentang kebenaran sebagai suatu kondisi yang merupakan prasyarat bagi kehidupan (condition for life) suatu makhluk tertentu, atau persisnya, manusia. Dalam aforisme yang sama, ia melanjutkan, “The value for life is ultimately decisive.” “Nilai” (value) memiliki kedudukan yang sangat menentukan dalam kehidupan. Kebenaran sebagai condition for life itu memiliki bentuknya yang konkret dalam nilai.
Kebenaran sebagai nilai—tetapi apakah nilai yang ia maksud itu? Dalam Jenseits von Gut und Böse: Vorspiel einer Philosophie der Zukunft (Melampaui Baik dan Buruk: Prelud untuk Filsafat Masa Depan), Nietzsche memberikan insight:

[…] and it is high time to replace the Kantian question, “How are synthetic judgements a priori possible?” by another question, “Why is belief in such judgements necessary?”—and to comprehend that such judgements must be believed to be true, for the sake of the preservation of creatures like ourselves […]

Seperti kita ketahui, Immanuel Kant berupaya memberikan landasan rasional-a priori bagi validitas klaim kebenaran. Dengan upaya itulah, ia mengajukan pertanyaan tentang kemungkinan keputusan sintesis a priori. Namun Nietzsche membalik pemikiran Kant: mengapa kita memerlukan pembuktian bahwa kita dapat meraih kebenaran? Bagi Nietzsche, peryataan yang diajukan oleh Kant itu justru menunjukkan bahwa validitas klaim kebenaran adalah suatu “kepercayaan” (belief). Kita takut untuk mengakui bahwa memang tak ada kebenaran sehingga kebenaran itu “must be believed to be true”; dan tujuan dari kepercayaan itu adalah “for the sake of the preservation of creatures like ourselves”.
Dalam konteks yang sama, Nietzsche menerangkan lebih lanjut. Menurutnya, “keputusan” (judgement) atau secara lebih umum, klaim kebenaran, adalah kepercayaan kita yang tertua, “our most habitual holding-true or holding-untrue, an assertion or denial, a certainty that something is thus and not otherwise, a belief that here we really “know” […]”. Kebenaran, sebagai belief, memiliki karakter khas yaitu holding-true. Jadi, bagi Nietzsche, kebenaran adalah sesuatu yang diperlukan dan bukan sesuatu yang niscaya. Dalam Jenseits von Gut und Böse, ia menulis:

[…] that without accepting the fictions of logic, without measuring reality against the purely invented world of the unconditional and self-identical, without a constant falsification of the world by means of numbers, man could not live […]


Serangan Nietzsche atas validitas klaim kebenaran sangat radikal. 


Kita percaya pada logika berpikir yang “sah”: bahwa jika orang mengatakan, “Tak ada kebenaran!”, maka pernyataan itu akan menyangkal dirinya sendiri dan juga seluruh implikasi dari pernyataan itu. Kita seringkali tak sadar bahwa logika semacam itu hanyalah ciptaan kita saja; logika adalah fiksi. Begitu pula dengan logika matematika. Kita yakin bahwa 1+1=2 adalah benar, sah, logis. Padahal itu pun hanya fiksi buatan manusia. Lantas untuk apa manusia menciptakan “fiksi-fiksi” itu? Jawabannya jelas: “For the sake of the preservation of creatures like ourselves”, to maintain “the condition of life”, singkatnya, “holding-to-be-true”. Dalam pengantarnya untuk buku The Gay Science, kita memperoleh gambaran yang sangat jelas:

[…] what was at stake in all philosophizing hitherto was not at all “truth” but something else—lut us say, health, future, growth, power, life.

Lantas, dalam hal apakah “truth” sebagai fiksi itu nampak jelas? Jawabnya: dalam skematisasi. Nietzsche menuliskan hal ini dalam salah satu aforismenya pada Der Wille zur Macht: “Not “to know” but to schematize—to impose upon chaos as much regularity and form as our practical needs require.” Klaim kebenaran bekerja dengan menskematisasi realitas yang kacau-balau (chaos) ini, mengatur dan menyusunnya sedemikian sehingga realitas ini tampak tertata, rapih dan siap untuk kita gunakan. Contoh yang jelas: penemuan ilmu ukur (matematika dan geometri) di Mesir sebenarnya dilatarbelakangi oleh kebutuhan praktis (practical need) rakyat Mesir untuk mengukur tingginya peluapan air sungai Nil. Tak ada yang dramatis di sini—tak ada penemuan yang heroik seakan-akan penemuan itu for the sake of truth itself. Kebenaran hanyalah sederet konvensi yang dirayakan dengan ribuan konfeti.
Kini kita akan membahas “kebenaran” dalam tataran yang lebih kasat mata, yaitu moralitas. Nietzsche melihat moralitas sebagai tanda dekadensi, suatu sikap ketidakpercayaan-atas-hidup. Dalam bab Origin of Moral Valuations pada buku Der Wille zur Macht, Nietzsche menggambarkan moralitas senada dengan penjelasannya atas kebenaran: “I understand by “morality” a system of evaluations that partially coincides with the condition of a creature’s life.” Moralitas adalah bentuk nyata dari klaim kebenaran di dalam masyarakat. Bagi Nietzsche, fenomena moral tak pernah ada, yang ada hanyalah interpretasi moral atas fenomena itu. Perbuatan seperti membantu orang tua, hidup sederhana, rendah hati, bukanlah perbuatan moral. Perbuatan semacam itu hanya kita tafsirkan secara moral. Sedangkan interpretasi itu berasal dari sesuatu yang bersifat extra-moral. Apa itu “extra-moral”? Untuk memahami ini, terdapat sebuah aforisme Nietzsche yang menarik:

Formerly one said of every morality: “By their fruits ye shall know them.” I say of every morality: “It is a fruit by which I recognize the soil from which it sprang.”

Dalam aforisme itu, Nietzsche sebenarnya berbicara tentang fenomena extra-moral. Orang pada umumnya melihat moralitas dari buah yang dihasilkan moralitas itu (misalnya perbuatan etis). Namun Nietzsche melihat sebaliknya: moralitas merupakan buah dimana kita bisa menyadari dari tanah macam manakah buah itu muncul. Bisa kita duga, “tanah” (soil) yang dimaksud oleh Nietzsche adalah masyarakat. Di sinilah kita dapat melihat analisa—dan juga kritik tajam—Nietzsche atas masyarakat Kristiani-Eropa.
Masyarakat Eropa yang Kristiani, bagi Nietzsche, telah menjadi masyarakat yang dekaden. “Apa yang ditolak oleh Kristus? Semua yang kini disebut Kristiani.” Dekadensi yang meresapi peradaban Eropa disebabkan oleh “paradigma berpikir Platonis”. Paradigma ini membuat manusia Eropa menghasrati pembebasan setelah kematian, semacam dunia Idea nya Plato, dan dengan itu menampik kehidupan itu sendiri. Maka itu, Nietzsche menyebut agama Kristiani sebagai “la religion de la souffrance humaine” (the religion of human suffering). Agama Kristiani mengajarkan manusia untuk menegasi dirinya sendiri, menyangkal eksistensinya di dunia, meredam gejolak manusiawinya. Semua itu dilakukan demi imbalan surga yang abadi dan final. Kritik Nietzsche atas Kristianitas “cukup” keras:

From the start, the Christian faith is a sacrifice: a sacrifice of all freedom, all pride, all self-confidence of the spirit; at the same time, enslavement and self-mockery, self-mutilation.

Bagi Nietzsche, moralitas Kristiani adalah “moralitas budak”. 

Moralitas ini adalah moralitas milik para budak: kesetiakawanan, saling mengasihi, menyangkal diri demi komunitas, semua itu merupakan ciri khas moralitas budak. Moralitas ini disebut pula “moralitas kawanan”. Moralitas semacam ini membuat orang-orang hanya berani hidup dalam kerumunan, dalam kebersamaan yang dangkal, dalam anonimitas yang aman. Nietzsche sendiri menulis, “Entry into real life—one rescues one’s personal life rom death by living a common life”. Bagi Nietzsche, tak ada jalan lain,moralitas semacam itu harus dihancur-leburkan. Moralitas itu bertanggung jawab atas dekadensi masyarakt Eropa yang semakin takut untuk berpikir, yang hanya berani hidup dalam kerumunan. “[…] the whole morality of self-denial must be questioned mercilessly and taken to court […]” There is too much charm and sugar in these feeling of “for others,” “not for myself,” […]”. Oleh karena itu dalam suatu adegan singkat di tempi sungai, Zarathustra bersabda:

O my brethren, is not everything at present in flux? Have not all raillings and gangways fallen into the water? Who would still hold on to “good” and “evil”?


Sekarang kita akan beralih menuju pandangan Nietzsche mengenai atheisme. 


Baginya, seperti ia tulis dalam Der Antichrist  (Sang Anti-Kristus), kepercayaan akan Tuhan tak hanya merupakan suatu kesalahan namun juga suatu “pengkhianatan atas hidup”. Kita menganggap Tuhan memang sungguh ada, namun kita tak sadar bahwa kita, nun dahulu kala, telah menciptakan-“Nya” dari ketidaktahuan kita. Begitulah kira-kira yang dimaksud oleh Nietzsche ketika ia menulis dalam Beyond Good and Evil: “circulus vitiosus deus”. “Lingkaran setan lah yang menciptakan Tuhan”. Nampaknya term “lingkaran setan” (vicious circle) di sini dapat diartikan sebagai “lingkaran setan logika”, yaitu hubungan antar konsep yang jalin-jemalin sehingga membentuk lingkaran penuh yang tanpa jalan keluar; circulus in definiendo. Contoh yang jelas adalah pertanyaan ini: “Manakah yang lebih dulu ada, telur atau ayam?”. Pertanyaan semacam itu hanya akan bergerak melingkar-lingkar saja tanpa jalan keluar, kecuali jika kita menghadirkan semacam deus ex machina sebagai entitas ketiga yang melampaui keduanya. Dan persis di sinilah, Tuhan dihadirkan. Maka Tuhan tercipta justru dari lingkaran setan, dari ketidaktahuan kita. Selain itu, Tuhan membuat manusia menyangkal dirinya, sebagaimana Nietzsche menulis dalam Ecce Homo (Lihatlah Manusia): “[…] what has been the greatest objection to existence so far? God.” Penerimaan akan adanya Tuhan dan moralitas Kristiani sebetulnya hanya merupakan kedok ketakutan manusia. Hal-hal itu membuat manusia merasa memiliki legitimasi yang sah di atas bumi (sebagai homo imago Dei), yang dalam kenyataannya merupakan makhluk kecil yang tak berarti, sebuah aksiden selintas di tengah gelombang “kemenjadian” dan arus buas dari jagad raya yang chaotic ini.

In summa: kebenaran adalah nilai yang berguna untuk melestarikan kehidupan manusia. 

Moralitas, sebagai manifestasi kebenaran dalam tataran sosial, adalah ciptaan manusia, atau lebih persisnya dalam konteks Eropa, adalah ciptaan orang-orang lemah (budak) yang hanya berani hidup dalam kerumunan. Masyarakat Eropa yang diresapi moralitas budak atau kawanan mau tak mau akan segera terjatuh dalam dekadensi. Tuhan, sebagai manifestasi kebenaran dalam tataran spiritual, adalah konsep kosong hasil ciptaan manusia yang lemah, yang lari dari kenyataan hidupnya, yang tak bisa lagi berpikir. Semua ini adalah gejala, tanda-tanda lahirnya suatu zaman yang muram: the age of nihilism.

Term “nihilisme” dalam pemikiran Nietzsche setidaknya memiliki dua arti: nihilisme sebagai kondisi dan sebagai laku. Sebagai kondisi, nihilisme merupakan sebuah keniscayaan historis. Sebagaimana ditulis oleh Nietzsche dalam Der Wille zur Macht:


What I relate is the history of the next two centuries, I describe what is coming, what can be n longer come differently: the advent of nihilism. This history can be related even now; for necessity itself is at work here. This future speaks even now in a hundred signs, this destiny announces itself everywhere; for this music of the future all ears are cocked even now. For some time now, our whole European culture has been moving as toward a catastrophe, with a tortured tension that is growing from decade to decade: restlessly, violently, headlong, like a river that wants to reach the end, that no longer reflects, that is afraid to reflect. […] For why has the advent of nihilisme become necessary? Because the values we have had hitherto thus draw their final consequence; because nihilism represents the ultimate logical conclusion of our great values and ideals—because we must experience nihilism beferoe we can find out what value of these “values” really had.

Kedatangan nihilisme adalah sesuatu yang niscaya.

Nihilisme terlahir dari kesalahan manusia sendiri. Kepercayaan manusia terhadap nilai moral yang mutlak, kepercayaan manusia pada Tuhan dan surga, kepercayaan manusia pada kebenaran yang baku, itu semua membuat manusia tak lagi berrefleksi, tak berani berrefleksi (no longer reflects, afraid to reflects). Kepercayaan kita pada nilai-nilai seperti itu telah mengantarkan kita pada konsekuensi finalnya: the advent of nihilism. Oleh karena itu, Nietzsche menulis pada bab European Nihilism: “What does nihilism mean? That the highest values devaluate themselves. The aim is lacking; “why?” finds no answer.” Kepercayaan manusia pada kebenaran sebagai kebenaran, pada adanya kebenaran absolut, kebenaran-pada-dirinya-sendiri, membuat kepercayaan itu sendiri runtuh. Nilai-nilai yang dulunya diyakini benar, kini mendevaluasi dirinya sendiri, hancur dengan sendirinya. Semuanya karena manusia hanya berani hudup dalam kawanan, tanpa bertanya, dan akhirnya, merasa tanpa tujuan, tanpa makna.

Nietzsche menjelaskan tentang nihilisme sebagai kondisi ini dalam tiga tahap: 

“[1] when we have sought a “meaning “ in all events that is not there […] being ashamed in front of oneself, as if one had deceived oneself all to long. [2] man has lost the faith in his own value when no infinitely valuable whole works through him; i.e. he conceived such a whole in order to be able to believe in his own value. [3] as man find out how thatworld is fabricated solely from psychological needs, and how he has absolutely no right to it, the last form of nihilism come into being: it includes disbelief in any metaphysical world and forbids itself any belief in a true world.” Nihilisme menyelimuti masyarakat kerumunan seperti awan gelap. Orang tak bisa menemukan makna yang sungguh menyentuh dalam kerumunan; ketika tersadar, ia merasa ditipu oleh dirinya sendiri. Orang menyadari bahwa nilai yang absolut itu tak ada; selama ini ia hanya berusaha percaya pada nilai yang ia pegang sendiri. Pada akhirnya, orang sadar bahwa semua yang kita anggap realitas, yang kita anggap benar, sebenarnya tak lain dari manifestasi kebutuhan praktis kita; ia kini merasa sakit hati karena telah dibohongi oleh keyakinannya sendiri ketika dulu percaya akan aadnya kebenaran, moralitas dan Tuhan. Oleh karena itu, Nietzche menggembar-gemborkan perlunya suatu upaya “revaluasi semua nilai” (Umwertung aller Werte), sebagaimana merupakan subjudul buku Der Wille zur Macht. Nilai-nilai lama seperti Tuhan, moralitas, kebenaran mutlak, harus dirombak total.

Pada titik inilah kita bisa mengerti maksud aforisme The Madman yang kita kutip tadi. 

“Tuhan telah mati!! Kebenaran telah mati!!!”. Lalu: “bagaimana jika bumi ini terlepas dari orbitnya? Apakah kita bergerak? Menjauh dari matahari? Menjauh dari segala patron? Apakah kita hanya berputar-putar saja? Mana barat, mana timur? Apakah kita tak menghirup udara kosong? Tidakkah kini terasa dingin? Kenapa hanya ada malam dan malam senantiasa? Tidakkah kita dengan suara bising penggali kubur yang sedang menguburkan Tuhan dengan ocehan gosip yang tolol, dengan sikap letoy, sebuah psikopatisme dalam kehidupan sehari-hari—seakan-akan kehidupan ini berjalan baik-baik saja? Mau kemana kita? Celaka, sungguh celaka…” Nietzsche bersorak: “Everything is false! Everything is permitted!”. Nihilisme membuat kita hilang tak tentu arah, seperti orang yang hilang di padang tandus. Kita tak lagi punya telos (tujuan), kita bahkan tak bisa tahu dari mana kita, kita terdampar. Maka: dimulailah tragedi, Incipit Tragödia.
Kini kita akan melihat arti kedua dari term “nihilisme”, yaitu sebagai laku. Sebagai laku, Nietzsche memaksudkan “nihilisme” sebagai suatu “sikap” dalam menghadapi kondisi nihilistis yang niscaya datang. Nietzsche membagi laku nihilis ini ke dalam dua bentuk: nihilisme pasif dan nihilisme aktif. Jika dalam menghadapi kondisi nihilitas manusia menyerah ke dalam sikap keputus-asaan, ketakutan, ingin lari dari hidup yang tanpa tujuan ini, maka manusia itu mennjalankan laku nihilisme pasif. Laku ini sangat dibenci oleh Nietzsche, nihilisme pasif adalah sebentuk penyangkalan atas hidup. Satu-satunya cara untuk “melampaui nihilisme” (Überwindung der Nihilismus) adalah dengan menjalankan laku nihilisme aktif. Laku ini mengatakan “Ya” pada hidup, dengan kata lain, mengafirmasi seluruh “kekacauan” (khaos) hidup ini. Dengan menjalankan laku ini, kita menjadi “manusia tragis”. Tapi perlu dibedakan antara pesimisme dan tragisme. Pesimisme adalah sikap menolak hidup, ketakutan atas ketidakbertujuan hidup ini. Pesimisme adalah muara sikap nihilisme pasif. Tragedi adalah sesuat yang agung di mata Nietzsche. Dalam Die Geburt der Tragödie, ia menulis: “Knowledge kills action; action requires the veils of illusion: that is the doctrine of Hamlet.” Sikap tragis hanya muncul karena ada unsur ketidaktahuan dalam diri kita. Hamlet tak tahu persis apakah yang ia ketahui itu benar atau salah, dan dia tetap berani mengafirmasi kehidupan, melancarkan konfrontasi atas pamannya, walaupun sungguh tahu bahwa hal itu dapat mengakibatkan kematian dirinya; ia mengamini itu semua dan berjuang hingga akhir. Dalam Götzen-Dämmerung (Senjakala Para Dewa), Nietzsche menuliskan bahwa orang sebijak Sokrates pun, pada akhirnya hidupnya, mengakui bahwa hidup itu sia-sia; hal itu terlihat lewat kata-kata terakhirnya: “To live—that means to be a long time sick: I owe a cock to the saviour Asclepius.” Nietzsche melihat dalam kata-kata Sokrates: hidup adalah sesuatu yang sia-sia. Bahkan kalimatnya yang terakhir, bahwa Sokrates berhutang seekor ayam pada Asklepius, menunjukkan betapa remehnya kehidupan itu, sebuah aksiden selintas yang tanpa arti. Jadi, sejak awal, hidup itu sendiri adalah tragedi. Manusia tragis adalah ia yang berkata “Ya”, mengafirmasi, menerima sepenuhnya absurditas kehidupan ini tanpa harapan akan surga dan segala tujuan final yang lain, tanpa menambatkan diri pada kepercayaan akan kebenaran absolut, tanpa takut tersingkir dari kawanan. Manusia tragis adalah manusia yang berani dipeluk oleh kesepian.

Berkata “Ya” pada hidup, mengafirmasi hidup, menerima sepenuhnya seluruh gejolak alam yang “chaotic”, maka kita akan sampai pada ajaran Nietzsche yang terkenal: kehendak untuk berkuasa.



Friedrich Nietzsche, The Will to Power diterjemahkan oleh RJ Hollingdale (New York: Vintage Books), 1968, hlm. 272.
Freidrich Nietzsche, The Gay Science diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Random House), 1994, hlm. 181.
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil dalam Friedrich Nietzsche, Basic Writing of Nietzsche diterjemahkan dan diedit oleh Walter Kaufmann (New York: The Modern Library), 2000, hlm. 209
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 288.
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil dalam op.cit. hlm. 201.
Oleh karena itu, mungkin bukannya tidak sengaja jika Nietzsche memasukkan tulisan yang kita kutip tadi pada bab pertama yang berjudul On the Prejudices of Philosophers (Tentang Prasangka-Prasangka Para Filsuf)
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, op.cit. hlm. 35
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 278
Ibid. hlm. 148. Dalam buku Genealogy of Moral, Nietzsche menunjukkan bahwa perkembangan moralitas selalu terkait dengan kekuasaan. Argumentasi tentang moral ini senada dengan argumentasinya tentang pengetahuan sebagai skematisasi (sebuah upaya penundukkan).
Friedrich Nietzsche, Basic Writing of Nietzsche, op.cit. hlm. 212. Dalam sebuah surat kepada kawannya, Franz Overbeck tanggal 8 Januari 1887, Nietzsche menuliskan bahwa Kristianitas dan dekadensi masyarakat Eropa merupakan kesalahan Plato: “And it is all Plato’s fault! He is still Europe’s greatest misfortune!”. Lih. Friedrich Nietzsche, Selected Letters of Friedrich Nietzsche diterjemahkan oleh Christopher Middleton (Indianapolis: Hackett Publishing Company), 1996. hlm. 258

Friedrich Nietzsche, Basic Writings of Nietzsche, op.cit. hlm. 220.

Friedrich Nietzsche, Thus Spake Zarathustra diterjemahkan oleh Thomas Common (London: George Allen & Unwin Ltd), 1967, hlm. 246.

Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 9. Nietzsche menolak memandang alam semesta sebagai kosmos (tatanan; keteraturan) karena baginya keteraturan merupakan hasil skematisasi manusia demi practical need nya. Bagi Nietzsche, alam semesta ini adalah khaos (kekacauan), gelombang dashyat yang bergolak tanpa akhir (eternal flux of becoming). Friedrich Nietzsche, Basic Writings of Nietzsche, op.cit.


Read more

Wednesday, October 4, 2017

Pengantar Metafisika Dalam Filsafat | Apa itu Metafisika? | Sinau Filsafat

           Apa itu metafisika? Dari segi etimologi, ilmu “metafisika” umumnya didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang “melampaui” (meta) “hal-hal fisik” (physika). Sejarah filsafat mengisahkan bahwa metafisika adalah “filsafat pertama” (philosophia prōtē). Metafisika muncul sebagai respons manusia terhadap bentangan alam dunia. Pada momen tertentu dari keterlemparannya di dunia, manusia bertanya-tanya akan alasan keberadaannya dan makna dunia ini. Uniknya, pada detik ketika manusia bertanya tentang alasan, ia sesungguhnya telah bertanya tentang dasar, tentang alas, yang melandasi bentangan dunia dan dirinya. Para filsuf Antik menyebut dasar azali itu sebagai “Ada” (ontos). Para teolog nantinya akan menyebut itu dasar azali sebagai “Tuhan” (theos). Dengan kata lain, sejak awal kelahirannya, filsafat telah memandang “Ada” sebagai “dasar” yang melandasi seluruh bentangan semesta ini.Makalah-metafisika-filsafat
           Pandangan ini terlihat jelas dalam manuskrip Aristoteles yang berjudul Metaphysika. Di sana ia menulis tentang “ilmu” yang mempelajari “tentang Ada sebagai Ada dan tentang apa arti ‘ada’”[1]. Ilmu yang ia maksudkan itu nantinya disebut sebagai “metafisika”. Dari kutipan tersebut telah terlihat bahwa Aristoteles membedakan Ada dari ada; yang kedua berada dengan berlandaskan pada yang pertama. Dengan kata lain, bertolak dari pertanyaan tentang alasan dari segala sesuatu, para filsuf telah membagi dua dunia, yaitu dunia penampakan (ranah ada) dan dunia Kesejatian (ranah Ada). Dan metafisika adalah ilmu yang mempelajari Ada itu sendiri. Dengan demikian, metafisika selalu berdasar pada doktrin dua dunia.
Kita tak akan masuk ke penjelasan mendetil tentang pemerian kualitas-kualitas dari kedua dunia itu (misalnya tentang permanensi dan perubahan). Apa yang menarik perhatian kita adalah pembagian itu sendiri. Para metafisikawan melakukan pembagian dua dunia dengan menerakan sifat-sifat yang bertentangan. Dengan kata lain, sejak mula metafisika telah berproses dengan skema logika oposisional. Jika kita mengecek sejarah filsafat Yunani Kuno, kita akan menemukan “artefak-artefak” skema logika oposisional ini. Dengan mengatakan bahwa air merupakan “prinsip dasar” (arkhē) dari semesta raya ini, Thales sesungguhnya telah menggunakan skema logika oposisional ini, yaitu dengan membagi dan memperlawankan secara logis dasar dan sesuatu yang didasari. Hal ini juga nampak jelas pada Anaksimander ketika ia mengatakan bahwa alam semesta tercipta dari oposisi antara panas dan dingin yang keluar dari rahim to Apeiron (yang Tak-Terbatas)[2]. Ketika Anaksimenes mengatakan bahwa arkhē dari realitas adalah “udara” karena dalam “udara” terjadi aktivitas “pemadatan” (puknotēs) dan “pengenceran” (manotēs)[3], ia sebenarnya telah mematuhi skema logika oposisional ini, yaitu dengan memandang realitas sebagai hasil aktivitas oposisi pemadatan-pengenceran. Pada Pitagoras, skema logika ini nampak jelas dalam pandangannya bahwa angka diatur oleh sepasang prinsip yang oposisional, yaitu prinsip Monad (prinsip kesatuan; ganjil) dan Dyad (prinsip keduaan; genap). Begitu pula dalam filsafat Empedokles yang memandang bahwa sejarah digerakkan oleh kontradiksi oposisional antara “cinta” (philōtes) dan “benci” (nēikos). Dalam sejarah metafisika, skema logika oposisional ini tetap menjadi pisau analisa utama. Skema logika ini telah begitu menyatu dengan metafisika itu sendiri.
Namun kita dapat bertanya lebih lanjut: darimana muncul skema logika semacam itu? Atau, jika kita buat pertanyaannya lebih filosofis, apa syarat kemungkinan dari skema logika itu? Skema logika itu muncul dari organisasi atas perbedaan. Dengan kata lain, pengandaian utama skema logika itu adalah asumsi bahwa perbedaan dapat diorganisasikan ke dalam blok-blok atau dikristalkan ke dalam kutub-kutub yang bertentangan secara diametral. Metafisika selalu berangkat dari suatu asumsi tertentu tentang perbedaan, atau lebih tepatnya, dari asumsi bahwa perbedaan dapat diorganisasikan ke dalam pasangan-pasangan oposisi yang stabil. Itulah sebabnya Hegel, pada awal abad ke-19, dapat merumuskan dialektika. Tanpa keterorganisasian perbedaan, tak akan ada dialektika. Itulah sebabnya Hegel dapat menempatkan Oposisi sebagai puncak sintesa dari antitesis Perbedaan dan Varietas dan berkata bahwa “Dalam Oposisi, […] Perbedaan telah disempurnakan.”[4] Jadi metafisika bertolak dari suatu penafsiran tertentu atas perbedaan.
Lantas apa yang dicari oleh metafisika? Telah kita lihat bahwa metafisika berupaya mencari arkhē atau “prinsip dasar”. Dengan kata lain, metafisika berupaya mencari pendasaran atas segala sesuatu. Dan bertanya tentang “prinsip dasar” sama dengan bertanya tentang sesuatu yang mendasari sesuatu, mengenai sesuatu yang menyebabkan sesuatu, mengenai sesuatu yang memungkinkan sesuatu. Kita pun tahu, arkhē tak hanya berarti “asal-usul” namun juga “prinsip yang mengatur” dan sekaligus “prinsip antisipatif atas suatu tujuan tertentu”. Pertanyaan akan arkhē adalah pertanyaan tentang apa/siapa yang mendahului apa/siapa, tentang apa/siapa yang lebih tua dari apa/siapa, tentang apa/siapa yang menguasai apa/siapa. Oleh karena itu, dengan bertanya tentang arkhē, metafisika sebenarnya juga berupaya mencari penjelasan tentang asal dan tujuan segala sesuatu. Dan pertanyaan tentang asal dan tujuan segala sesuatu selalu terkait dengan identitas dari sang manusia yang bertanya. Dengan mengetahui asal dan tujuan kita, maka kita akan mengetahui identitas kita. Maka, jika mau dirumuskan, metafisika adalah organisasi atas perbedaan ke dalam skema oposisional agar mencapai pengertian tentang dasar, asal-tujuan dan identitas.
Dalam tulisan ini, kita akan membahas upaya para filsuf dalam melancarkan kritik atas metafisika, dalam melancarkan apa yang disebut-sebut sebagai “pelampauan atas metafisika”. Kita tidak akan membahas kontribusi tradisi filsafat Analitik dalam upaya pelampauan atas metafisika walaupun “para filsuf linguistik” Lingkaran Wina dan mazhab ordinary language juga turut melancarkan kritik atas metafisika. Kita akan membatasi lingkup analisa tulisan ini dalam konteks tradisi filsafat Kontinental.
Pada Bab I, kita akan melihat tiga upaya yang telah dilakukan untuk “melampaui” metafisika: “pembalikan” a la Nietzsche (sebagaimana pembacaan standar atasnya), “tegangan” a la Heidegger dan “pemutusan” a la Levinas. Nietzsche (sebagaimana dibaca oleh Heidegger) berupaya melampaui metafisika dengan melakukan pembalikan atas hierarki oposisi dalam metafisika, misalnya: dengan mengutamakan tubuh ketimbang jiwa dan kekacauan ketimbang ketertiban. Heidegger berupaya mengatasi ekses negatif metafisika dengan menekankan aspek tegangan antara ketersingkapan (alētheia) dan ketersembunyian (lēthe) Ada. Levinas berupaya melampaui metafisika dengan memutuskan hubungan dari metafisika melalui teori etika tentang Yang-Lain yang sepenuhnya transenden melampaui segala konseptualisasi logika. Ketiga model itu tetap tak bisa melampaui metafisika.
Pada Bab II, kita akan melihat upaya Derrida, dalam pelbagai aspek gagasannya, untuk menghadapi problem metafisika ini. Bab ini juga berperan sebagai pengantar komprehensif atas filsafat Derrida. Melalui dekonstruksi, Derrida berupaya menunda metafisika dengan meradikalkan model tegangan a la Heidegger. Hal ini berkisar pada wacananya tentang kontaminasi. Melalui wacana ini, Derrida mengupayakan suatu “closure of metaphysics” yang bukan merupakan “end of metaphysics”. Inilah sebabnya kita mesti berhati-hati untuk tidak menyamakan filsafat Derrida dengan Posmodernisme, untuk tidak bertempik-sorak merayakan “matinya metafisika”. Justru ketika kita menyamakan “dekonstruksi” dengan “matinya metafisika”, dekonstruksi akan menjadi sekedar jargon dan sumbangannya dalam rangka kritik atas metafisika menjadi hilang. Kita hanya bisa melihat sumbangan terbesar Derrida jika kita melihat dekonstruksi sebagai upaya penundaan, dan bukan pembunuhan, atas metafisika. Karena Derrida sendiri sadar bahwa “akhir metafisika” sama dengan “metafisika (tentang) akhir”.
Namun apa yang membuat metafisika bermasalah? Karena metafisika (alias skema oposisional) membutakan kita dari hal yang sebenarnya. Tidakkah jawaban itu juga bertumpu pada metafisika? Mengapa itu bertumpu pada metafisika, apakah semuanya bertumpu pada metafisika, dan apa karakter-karakter utama dari “metafisika” itu? Pertanyaan-pertanyaan ini akan kita bahas dalam kaitan dengan upaya Derrida untuk menunda metafisika. Hal ini akan muncul dalam bentuk problem-problem yang akan kita bahas dalam Bab III. Pada “Nihilisme dalam Nihilisme”, problem ini akan muncul sebagai problem batas-kontaminatif dari ranah metafisika. Bagian ini merupakan suatu upaya “membaca Nietzsche setelah membaca Derrida”; dengan kata lain, suatu pembacaan yang menghubungkan pandangan Nietzsche dan Derrida. Melalui pembacaan ini kita akan menemukan bahwa ranah metafisika adalah ranah nihilisme dan bahwa kita sudah selalu terjebak di sana karena “batas” selalu bersifat kontaminatif (yang di luar selalu berada di dalam, vice versa) sehingga segalanya imanen dalam ranah metafisika.

Bagian selanjutnya, “Imanensi Ranah-Antara”, membahas tentang bagaimana pandangan mengenai karakter imanen dari ranah-antara merupakan matriks teoritis yang mempertemukan filsafat Perancis tahun 50 dan 60-an (khususnya Derrida, Deleuze, Merleau-Ponty dan Blanchot). Kita akan menemukan bahwa posisi ini merupakan respons atas metafisika Hegel dan, secara sekaligus, merupakan hasil dari pembacaan Hyppolite atas Hegel (setidaknya bagi Derrida dan Deleuze). Keempat tokoh itu sepakat bahwa ranah-antara ini bersifat “pra-konseptual” (baca: pra-oposisional) dan bahwa segalanya “imanen” dalam ranah-antara (segalanya merupakan “efek” dari arus permainan dalam ranah-antara ini sehingga ranah ini merupakan syarat kemungkinan, sekaligus ketidakmungkinan, dari segalanya). Ranah ini merupakan ”fondasi” yang terus menerus mendefondasi dirinya sendiri dalam suatu gerak atau arus kontaminasi yang tak pernah bisa diformalisasikan ke dalam konsep yang ajeg. Kita akan secara sekilas menunjukkan bahwa pandangan tentang ranah-antara ini memiliki kesesuaian dengan apa yang disuarakan Heidegger pada akhir hidupnya dan bahwa kesemuanya menemukan suatu hal yang sama: aporia.

Pada bagian terakhir kita akan melihat bahwa aporia itu terkait dengan problem (serta motif) pelampauan atas metafisika. Untuk melihat hal ini secara lebih jelas, kita akan memasuki diskusi lebih mendetail tentang ranah metafisika. Kita akan berdiskusi tentang problem batas dan bidang kontaminasi dalam kaitan dengan différance. Melalui pertautan ini, muncullah suatu problem dari dekonstruksi, yaitu problem “ketakhinggaan”. Problem ini akan memunculkan masalah lain, yaitu tentang soal ranah “pra-kontaminasi” yang terkait dengan konsep “kebenaran” dan “pertanyaan”. Intensi filsafat Derrida (juga Heidegger dan Deleuze dalam sense masing-masing) adalah pembebasan “yang lain” dari represi sistem oposisi-biner (metafisika) dengan menunjukkan bahwa “yang lain” itulah yang sebenarnya mendahului, memungkinkan serta membatasi sistem oposisi-metafisis. Segalanya imanen dalam ranah yang digelarkan oleh permainan yang lain. Ironisnya, karakter imanen ini jugalah yang menyebabkan segala upaya “pelampauan” (bahkan jika dalam bentuk “penundaan”) selalu mendekam lagi pada ranah metafisika/kontaminasi ini. Upaya untuk menyingkap “yang lain yang sebenarnya” inilah (entah itu perbedaan, Sein ataupun différance) yang mengarahkan mereka pada wacana imanensi dan membuat wacana mereka selalu imanen dalam metafisika. Dengan kata lain, terdapat suatu konsep “kebenaran” tertentu yang melandasi pemikiran mereka: bukan kebenaran sebagai yang beroposisi dengan kesalahan melainkan kebenaran sebagai yang berkontaminasi dengan pertanyaan. Heidegger pernah menulis bahwa tiap pertanyaan, pencarian, selalu sudah mensyaratkan bahwa kita telah memiliki sebagian dari yang dicari dan dipertanyakan. Dengan kata lain, pertanyaan selalu melibatkan antisipasi-kontaminasi dengan kebenaran dari jawaban. Kebenaran dan pertanyaan selalu sudah imanen dalam ranah kontaminasi. Oleh karena itu, berkata bahwa, misalnya, “yang lain adalah struktur kuasi-transendental yang sebenarnya dari seluruh pengalaman” atau bahwa “différance adalah syarat kemungkinan sekaligus ketidakmungkinan yang sesungguhnya dari segala makna dan konsep” adalah sama dengan berkata: “marilah kita terbenam dalam metafisika”. Pada akhir bagian ini, kita akan dihadapkan pada dua alternatif yang muncul dari problem internal dekonstruksi.
Tulisan ini, sejak awal, tidak bermaksud untuk memberikan satu kesimpulan final atas pelbagai persoalan metafisika. Tulisan ini bermaksud untuk menjaga agar pertanyaan tetap terbuka, untuk mengusahakan agar filsafat masih dimungkinkan pasca-dekonstruksi.



[1] Aristoteles, Metaphysics diterjemahkan oleh Richard Hope (New York: Columbia University Press), 1952, hlm. 61. (kalimat pertama dalam buku Gamma).
[2] Kathleen Freeman, The Pre-Socratic Philosophers (Oxford: Basil Blackwell), 1953, hlm. 58.
[3] Ibid. hlm. 65.
[4] GWF Hegel, Science of Logic Vol II (London: George Allen & Unwin Ltd), 1966, hlm. 50.

Read more