Wednesday, October 11, 2017

Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa | Sinau Filsafat

            Kali ini Sinau Filsafat akan membahas Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa, setidaknya, dua aspek dari “kehendak untuk berkuasa” yang paling terkenal, yaitu sebagai kekuatan alamiah dan sebagai pengetahuan. 


Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa | Sinau Filsafat
Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa | Sinau Filsafat

Mari kita mulai dari yang pertama. Dalam bab Principles of a New Evaluation, Nietzsche menggambarkan kehendak untuk berkuasa sebagai: “the primitive form of affect, that all other affects are only developments of it […] there is a striving for power, for an increase of power.”[1] Kehendak untuk berkuasa adalah daya dorong azali. Banyak hal yag dihasilkan oleh kehendak untuk berkuasa ini, tetapi semua itu hanyalah residu atau ekses sampingan, kehendak untuk berkuasa sendiri hanya bergolak untuk kekuasaan, untuk pencapaian lebih dari kekuasaan itu sendiri. Bahkan bagi Nietzsche, hidup itu sendiri juga hanyalah suatu kasus khusus dari kehendak untuk berkuasa[2]. Ia menyebut kehendak untuk berkuasa ini sebagai “the innermost essence of being”[3]; “The world is will to power—and nothing besides! And you yourselvees are also this will to power—and nothing besides!”[4] Untuk lebih memahami kehendak untuk berkuasa, kita akan masuk ke dalam aspek yang kedua: sebagai pengetahuan.
            Pengetahuan pada dasarnya merupakan manifestasi kehendak untuk berkuasa. “Pengetahuan bekerja sebagai alat dari kekuasaan”,  tulis Nietzsche. Esensi keputusan (the believe that something is thus and thus), skematisasi dan seluruh klaim kebenaran sebenarnya adalah manifestasi dari kehendak untuk berkuasa. Kita ingin menguasai alam ini, oleh karena itu kita ciptakan ilmu ukur, konsep baik-buruk dan sebagainya. “Kehendak untuk kebenaran”, bagi Nietzsche, merupakan salah satu bentuk dari kehendask untuk berkuasa. Maka ia berkata bahwa kriteria kebenaran adalah seberapa besar ia meningkatkan perasaan kekuasaan[5]. Hanya saja kata “kuasa” di sini jangan melulu dimengerti dalam arti yang politis, ia lebih luas ketimbang itu.
            Konsepsinya mengenai kehendak untuk berkuasa sebenarnya terkait dengan upaya Nietzsche untuk melakukan revaluasi atas seluruh nilai. Mereka yang mengafirmasi kehendak untuk berkuasa berarti mengafirmasi pula seluruh gejolak alam-semesta ini, hal ini juga berarti bahwa mereka berkata “Ya” terhadap hidup. Oleh karena itu, kita bisa mengerti revaluasi Nietzsche atas “baik” dan “buruk” seperti yang ia tulis dalam Der Antichrist:

What is good?—All that heightens the feeling of power, the will to power, power itself in man.
What is bad?—All that proceeds from weakness.
What is happines?—The feeling that power increases—that a resistance is overcome.[6]

Mengafirmasi kehendak untuk berkuasa berarti terus-menerus mengalami pelampauan kehendak, menjadi liar, mabuk-total seperti sehabis pulang dari “simposium” (pesta minum minuman keras) Dionysius. Itulah kehendak untuk berkuasa, “the unexhausted, procreating life-will”[7]. Afirmasi atas kehendak untuk berkuasa menunjukkan penghormatan manusia atas hidup, bukan penyangkalan atas hidup seperti yang dilakukan oleh para penganut agama. Dengan begitu manusia menerima seluruhnya absurditas kehidupan, seluruh gejolak chaotic alam raya, tanpa mengharapkan surga. Itulah figur seorang Übermensch (“Overman”)[8] seperti yang diwartakan oleh Zarathustra: “I teach you Superman. Man is something that is to be surpassed. […] The Superman is the meaning of the earth.”[9] Itulah Übermensch, ia yang berani berkata “Ya” pada gejolak kehendak untuk berkuasa, pada absurditas hidup.
            Lalu jika hidup ini absurd dan surga, apapun itu, tak ada, akan kemanakah kita? Dengan pertanyaan ini, kita masuk ke ajaran Nietzsche yang lain: eternal return of the same.



[1] Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 366.
[2] Ibid. hlm. 369.
[3] Ibid.
[4] Ibid. hlm. 550.
[5] Ibid. hlm. 290.
[6] Friedric Nietzsche, Twilight of the Idols and The Anti-Christ, op.cit. hlm. 115.
[7] Friedrich Nietzsche, Thus Spake Zarathustra, op.cit. hlm. 164.
[8] Dalam bahasa Inggris, istilah Übermensch memiliki dua terjemahan, yaitu “Overman” dan “Superman”.
[9] Ibid. hl. 67-68.
Load disqus comments

0 comments