Showing posts with label Islam. Show all posts
Showing posts with label Islam. Show all posts

Saturday, September 23, 2017

Sinau Filsafat - Definisi an-Nafs (Jiwa) Menurut Para FIlosof dan Ahli Kalam

jiwa menurut para filsofSINAU FILSAFAT - Sebagaimana nampak dengan jelas para filosof dan ahli kalam terhadap studi untuk mempelajari jiwa (nafs), dan mereka disibukkan dengan mendefinisikannya setelah mereka mengetahui arti pentingnya, nilainya, dan keilmuannya, dan walaupun demikian jiwa tersebut belum diketahui apapun tentang dzatnya, dan tidak mengenal perihal karakternya, maka mereka mulai mempelajari dan mendefinisikannya. Al-Kindi berkata: “Sesungguhnya jiwa itu sederhana. Ia mempunyai kemuliaan dan kesempurnaan yang agung, esensinya itu berasal dari esensi Allah SWT, seperti analogi pantulan cahaya matahari itu berasal dari matahari.
Begitu juga, menurut al-Kindi, jiwa itu independen dari tubuh, dengan melihat esensi darinya, dan jiwa itu dilindungi dari efek bintang-bintang/planet, dimana planet-planet itu hanya mempengaruhi terhadap hal-hal yang alamiah. Jiwa manusia menurut al-Kindi adalah esensi yang luas lagi kekal, esensi tersebut turun dari alam logika ke alam materi.
Al-Kindi terpengaruh terhadap definisinya dengan pendapat-pendapat plato dan aflotin, dan sajiannya pada tulisan kecilnya yang bernama al-Qaul fi an-Nafs min Kitab Aristo wa Aflaton wa Sair al-Falasifah.
Pengaruh filsafat nampak begitu jelas terhadap al-Farabi, dan khususnya dalam definisinya terhadap jiwa (an-nafs) bahwasanya ia adalah bentuk kesempurnaan dari inti bentuk yang mekanis, yang mempunyai kehidupan melalui sebuah kekuatan. Jiwa menurut al-Farabi merupakan bentuk bagi badan seperti yang dikatakan oleh Aristoteles. Akan tetapi al-Farabi tidak hanya berhenti pada merasakan pentingnya pendapat ini. Kemudian setelah dipastikan al-Farabi merujuk atas pendapat bahwasanya jiwa yang berakal itu adalah esensi manusia, karena esensi manusia itu terdiri dari dua unsur;  salah satunya dari ‘alamul amr’ (alam universal) yaitu alam ilahi dan unsur yang lain dari alam indrawi. Beliau menjelaskan hal tersebut dalam kitabnya Ats-tsamrah al-Mardhiah, beliau berkata: ” Engkau tersusun dari dua esensi; salah satunya terbentuk, tergambar, terukur, bergerak, diam, mempunyai jasad, dan terbagi-bagi, sedangkan yang kedua itu berbeda dengan yang pertama dalam sifat-sifat ini, serta tidak sama dalam dzat sebenarnya yang dinalar oleh akal dan yang ditolak oleh akal. Engkau  telah dikumpulkan dari alam indrawi dan alam universal karena ruhmu berasal dari Tuhanmu, dan dengan demikian engkau adalah ciptaan Tuhanmu.” Artinya, sesungguhnya jiwa menurut al-Farabi merupakan yang bersifat ruhiah madiah yang terkumpul dari dua unsur, yaitu unsur ruh dan unsur materi. Al-Farabi dalam pendapat ini mendekati gambaran Al-Qur’an jiwa manusia secara umum.
Adapun Ibn Sina sepakat dengan al-Farabi dan al-Kindi dalam perhatian terhadap jiwa, mempelajarinya dan mendefinisikannya. Beliau berkata mengenai hal itu, bahwasanya jiwa merupakan bentuk kesempurnaan inti dari jisim natural yang mekanis dari sisi ia melakukan tindakan-tindakan yang bersumber dari pilihan-pilihan (pen: melalui proses) pikiran dan penggalian pendapat, dan dari sisi memahami persoalan universal.
Ibn Sina mencoba membuktikan wujud jiwa sebelum ia berbicara mengenai sifat-sifatnya, karakternya, dan definisinya. Karena beliau berpendapat, bahwasanya metode yang bagus itu mengharuskan seseorang agar mengawali terlebih dahulu untuk menetapkan  sesuatu yang ingin dibicarakan, kemudian baru ia berbicara hal berikutnya.
Oleh karena itu, Ibn Sina mendahulukan argumen-argumen dalam menetapkan wujud jiwa daripada berbicara tentang karakternya. DR. Mahmud Qasim berkata bahwasanya Ibn Sina melalui pembuktian wujud jiwa, beliau ingin menjadikannya sebagai lintasan guna menjelaskan karakter dan perbedaannya dari badan, agar hal tersebut bisa menjadi dalil bahwasanya jiwa itu bukanlah bagian dari badan, yang eksis ketika badan itu ada dan binasa ketika badan itu rusak.
Dalam buku as-Syifa, Ibn Sina menegaskan bahwasanya jiwa adalah esensi  yang bersifat ruh natural yang bersemayam di badan guna memonitoring dan mengendalikannya, sebagaimana seorang nahkoda yang berada di sebuah kapal (yang berperan) untuk mengatur masalah kapal dan memperhatikannya. Artinya, sesungguhnya Ibn Sina menemukan definisinya terhadap jiwa, bahwasanya  jiwa merupakan bentuk sempurna inti bagi jisim mekanis alami, yang pada kenyataanya tidak bisa memberikan pengetahuan tentang karakternya, karena seseorang akan bertanya-tanya setelahnya, apakah jiwa itu abstrak ataukah konkrit? Oleh karena itu, Ibn Sina menjelaskan pengertian dan definisinya bahwa jiwa adalah esensi abstrak yang independen, yang berhubungan dengan badan agar ia mengatur,  memperhatikan, dan merealisasikan bentuk kesempurnaan baginya(badan), yang merupakan bagian dari visi jiwa. Kesempurnaan itu makna sebenarnya berkomitmen terhadap kebaikan-kebaikan serta mempraktekan fadilah yang bagus.
Adapun Ibn Hazm, beliau telah mencoba untuk  mendefinisikan jiwa. Beliau mengakui akan jiwa itu,  kemudian beliau menyuguhkan empat definisi terhadap jiwa. Dari situ beliau mencoba untuk menjelaskan hakekatny, dan menjelaskan tabiatnya. Definisi-definisi ini terpisah di sejumlah tempat yang berbeda dari buku-bukunya. Ibn Hazm menyebutkan dalam bukunya, al-Fasl, bahwasanya jiwa merupakan jisim yang panjang, lebar dan dalam, yang mempunyai tempat, berakal, dan bisa membedakan yang mengatur badan. Ibn Hazm juga mendefinisikan jiwa dalam kitabnya, at-Taqrib, “Jiwa adalah perasaan yang memahami melalui perantara panca indra.” Beliau juga menegaskan dalam definisinya yang lain, “Jiwa merupakan operator yang membedakan, yang hidup, dan pembawa akhlak.”Kemudian menampilkan definisi keempat yang mana beliau mencoba menggabungkan didalamnya, semua ciri yang beliau sebutkan dalam definisi-definisi sebelumnya guna menjelaskan karakter jiwa dan mendefinisikannya hamper secara komprehensif. Beliau berkata, “Sesungguhnya jiwa adalah yang mengatur tubuh, dan perasaan yang dinamis berakal, dan sedangkan jasad merupakan benda mati yang tidak memiliki kehidupan, dan benda mati yang tidak bergerak melainkan digerakkan oleh jiwa.
Definisi ini terdapat diakhir buku-bukunya yang menunjukkan atas pengertian komprehensif dan hakekat yang jelas menurut Ibn Hazm. Karena definisi yang pertama itu berbicara mengenai jiwa yang dianggap sebagai jisim materialis, yang memiliki panjang, lebar, tinggi, dan mempunyai tempat. Karena jiwa menurut Ibn Hazm itu sesuatu yang diyakini ada, karena tidak sesuatu yang berwujud kecuali mempunyai jisim-jisim dan bentuk-bentuk (al-’arad: al-munawir: 918), dan ketika jiwa itu bukanlah bentuk (al-’arad: al-munawir: 918). Maka jiwa adalah jisim, dan begitu juga jiwa itu berakal sekaligus operator. Inilah visi jiwa, karena logika berfikir dan aturan merupakan hal-hal yang bukan bersifat materi, yang mana tampak di dalamnya sisi logis dengan sisi materi yang natural. Definisi ini juga senada dengan definisi Ibn Hazm tentang manusia, bahwasanya ia adalah tubuh, dan manusia adalah jiwa. Manusia adalah keduanya secara bersamaan sebagaimana yang kita tampilkan sebelumnya.
Definisi yang kedua, itu sesuai dengan pemikiran bahwasanya manusia adalah jiwa perasa yang mempunyai kemampuan untuk memahami. Adapun definisi yang ketiga, dalam definisi ini nampak kekuatan-kekuatan jiwa yang aktif dan logis, yang membawa akhlak. Artinya, dalam definisi ini terlihat ada hubungan antara jiwa dengan akhlak dan perilaku etis. Dari semua definisi-definisi tentang jiwa yang disuguhkan oleh Ibn Hazm ini, kita bisa mengatakan bahwasanya jiwa menurut Ibn Hazm adalah jisim yang mempunyai panjang, lebar dan tinggi. Ini selaras dengan pemikiran, bahwasanya objek ilmu alami adalah jisim (ilmu ath-thobi’i). Jiwa juga logis, berakal, dan mengoperasionalkan tubuh. Jiwa itu sensitif terhadap indra, dan sesungguhnya tubuh merupakan benda mati yang tidak mempunyai gerakan kecuali ia digerakkan oleh jiwa. Jiwa juga yang mengatur dan yang mengoperasionalkan tubuh ini. Semua ini menyilahkan kita bahwasanya jiwa menurut Ibn Hazm itu tergolong dalam cakupan pembahasan-pembahasan ilmu natural (ilmu thobii), materialis, dan realistis. Ini merupakan aliran yang paling dominan bagi para pemikir Islam.
Ibn Hazm mulai menjelaskan definisi-definisi ini, dan berargumentasi dengan argumen-argumen aqli dan naqli untuk menunjukkan kebenarannya. Beliau menuju kepada teks-teks dan sunah nabi, yang mana beliau membentangkan definisi-definisinyanya itu dari teks-teks Al-Qur’an dan sunah tersebut. Beliau ingin membuktikan keabsahan definisi-definisi yang beliau suguhkan melalui argumentasi teks-teks Quran dan sunah nabawi. Maka beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala: Qs. Yunus: 30, dan firman Allah ‘azza wajalla: Qs.Ghafir, dan firman Allah Ta’ala: Qs. An-Naml: 111, dan firman Allah Ta’al: Qs. Al-Qiyamah: 2.
Ayat-ayat yang menjelaskan ini, itu menetapkan sifat jiwa yang materialis, dan bahwasanya jiwa itulah yang beraksi, yang bekerja, yang benar dan yang salah, sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat-ayat al-Qur’an. Sesungguhnya jiwa juga bukan jasad, karena jiwa adalah yang menentang, yang berbuat angkara, dan jiwa itu berakal, yang dijadikan objek, dan yang diberi beban (taklif:tuntutan ketaatan). Jiwa juga yang memerintahkan  keburukan, dan ia diadzab menurut amal dan perbuatannya. Allah  firman: Qs. Al-Imron 169-170.
Ibn Hazm berargumen() melalui firman Allah Ta’ala, guna menunjukkan bahwasanya diantara jiwa-jiwa itu ada yang dilempar ke dalam neraka sebelum hari kiamat, kemudian ia di adzab. Di antara jiwa-jiwa itu ada yang diberi rizki dan menikmati kesenangan(farhan), dan jiwa itu merasakan kebahagiaan sebelum hari kiamat. Dalam hal ini Ibn Hazm berkata: “Sudah pasti, bahwasanya jasad keluarga fir’aun dan jasa-jasad orang yang terbunuh itu sudah terpotong-terpotong dan musnah. Sebenarnya yang diadzab adalah jiwa yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan ini merupakan sifat dari jisim, dan bukan sifat dari jauhar.
Kemudian Ibn Hazm membubuhkan hadits dari sunah nabi yang menyepakati pendapatnya. Beliau menyebutkan perkataan Rasulullah Saw tentang “as-syuhada“(mati syahid) bahwasanya Rasulullah melihat arwah para syuhada itu dalam sekumpulan burung yang banyak di surga. Rasulullah saw juga bersabda, bahwasanya beliau melihat jiwa-jiwa(nasam) bani adam(manusia) itu terletak di langit bumi, di sisi kiri dan kanan adam. Maka betul bahwasanya jiwa-jiwa itu terlihat pada tempat-tempatnya. Dengan demikian, jiwa merupakan jisim. Rasulullah mengatakan, bahwasanya jiwa orang mukmin apabila dicabut itu akan diangkat ke langit, dan jiwa itu dibuat seperti itu. Jiwa orang kafir apabila dicabut dibikin seperti ini. Maka benar apabila jiwa-jiwa itu tersiksa, memperoleh kenikmatan, dan berpindah-pindah dari beberapa tempat, dan ini adalah sifat dari jisim.
Artinya, sebenarnya Ibn Hazm mencoba untuk membuat definisinya terhadap jiwa, bahwasanya jiwa adalah jisim yang sesuai dengan teks-teks yang ada dalam al-Quran dan sunah. Untuk itu Ibn Hazm menolak sembilan belas argumen, yang dijadikan sebagai dalil oleh orang yang menentangnya dalam hal bahwasanya jiwa itu bukan jisim. Ibn Hazm akhirnya meyakinkan bahwasanya jiwa itu jisim, untuk menetapkan wujudnya, dan jiwa itu bukan “ard” dan bukan yang bersifat “jauhar” sebagaimana yang dianggap oleh sebagian orang. Akan tetapi jiwa menurut Ibn Hazm adalah jisim yang memiliki panjang, lebar dan tinggi, mempunyai atap, mempunyai garis, bentuk, lebar, dan aturan-aturan yang mengelilinginya, yang mempunyai ruang dan waktu, karena ini adalah ciri khas dari jisim.
Kenyataannya, bahwasanya Ibn Hazm dengan perkataannya ini, beliau telah mengambil madzhab materialis dalam definisinya terhadap jiwa. Andaikata ia berkata bahwasanya jiwa adalah jauhar, niscaya perkatannya tersebut lebih sesuai untuknya. Terlebih lagi ia berpendapat bahwasanya semua jauhar adalah jisim dan semua jisim adalah jauhar, dan keduanya adalah makna yang mempunyai satu arti. Maka dari itu, perkataan Ibn Hazm bahwa jisim adalah jauhar, dan jiwa adalah jisim, maka itu mempunyai arti bahwasanya jiwa adalah jauhar. Sebenarnya hal tersebut lebih mendekati pada karakter jiwa dan definisinya. Hal itu dikarenakan Ibn Hazm berpendapat bahwasanya jiwa adalah ruh, dan sebenarnya jiwa adalah jisim yang mempunyai panjang, lebar, dan tinggi. Maka ruh juga menjadi seperti demikian, dan ini adalah yang kita tidak setujui, karena ruh bukanlah jiwa yang mempunyai dimensi. Pada dasarnya kita tidak mengetahui sedikitpun tentang ruh, maka tidak mungkin kita menginformasikan perihal ruh melalui informasi yang belum kita ketahui. Allah berfirman: Qs. Al-Isra: 85:
“Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.”
Maka Ibn Hazm telah melewati batas teks di sini ketika beliau menjelaskan bahwasanya jiwa merupakan ruh, dan kita berbicara tentang ruh dengan pembicaraan layaknya orang yang berpengetahuan dan amanah.
Ibn Hazm juga berkomitmen dalam berbicara tentang menetapkan wujud jiwa, seperti pembicaraan tentang karakternya sebagaimana Ibn Sina juga berkomitmen seperti itu sebelumnya. Begitu juga kita mengetahui, Ibn Ghozali telah mengambil poin penting dari Ibn Sina dalam usahanya untuk mendefinisikan jiwa hingga beliau membuat kesimpulan bahwasanya jiwa -meskipun ia merupakan bentuk sempurna atau berupa jisim natural yang mempunyai kehidupan dengan sebuah kekuatan- sebenarnya tidak tercetak dalam jisim atau jiwa itu ditopang oleh jisim. Beliau berkata: “Nampak dari sebagian prinsip-prinsip kita yang telah kita tetapkan, bahwasanya jiwa tidak tercetak dalam badan dan tidak berdiri tegak dengan topangan badan.”
Maka, hubungan jiwa dengan badan harus dalam bentuk mengatur dan mengoperasionalkan. Adapun Imam Ibn Qayim beliau mengikuti Ibn Hazm dalam perkataanya tentang jiwa yang berupa jisim. Beliau menegaskan sendiri akan hal tersebut dalam perkataanya: “Muhammad Ibn Hazm serta seluruh tokoh agama yang mengakui hari akhir, itu berpendapat bahwasanya jiwa adalah jisim, dan dengan inilah kami berpendapat.” Ibn Qayim mendefinisikan bahwasanya jiwa adalah jisim lembut, yang bersifat materi dan berkilauan…, yang menembus jauhar anggota badan dan mengalir seumpama aliran air dalam badan pada pohon hijau.
Artinya, sesungguhnya Ibn Qayim itu mengikuti aliran Ibn Hazm yang berpendapat bahwasanya jiwa adalah jisim, dan akan tetapi ibn qayim berkata: “Sesungguhnya jisimnya jiwa itu berbeda dengan jisimnya badan, dan jiwa menurut linguistik bukanlah jisim akan tetapi maksud jisimnya jiwa bahwa jiwa itu mempunyai sifat dan perbuatan yang ditunjukkan oleh syariat, akal, dan indra…. Seperti bergerak, pindah, naik, turun, merasakan siksa dan kesenangan, dan derita…. Karena jiwa itu terpenjara dalam badan, pergi, tercabut, masuk, dan keluar.” Ibn Qayim membubuhkan dalil  atas kebenaran pendapatnya, maka beliau menampilkan 116 dalil dalam kitab ar-Ruh terhadap jisimnya jiwa, berargumentasi dengan teks yang ada dalam Quran, sunah nabi dan riwayat-riwayat dari sahabat, dan kira-kira itu ayat yang sama yang dipakai Ibn Hazm dalam argumentasinya yang menunjukkan bahwasanya jiwa adalah jisim. Adapun Ibn Bajah, beliau telah mencoba untuk menggabungkan antara sisi jauhar dan sisi materi dalam definisinya terhadap jiwa, atau antara pendapat plato dan aristoteles. Lalu beliau melihat tentang jiwa, bahwasanya jiwa adalah jauhar sebagaimana yang dikatakan oleh Plato, dan bahwasanya jiwa juga sebuah bentuk sebagaimana pendapat Aristoteles. Kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya jiwa adalah bentuk seperti badan ini. Jiwa adalah jauhar,  yang berbeda apabila dilihat esensinya. Jiwa adalah bentuk apabila kita mengategorikan dalam hubungannya dengan badan. Tatkala Ibn Bajah menggeneralisir kata “jauhar” terhadap semua bentuk dan materi, dan sesuatu yang tersusun dari keduanya. Jadi mudah baginya untuk menggabungkan antara jauhar dan bentuk dalam penjelasannya terhadap karakter jiwa. Maka jiwa menurut Ibn Bajah itu berupa jauhar yang berbeda, karena dalam diri manusia terdapat makna yang abadi, yaitu bentuk general manusia yang terealisir dari wujud jiwanya yang berakal, dan apabila jiwa berupa bentuk untuk badan, maka itu disebabkan karena jiwa adalah sumber gerak, indra, dan kehidupan yang dinikmati oleh badan. Badan adalah tempat atau kontruksi dasar yang mungkin bisa menerima seluruh perbuatan-perbuatan ini.

Maka dari seluruh definisi-definisi ini, kita melihat bahwa sebagian para filosof dan ahli kalam berpendapat bahwasanya jiwa  itu berupa jauhar, dan sebagian lain menganggap jiwa berupa jisim dan materi, sedangkan golongan yang ketiga menggabungkan kedua pendapat ini.
Read more

Sinau Filsafat - Manusia dalam Perpekstif Islam

SINAU FILSAFAT
Sinau Filsafat - Manusia dalam Perpekstif Islam 

Sinau Filsafat - Manusia dalam Perpekstif Islam 


SINAU FILSAFAT - Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai derajat yang tinggi, karena Islam telah memuliakannya. Hal ini ditunjukkan melalui beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang takdir manusia, sehingga ayat-ayat itu mengukuhkan kehormatannya dan mengangkat kedudukannya. Kemudian Allah mengutamakannya melebihi semua makhluk lainnya dan memilihnya dari alam semesta ini, memuliakannya, mendidiknya serta mentakdirkannya, sehingga kedudukannya melebihi malaikat, dan memiliki ilmu serta tangung jawab yang besarnya melebihi gunung, bumi dan langit. Allah berfirman dalam al-Qur’an,
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat, lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 30-34)
Inilah bukti, yang setelahnya tidak ada lagi, tentang posisi manusia dalam perspektif Islam. Manusia dipilih, dimuliakan, diutus dan mempunyai kegigihan, sehingga dia menjadi khalifatullah di bumi supaya ditanami dengan benih-benih kebajikan dan membangunnya dengan keadilan, kasih sayang serta perdamaian untuk kebaikan alam dan sekitarnya.
Begitulah yang kami pelajari melalui ayat-ayat diatas yang menjelaskan bagaimana malaikat memandang derajat manusia ini dan keingintahuannya tentang kekhalifahan manusia itu ketika Allah Swt. memberitahukan kepada mereka bahwa Allah ingin memilih wakilNya (khalifah) di muka bumi, dan pilihanNya jatuh kepada Nabi Adam as untuk menjadi khalifah. Karena Allah telah mengistimewakannya dengan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh malaikat, maka ia dimintai tanggung jawab dan diharuskan memikul amanah dimana langit yang luas dan gunung-gunung yang besar pun enggan mengembannya. Allah swt. telah berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,” ( Al-Ahzab: 72).
Karena beratnya tangung jawab yang dibebankan kepada manusia, sehingga Allah memuliakan dan mengistimewakannya melebihi dari makhluk yang lainya. Allah berfirman,
“Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Al-Isra’: 70).
Dari uraian diatas sangatlah jelas bahwa Islam mengangkat derajat Adam dan keturunannya di tempat yang paling tinggi, dan Allah mengistimewakannya dengan mengemban amanah dan tangung jawab besar yaitu, menjadi khalifatullah di muka bumi. Sehingga Allah memuliakan dan menganugerahkan kenikmatan serta kebaikan kepadanya. Di antara nikmat yang paling besar itu adalah akal, ilmu dan intelektualitas. Akal manusia mampu berfikir-fikir tentang alam semesta, semua ciptaan Allah dan berfikir tentang dirinya sendiri agar bisa mengetahui posisinya di dunia ini, tangung jawab yang telah dibebankan, peran yang diharuskannya, amanah yang dipercayakannya, kepemimpinan yang berikannya, dan sebab-sebab yang menjadikanya dipilih dan diistimewakan oleh Allah mengalahkan makhluk yang lainya. Hanya Allah saja yang mengetahui hikmah dibalik itu, yang membuat malaikat heran atas pilihan tersebut diwaktu Allah menyampaikan sebuah cerita yang besar,
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“ (Al-Baqarah: 30).
Firman di atas adalah pelajaran dari Tuhan kepada malaikat yang heran atas pilihan Allah dan keistimewaan yang hanya diberikan Adam bukan yang lain. Meskipun akhirnya membuat kerusakan dan saling bunuh membunuh. Akan tetapi, setelah itu, malaikat tahu bahwa Adam yang dipilih menjadi khalifahNya dan mengutamakannya atas makhluk lainnya karena Allah mengkhususkannya dengan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh malaikat. Dalam firmaNya,
“Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar! Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Al-Baqarah: 31-32).
Saat itulah malaikat mengerti bahwa melalui pemberian pengetahuan yang sangat komplek makna-maknanya, sangat dalam bentuk-bentuk yang didapat merupakan keistimewaan kepemimpinan yang humanis secara umum. Ilmu merupakan anugerah bawaan yang ada dalam jiwa manusia yang semua manusia kembali kepadanya walaupun mereka berbeda bentuk, jenis, bahasa, daerah, masa, fikiran, kebudayaan dan ideologinya.
Al-Qur’an telah menjelaskan secara detail perihal kepemimpinan dan awal mula manusia dalam kisah penciptaan Nabi Adam as. Banyak para peneliti dan akademisi yang memfokuskan diri dalam menelusuri masalah ini dengan menggunakan metode dan teori yang berbeda-beda seperti halnya Tsa’labi dan Al-Alusi yang menafsirkan ayat ini
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“ (Al-Baqarah: 30).
Al-Alusi berpendapat bahwa keberadaan Adam as. sebagai khalifah di muka bumi adalah bahwa Allah telah menyerahkan kepemimpinan kepada Adam dan para Nabi untuk membangun bumi, mengatur makhluk, menyempurnakan serta memperbaiki diri mereka, serta mengimplementasikan semua perintah dan hukum-hukum-Nya kepada manusia. Dengan demikian, tugas kepemimpinan manusia adalah merealisasikan risalah para Rasul dan Nabi. Jejak dan peninggalan mereka tidak akan putus selama manusia masih ada di muka bumi ini. Karena dengan watak, keilmuan dan kemampuanya manusia bertugas untuk menjalankan risalah itu.
Muhammad Abduh, salah seorang pemerhati studi ini dan fokus menjelaskan tentang cerita khilafah fil ardli. Dia berpendapat bahwa sebab dipilihnya manusia sebagai khalifatullah di bumi kembali pada pengetahuan yang telah disiapkan Allah dalam watak kepemimpinan manusia, pengetahuan yang tidak dipunyai oleh para malaikat. Hal ini berdasarkan pada firman Allah,
“Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,“.
Pengatahuan yang istimewa inilah yang menjadikan turunnya Adam ke bumi, meskipun pada kenyataannya terdapat kerusakan dan pertumpahan darah.
Dr. Aisyah Abdurrahman menuturkan bahwa dua sebab yang menjadikan manusia lebih mulia dari malaikat. Hal ini setelah mengurutkan cerita al-Qur’an tentang penciptaan manusia. Pertama, sebagai penghormatan terhadap manusia yang pertama yaitu Adam as. saat Allah swt. memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya karena Adam berbeda dengan mereka. Perbedaan itu disebabkan karena Adam memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh malaikat. Sedangkan malaikat tidak mempunyai jalan untuk mencarinya. Hal ini berdasarkan pada perkataan mereka “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;Kedua, sebagai pemimpin di muka bumi mengharuskan anak cucu Adam guna mengemban tangung jawab kemanusiaannya, amanah atas tindakannya serta perilakunya, dan mengingat adanya cobaan yang bertubi-tubi sehingga tidak mungkin diemban oleh malaikat dengan seluruh kemampuanya.
Rashid Ridho, dalam kitab tafsirnya, Al-Manar, membahas masalah khalifah, secara literar. Yang dimaksud khalifah adalah Adam dan semua keturunannya. Kemudian dia mempertanyakan tentang apa arti khilafah? Apa yang dimaksud dengan penyerahan kepemimpinan? Apakah sebagian manusia memimpin sebagian lainnya ataukah jenis manusia memimpin jenis yang lainya?.
Dia berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan itu, kemudian mengatakan, “Sudah menjadi keputusan Allah swt. atas makhlukNya untuk mengajarkan hukum-hukum-Nya kepada mereka, dan merealisasikanya di atas tanggung jawab sebagian manusia yang akan dipilihNya agar menjadi khalifatullah dalam melaksanakan segala perintah dan hukumNya. Mereka telah terhormat lantaran kemulyaan manusia atas makhluk lainya.” Dengan demikian, makna khilafah mencakup atas seluruh manusia. Hal ini dikarenakan Allah telah memberikan kekuatan nonfisik, kemampuan akal, perasaan dan panca indra kemanusiaan. Sehingga dia memiliki kemampuan untuk mengendalikan mahkluk yang lain.
Melalui keistimewaan dan perbedaan ini, manusia akan dimintai tanggung jawab akan jati dirinya, watak kebebasannya dan perbuatannya, sebagaimana Allah menegaskan dalam firmanNya,
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya” (Al-Qiyamah: 14-15).
Manusia juga akan ditanya tentang pengetahuannya mengenai alam dan lingkungannya serta hubungan keduanya dengan dirinya. Allah berfirman,
“Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya” (Al-Rum: 8).
Ayat tersebut mengingatkan kepada manusia jika mereka mau berfikir tentang dirinya, sehingga mengenalnya, maka dia akan tahu hakikat segala yang ada baik yang rusak dan yang terlindungi, dan mengetahui hakikat langit dan bumi, kekuasaan sang Pencipta, kebesaran ilmuNya, hikmah penciptaan makhlukNya dan anugerah yang telah diberikan-Nya kepada manusia.
Dengan demikian, manusia wajib berfikir dan berusaha memahami dirinya, alam sekitarnya, dan berusaha mengenali dirinya. Karena barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka dia akan tahu bagaimana cara mengontrol dirinya, dan barang siapa mampu mengontrol dirinya dengan baik, maka dia akan bisa mengatur alam secara baik, sehingga dia akan menjadi khalifah-khalifah Allah yang disebut dalam firman-Nya “Allah akan menyerahkan kepemimpinan di muka bumi kepada mereka”.
Kepemimpinan ini menuntut manusia agar menjadikan dirinya mampu membangun dan meramaikan bumi, membersihkan jiwa dan memperbaikinya dengan ilmu, pengetahuan, penglihatan dan intelektualitas yang telah diberikan oleh Allah. Dikarenakan, hal ini bisa menjadikannya seorang peneliti dan pengamat suatu perkara sehingga mendapatkan petunjuk yang sesuai dengan risalahnya, mengetahui subtansi khilafah dan kedudukannya yang telah dijelaskan Allah diberbagai tempat. Allah befirman,
“Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja. dan dengan malam dan apa yang diselubunginya, dan dengan bulan apabila jadi purnama, sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan),” (al-Insiqaq: 16-19).
Berdasarkan penjelasan ini, maka manusia merupakan kekuatan yang kreatif, jiwa yang selalu berkembang dan elemen yang tetap dalam tahapan wujud. Oleh sebab itulah manusia membutuhkan proses untuk sampai padanya, dan harus mengungkap rahasia-rahasia yang ada dan membahas sifat-sifat dasarnya, mangembangkan segala kemungkinannya dan mengambil manfaat di setiap dimensinya.
Dengan begitu, maka jelaslah arti kepemimpinan manusia, yang menjelaskan tentang bentuk tangung jawab yang berada di tempat yang telah diciptakan dan disiapkan baginya. Dalam komentarnya, di kitab Muwafaqat karya Syatibi, Muhammad Husain Makhluf mengatakan, “Pertanyaan malaikat itu hanya bertujuan untuk membuka hikmah dan menghilangkan keraguan yang ada pada jiwa mereka. Mereka tidak paham makna khilafah, apa yang menyebabkan adanya perbedaan watak dan susunan campuran manusia. Allah berfirman “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“
Melalui ayat ini, Allah telah menunjukan kepada malaikat atas sedikitnya pengetahuan yang mereka miliki dan memperlihatkan keilmuan Adam, sehingga mereka bertambah yakin dan tahu akan kelayakan Adam  sebagai pemimpin, bukan mereka. Sebagai khalifah di muka bumi, membangunnya serta mengatur makhluk, membersihkan jiwa dan memperbaikinya, manusia harus bersikap objektif dan subjektif, menjaga keterpaduan keduanya. Hal ini supaya khalifah bukan malaikat, melainkan manusia. Adam merupakan manusia pilihan Allah sebagai khalifah, karena mempunyai dua sifat; keagungan dan kebesarannya. Dalam hal ini Nabi saw. bersabda: “Adam diciptakan atas bentuknya.” Pada diri Adam mengandung hal-hal yang saling bertentangan, perkembangan yang sempurna dan kebenaran.
Penciptaan Adam hanya bisa sempurna secara baik yang akan dia lakukan yaitu, khalifah di muka bumi. Karena itulah Allah memberikan keutamaan, kedudukan tinggi dan keistimewaan yang sesuai dengan derajat kepemimpinan, serta memberikan perkara yang sesuai dalam mengemban tanggung jawab yang berupa ilmu.
Ar-Razi dalam tafsirnya, Al-Kabir, berpendapat bahwa firman Allah, “Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,” yang dimaksud adalah Allah memberikan pengetahuan tentang sifat dan bentuk-bentuk benda, yakni pengetahuan tentang hakikat benda-benda dan memberinya akal supaya dapat memperoleh pengetahuan tentang benda-benda tersebut.
Rasyid Ridha dalam tafsirnya, Al-Manar, menerangkan tentang karakteristik pengetahuan Adam. Dia mengutip pendapat Muhammad Abduh yang mengatakan, “Pengetahuan Adam tentang segala sesuatu tidaklah dibatasi oleh ruang dan waktu. Allah maha kuasa atas segala sesuatu. Keistimewaan ini dimiliki oleh semua keturunan Adam. Mereka bekerja keras dengan seluruh kemampuanya untuk mengetahui segala benda dengan menganalisa dan menilitinya.”
Sedangkan Imam Qurtubi berpendapat bahwa, kepemimpinan manusia maksudnya adalah Allah memberi kekuatan imateri, keistimewaan maknawi dan penemuan-penemuan akal yang bisa menjadikan kebenaran mengalahkan keburukan. Begitu juga di antara orang-orang yang sempurna dan terpilih, terdapat individu-individu yang memperlihatkan kuatnya kebaikan serta mengatur makhluk dengan hikmah Allah dan merealisasikan syari’atNya. Sehingga mereka mengetahui hal yang hak dan baik diatas perkara yang jelek dan batil, mensucikanNya dengan sungguh-sungguh dengan memujiNya atas kenikmatan yang telah diberikan yang berupa cita-cita, mampu bekerja keras dan melawan hawa nafsu serta mengalahkannya. Mereka juga mensucikanNya, yang tumbuh melalui proses belajar mereka tentang tanda-tanda kebesaraNya, dan bukti kekuasaanNya dari keindahan alam melalui ilmu atau pengetahuan yang tidak diberikan kepada yang lainnya.
Dia juga berpendapat bahwa Adam adalah jenis manusia yang secara individu nampak sempurna dengan hakekat kemanusiaannya agar menjadi contoh bagi generasi berikutnya. Sedangkan yang dimaksud dengan nama-nama benda yang telah diberitahukan kepada Adam adalah hakikat benda-benda serta arti dan sebutannya atas pengetahuan yang integral dan penamaan benda yang ada sesuai dengan penamaannya. Karena nama yang membedakan suatu benda yang disebutkan tidak mungkin diketahui secara pasti, kecuali setelah mengetahui karakteristik masing-masing benda.
Adapun arti mengajarkan di sini adalah, Allah menitipkan arti nama-nama itu dalam watak manusia dan kesiapan nalurinya melalui daya pikirnya, pengetahuan akal dan spiritualitas yang telah diciptakan Allah serta mampu mengetahui semua hakikat benda yang ada di bawah kemampuan manusia yang akan nampak pada waktunya melalui suatu proses usaha dan belajar secara bertahap di setiap waktu.
Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan terpilihnya Adam sebagai khalifah, berdasarkan pada pemahaman saya dan mayoritas para pemikir dan peneliti, kembali pada pemberian keistimewaan yang berupa ilmu dan kesiapan watak untuk mencari ilmu dan pengetahuan yang dapat membantunya untuk menjadi terdepan dan sampai pada bentuk yang telah dicita-citakan, misalnya, kesempurnaan diri, tingkah laku dan perbuatan yang menjadikan kebahagian di dunia dan akhirat.
Begitu juga, manusia berhak menjadi khalifatullah di muka bumi karena manusia telah diberi ilmu dan pengetahuan tentang subtansi segala sesuatu serta kesiapannya menyampaikan hukum dan syari’at Allah dalam mengatur makhluk, yang itu tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Bahkan, kekholifahan itu juga tidak diamanahkan pada malaikat yang begitu mulia, lebih unggul dan istimewa dari mereka, padahal mereka senantiasa bertasbih, mensucikan Allah swt.
Sebagai makhluk yang terpilih menjadi khalifah, tidak menafikan adanya sebagian manusia yang menyimpang dari ketentuan Allah dan jalanNya yang lurus. Akan tetapi, pengetahuan manusia yang tidak terbatas itu merupakan keistimewaan yang membedakannya dengan makhluk lainnya, sehingga mempunyai derajat yang tinggi di atas semua kedudukan makhluk lainnya. Hal inilah yang menjadikan  manusia layak menempati posisi khalifah.
Allah telah memperlihatkan kepada malaikat tentang pengetahuan yang dimiliki Adam tentang subtansi alam, ketentuan-ketentuan Tuhan dan keilmuan yang pantas bagi makhluk yang terpilih menjadi khalifah. Hal itu bertujuan untuk menampakan keutamaan dan kemuliaanya.
Ketika Allah memberitahukan sesuatu yang tidak diketahui oleh malaikat, dan menjelaskan tentang keistimewaan serta kemuliaan manusia sehingga pantas sebagai pemimpin, mereka mensucikan Allah dan mengembalikan pengetahuan itu kepada Allah yang mengetahui segala sesuatu.
Dari sini, maka jawaban atas pertanyaan malaikat tentang sifat pemimpin -Apakah hal itu demi kebaikan semata, seperti adanya malaikat bertasbih dan mensucikan Allah? Ataukah berdasarkan pada keburukan yang sesuai dengan kebijaksanaan dan keadilan Allah? Karena sifat pemimpin adalah mengatur mahluk dengan menegakan keadilan, merealisasikan syari’at Allah dan mengarahkan mereka untuk memuliakan segala yang ada  melalui potensi karakternya­- adalah, hal itu dilakukan sebagai realisasi kenikmatan Tuhan yang hanya diberikan kepada manusia. Allah berfirman,
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (al-Baqarah: 29)
Dengan demikian, Allah tidak membiarkan manusia tanpa mengajarinya, membersihkan, mengarahkan dan menguatkan mereka dengan ilmu, pengetahuan, perasaan dan intelektualitas dalam dunia ini, Allah berfirman,
“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan” (al-Qiyamah: 36)
“Mengajarnya pandai berbicara”. “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”. (Al-Rahman: 3-4).
“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Al-Balad: 8-10)
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (Al-Insan: 3).
Tentu manusia sebagai pemimpin makhluk benar-benar mendapatkan perhatian yang begitu besar serta pertolongan yang luarbiasa dari Allah, sehingga Allah tidak melepaskannya dengan sia-sia, akan tetapi Allah mengistimewakannya dengan ilmu, akal serta menunjukan dan mengarahkan manusia agar mampu berfikir dan menganalisa agar memperoleh petunjuk. Dalam al-Quran, manusia  disebut secara jelas di 65 tempat lebih, dan pada falsafahnya yang mendalam. Keistimewaannya sebagai pembedaan, yang sekiranya dia sebagai individu dari jenis manusia atau dalam arti keseluruhan insan.
Dengan kecerdasanya, Ibnu Hazm menemukan makna insan dengan mengatakan bahwa kata insan menunjuk pada semua jenis manusia. Seperti Firman Allah“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian” (Al-”Asr: 2). Maksudnya adalah, semua anak cucu Adam as. Juga, menunjuk pada individu-individu seperti lafadz, “Adakah manusia yang  datang kepadamu dan kamu mengenalnya, sedangkan kamu bertambah anak dan istri, ataukah ada seseorang yang menolongmu.” Sehingga menurut Ibnu Hazm, kata insan terkadang bermakna semua jenis manusia atau individu. Inilah yang nampak dalam kebahasaan dan penjelasan teks. Di tema yang lain, Ibnu Hazm memperjelas tentang arti insan. Menurutnya, kata “semua manusia” menunjuk pada individu-individu. Makna inilah yang dimaksud dalam firman Allah “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah” (Al-Ma’arij: 19-20). Dalam ayat ini, Allah tidak bermaksud hanya pada satu orang, akan tetapi semua jenis manusia.  Terkadang juga dikatakan ‘insan mutlak’ yaitu, mahluk yang memiliki sifat-sifat sepert, bisa berbicara, hidup, mempunyai warna, tinggi, lebar dan lain sebagainya. Sifat yang ada pada Zaid, Khalid, Hindun, Zainab dan setiap individu itu disebut dengan al-insan al-juziy’ (bagian dari manusia). Zaid disebut manusia, sama halnya dengan Amr dan yang lainya.
Sedangkan al-insan al-kulli, sifat yang dimiliki semua yang telah disebutkan yaitu, setiap manusia. Bagian ini tidak tercakup sama sekali. Dengan arti, bagian ini bukan menjadi sifat karena sifat adalah hal yang dicakup bukan mencakup. Sedangkan materi adalah pembawa bukan dibawa.
Secara etimologi maupun terminologi, kata insan mempunyai arti seluruh manusia yang mencakup semua keturunan Nabi Adam, dan semua jenis manusia masuk dalam jenis manusia. Dengan menganalisa kata insan serta  mengamati kondisi para peniliti dan pembahas terdahulu serta orang-orang yang ditemuinya, Ibnu Hazm berkata, “Dalam memahami kata ini (insan), para pakar berbeda pendapat. Kelompok pertama mengatakan bahwa kata insan tertera pada jiwa bukan badan, sedangkan kelompok kedua mengatakan pada badan bukan jiwa, dan kelompok ketiga berpendapat kata insan menunjuk pada badan dan jiwa.” Adapun yang menjadi pokok perdebatan dalam hakikat insan adalah, apakah insan itu jasad atau jiwa ataukah kedua-duanya? Dalam hal ini para filosof Yunani maupun muslim mempunyai perbedaan yang amat mendalam, sehingga banyak sekali pendapat dan pemikiran. Hal ini dikarenakan hanya Allah yang mengetahui  rahasia ciptaan-Nya. Dengan demikian, tidak ada satu orang pun yang mengetahui rahasia keserasian dalam perwujudan manusia, sehingga sangat sulit menyakini dan memahaminya. Dalam Al-Quran, Allah menjelaskan tentang esensi dan watak manusia dengan firmaNya,
“Yang demikian itu ialah Tuhan Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. (Al-Sajdah: 6-9).
Ayat ini mengandung semua esensi dan hakikat proses penciptaan manusia. Untuk lebih memperjelas dan detail, saya memaparkan firman Allah “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.” (al-Mu’minun: 12), ayat ini menjelaskan segi materi  dalam diri manusia yang berupa jasad (badan). Adapun firman Allah “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (al-Hijr: 29), ini menjelaskan sisi jiwa, ruh yang bersemayam di badan manusia. Sedangkan firman Allah “Jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)” (al-Syams: 7), ini menerangkan segi subtansi manusia, jiwa kemanusiaan.
Semua ayat di atas menjelaskan tentang kondisi dan tabiat pembentukan manusia yang tersusun dari materi yang berupa badan, serta ruh dan jiwa. Inilah hakikat manusia. Dengan demikian, insan adalah badan yang serupa dengan segi materi yang berbentuk. Sedangkan jiwa dan ruh merupakan dua hal yang menyerupai sisighoib yang metafisik.
Kemudian ada beberapa ayat yang secara berurutan menjelaskan tentang segi materi. Ayat-ayat ini membicarakan tabiat dan jenis materi itu. Allah berfirman,
Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar.” (al-Rahman: 14)
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (al-Hijr: 28)
Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya - sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?” (al-Kahfi: 37) dan
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” (al-Thariq: 5-7).
Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah menciptakan manusia dari mater; lumpur dan tanah kering, yakni tanah dan air.  Inilah materi yang membentuk badan manusia. Pada kenyataannya, pendapat inilah yang disepakati. Ditinjau dari pandangan para ulama dan filosof yang mendalami hal ini, mereka mengatakan bahwa badan manusia tercipta dari beberapa unsur-unsur bumi yaitu, air dan tanah yang bisa menciptakan oksigen, hydrogen, karbon, zat besi, potasium, kalsium dan unsur-unsur lain tanah yang berpindah ke dalam tubuh manusia dengan jalan mengonsumsi makanan nabati dan hewani yang berasal dari bumi.
Sebenarnya, manusia bukan hanya berupa badan, seperti yang telah dipaparkan, Akan tetapi juga terdiri dari ruh dan jiwa. Hal ini sangat jelas dalam firman Allah swt, pendapat para filosof dan para intelektual. Artinya, ketika berbicara tentang manusia tidak akan lepas dari badan, ruh dan jiwa. Seperti pendapat Jalal al-Duwani dalam bukunya Haqiqah al-Insan, dia mengatakan, “Manusia itu terdiri dari tiga unsure; jasad kasar, jasad lembut, dan ruh. Pertama, jasad kasar adalah jasad yang berbaring di atas ranjang di waktu tidur, yaitu jasad yang rusak setelah mati. Kedua, jasad imateri adalah tubuh yang terpisah dari jasad kasar pada saat tidur yang menjelajahi cakrawala langit dan bumi yang dalam terminologi syari’at biasa disebut ruh. Ketiga, ruh yang menghubungkan antara jism kasar dan lembut yang tidak berbentuk.”  Inilah maksud firman Allah,
“Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.  (Al-sra’: 85).
Sebenarnya, al-Qur’an telah membedakan antara ruh, jiwa dan badan, serta masing-masingnya mempunyai makna tertentu.
Dalam al-Qur’an, kata “ruh” disebut sebanyak dua puluh kali. Di antaranya adalah firman Allah swt,
“Sesungguhnya Al Qur‘an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan“ (Al-Syu’ara’: 192-194).
Ada juga yang dimaksudkan dengan ruh manusia yang merupakan rahasia ilahi, yakni yang menjadikan manusia tetap hidup sebagaimana firman Allah,
“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (Al-Sajadah: 8-9).
Ruh adalah rahasia ilahi yang tampak pada Maryam, sehingga dia melahirkan janin yang hidup. Dengan dasar ini, maka ruh merupakan urusan Allah yang tidak diketahui keberadaanya kecuali Dia. Hal ini sesuai dengan firman Allah,
“Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’”  (al-Isra’: 85).
Sedangkan jiwa disebut dalam al-Qur’an sebanyak 126 ayat dengan kata jamak“nufus” dua kali dan kata “anfusin” sebanyak 153 kali.
Adapun yang dimaksud dengan arti nafs di semua ayat ini adalah jiwa beserta unsur-unsur materi dan ruh yang fisik maupun metafisik. Sehingga nafs itu dapat binasa.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Al-Imran: 145) dan
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Al-Imran: 185).
Oleh sebab itulah Allah berfirman,
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (Al-An’am: 151).
Dengan adanya ayat ini, nafs tidak sama  dengan ruh yang merupakan rahasia kehidupan, dan juga tidak sama dengan badan. Ruh lebih dekat sebagai ungkapan akan dzat manusia ketika ruh masuk dalam badan sehingga menjadi jiwa manusia.
Kebenaran pendapat ini berdasarkan pada ucapan “nafs binasa, ruh keluar”. Dengan arti, ruh akan keluar dari badan manusia yang meninggal karena ruh tidak mati. Kata jasad disebutkan dalam al-Quran sebanyak empat kali dengan arti bentuk atau gambar. Dalam hal ini, manusia terdiri dari tiga istilah yaitu, badan, nafs dan ruh. Hal inilah yang menyebabkan para filosof berbeda pendapat dalam mengartikan kata “insan“?
Al-Asy’ari menjelaskan tentang perdebatan besar ini dalam bukunya Maqalah al-Islamiyah. Dia mengeluarkan 19 pendapat tentang esensi manusia menurut para pemikir. Dia berkata, orang-orang berbeda pendapat mengenai kata insan, apa insan itu? Menurut Abu al-Huzail al-’Alaf, manusia adalah suatu bentuk yang tampak  mempunyai kedua tangan dan kaki.  Ada sebagian berpendapat bahwa badan adalah manusia, sedangkan sifat-sifatnya tidak termasuk badan. Badan harus mempunyai sifat dari beberapa sifat. Manurut Basr bin Mu’tamar, insan adalah jasad dan ruh. Keduanya merupakan insan. Adapun yang banyak aktifitas itu adalah manusia yang berupa jasad dan ruh. Abu Huzail tidak mengatakan bahwa bagian tubuh tidak mempengaruhi bagian yang lain dan tubuh tidak bekerja dengan yang lain. Akan tetapi, dia mengatakan bahwa yang bekerja adalah bagian-bagian tubuh ini.
Menurut Dharar bin Amr, manusia terdiri dari banyak hal, yaitu bentuk, warna, rasa, kekuatan dan yang menyerupainya. Ketika hal-hal ini menjadi satu, maka disebut manusia. Dalam diri manusia tidak mempunyai bentuk selain itu. Husain al-Najjar dan pemikir lainya menyangkal bahwa kekuatan itu hanya sebagian manusia.
Iyadh bin Sulaiman berkata, “Kalau dianalogikan, arti insan adalah basr (manusia), begitu juga sebaliknya.” Dia menganggap bahwa manusia itu berupa benda dan sifat-sifat. Dhirfan menceritakan bahwa Hisyam bin Hakam pernah mengatakan bagaimana intelektual muslim disibukkan dengan cinta dan faktor-faktornya, serta rindu dan tanda-tandanya. Bagaimana mereka mengarang beberapa risalah dan buku-buku mengenai hal itu. Cinta yang kami teliti dan bahas dalam kesempatan ini tak lain hanyalah cinta manusia. Karena sasaran atau fokus kami adalah membahas filsafat kemanusiaan dalam Islam. Oleh karena itu kami tidak menyingung cinta Allah, karena tempatnya bukan di sini akan tetapi berada di para penikmat tasawuf. Mudah-mudahan studi kami mengenai filsafat manusia dalam Islam bisa menyuguhkan beberapa point, dan pembahasan kami mengenai beberapa tema yang memperhatikan manusia di setiap waktu dan tempat, bahkan filsafat itu sendiri adalah manusia itu. Sebagaimana yang telah kami jelaskan di sela-sela pembahasan kita tentang jiwa, akhlak dan cinta. Insan adalah sebuah nama bagi dua arti, badan dan ruh. Badan akan binasa, sedangkan ruh adalah penggerak imateri yang mengikuti fisik. Ia adalah cahaya. Menurut Abu Bakr, manusia adalah sesuatu yang terlihat. Ia adalah sesuatu yang tidak mempunyai ruh. Insan merupakan benda yang tersendiri. Sehingga Abu Bakr menafikan insan selain bisa di rasa dan dilihat.
Nidzam mengatakan, insan adalah ruh yang merasuki badan serta mengikat seluruh tubuh. Sedangkan badan sebagai penutup, penahan dan penekan ruh. Asy’ari memberikan komentar lain yang disampaikan oleh Dzirfan. Dia mengatakan ruh adalah suatu imateri yang dapat dirasakan. Ruh merupakan satu bagian dan tidak berupa cahaya atau kegelapan.
Ada beberapa orang, di antaranya adalah Ma’mar, yang berpendapat bahwa manusia adalah bagian yang tidak dapat dibagi. Ia adalah pengatur dalam dunia. Sedangkan badan merupakan sarana bagi ruh. Pada hakikatnya, insan tidak bertempat, tersentuh atau bersentuhan dengan benda lain. Sehingga dia tidak bergerak, diam, mempunyai warna dan rasa. Akan tetapi, dia mampu mengetahui ilmu, mempunyai kekuatan, kehidupan, berkehendak dan rasa benci. Dia adalah pengerak tubuh sesuai dengan kehendaknya, akan tetapi tidak bersentuhan dengan tubuh.
Ada sebagian orang yang mengatakan, insan adalah bagian yang tidak dapat dibagi, dan boleh baginya bersentuhan, nampak, bergerak dan diam. Ia adalah bagian tubuh yang bersemayam dalam hati dan mempunyai beberapa sifat. Ini adalah pendapat para ulama shalih.
Menurut Ibnu Rawandi, insan adalah hati, berbeda dengan ruh. Ruh bersemayam di dalam badan. Ada juga yang berpendapat, al-insan adalah ruh dan panca indra termasuk bagiannya. Insan adalah satu jenis yang tidak berbeda dengan ruh. Hanya saja berbeda penemuannya. Insan dapat diketahui dari sisi lain. Sehingga pengetahuan tentang ruh akan berbeda karena perbedaan campuran. Mereka adalah Dishaniyyah.
Diceritakan dari para pengikut Markuni bahwa mereka mengangap bahwa di dalam badan terdapat panca indra dan ruh. Ruh itulah yang disebut sebagai insan. Adapun panca indra tidak termasuk ruh, hanya saja, kehendak panca indra sampai pada ruh. Sehingga mereka menjadikan ruh sebagai jenis ketiga yang tidak berupa cahaya atau kegelapan.
Menurut ahli fisika, manusia terdiri dari campuran panas, dingin, kering dan basah. Begitu juga panca indra, daging dan darahnya. Semua itu adalah manusia. Ashab al-Hayuli mengatakan ada berbagai pendapat yang berbeda-beda. Sebagian menganggap bahwa manusia adalah benda hidup yang bisa berbicara dan mati. ia disebut manusia ketika hidup, berbicara dan bisa mati. Dan sebelum itu tidak disebut manusia. Ada juga yang berpendapat bahwa manusia adalah yang hidup dan bisa berbicara. Inilah bentuk dan  sifat-sifatnya.
Sebagaian yang lain mengatakan bahwa insan adalah sesuatu yang ada dalam  benda, tidak bersentuhan, tidak nampak dan tidak bercampur dengan lainya. Ia ada dalam benda dan sebagai pengaturnya.
Dr. Ahmad Subhi berpendapat bahwa definisi al-insan menurut berbagai pendapat memiliki urgensi yang khusus karena adanya dasar di setiap madzhab itu. Begitu juga membatasi peran-peran yang umum di dalamnya. Sedangkan Aristoteles mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berfikir. Hal ini dikarenakan semua filsafatnya membahas seputar esensi manusia. Pada zaman modern ini, Marxis mendefinisikan insan sebagai hewan yang membuat alat yang sesuai dengan pekerjaanya. Karena sisi ekonomilah yang menjadi acuan pendapatnya.
Umat Islam mendefinisikan manusia sebagai sesuatu yang wujud, memikul beban dan akan ditanya tentang segala tindakan dan budi pekertinya. Hal ini dikarenakan Islam adalah perbuatan dan budi pekerti yang keduanya merupakan muara bagi pemikiran Islam. Manusia sebagai pengemban amanah diberikan tanggung jawab akal, akhlak dan syari’at. Sehingga Allah menciptakan baik dan buruk “fahadainahun najthain“, dan saya menunjukan dua penemuan. Dengan demikian, manusia akan diminta pertangungjawaban atas segala tindakan yang telah dilakukannya tergantung kebebasan yang berkaitan dengan perbuatan dan tingkah laku. Sehingga intelektualitas dan perbuatan memiliki keterkaitan yang sangat erat. Kesimpulan inilah yang dapat saya ambil dalam membahas tentang filsafat manusia. Hal ini juga disebabkan karena perbedaan definisi di kalangan umat Islam. Akan tetapi, mereka tidak berbeda pendapat dalam sifat dasar manusia yang berupa tanggung jawab. Tidak ada dalam definisi mereka yang bertentangan dengan sifattaklif.
Ibnu Hazm lebih memperjelas pendapat-pendapat umat Islam tentang esensi manusia dan mendeskripsikannya. Dia mengatakan, “Sebagian orang berpendapat bahwa insan terletak di badan, bukan pada jiwa. Inilah pendapat Abu Huzail al-’Ilaf. Ada juga yang mengatakan bahwa al-insan adalah jiwa, bukan jasad, pendapat ini adalah pendapat Ibrahim al-Nidzam. Sebagian lain mengatakan, manusia terletak pada tubuh dan jiwa seperti belang-belang yang pasti mempunyai warna hitam dan putih.
Pendapat pertama, menurut al-’Ilaf dan orang yang mengikutinya, mengatakan bahwa al-insan adalah jasad, maksudnya adalah bahwa manusia merupakan jasad atau materi saja. Hal ini berdasarkan ayat-ayat yang menyatakan tentang penciptaan manusia yang berasal dari materi seperti debu, tanah liat dan air. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa manusia adalah bentuk lahir seseorang yang mempunyai dua tangan dan dua kaki. Sebuah perbuatan tidak bisa dikaitkan hanya pada satu anggota badan karena yang melakukan adalah seluruh tubuh manusia. Definisi al-’Ilaf di atas, hanya menunjukan pada watak manusia yang menjadi pelaku, yang dibebani dan bertangung jawab. Orang yang akan diberi pahala berupa kenikmatan dan disiksa yang berupa kepedihan, itu atas apa yang dilakukannya. Sehingga anggota badan yang tidak merasakan kenikmatan atau kesengsaraan tidak bisa disebut sebagai bagian dari apa yang dinamakan manusia. Asy’ari menceritakan, bahwa Al-Huzail menjadikan rambut manusia dan kukunya termasuk bagian dari manusia. Menurut ‘Alaf, ketika seseorang tidur, dia tidak diminta pertanggungjawaban atas apa yang dia lakukan saat tertidur,  karena jiwa dan ruhnya hilang, tapi masih hidup.
Pendapat kedua yaitu, pendapatnya al-Nidlom dan orang yang sepakat dengannya, mengatakan bahwa manusia adalah jiwa, bukan jasad. Hal ini berdasarkan pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang jiwa yang bermakna insan. Sedangkan badan adalah sarana dan menjadi pijakan jiwa. Badan manusia mengikat dan menahan jiwa. Adapun ruh adalah jism yang tidak telihat yang masuk kedalam tubuh, menyusup di semua bagian tubuh, berjalan di setiap bagian-bagiannya bagaikan mengalirnya air yang kekal dari awal kehidupan sampai akhir.
Sehingga hubungan ruh dan badan, menurut Nidzam, adalah hubungan yang saling mempengaruhi. Dengan arti, ruh mengikat seluruh badan dan bersemayam di dalamnya sebagai operator yang mengerakan badan, bukan sebagai perasa atau penemu. Sedangkan panca indra hanyalah urat-urat yang memasukan sesuatu kedalam ruh. Kemampuan mengetahui bukanlah tugas ruh. Hal itu merupakan kehendak Allah dengan menciptakan panca indra kepada manusia.
Ibnu Hazm menguatkan kebenaran kedua pendapat itu, karena bertendensikan ayat-ayat al-Quran. Dia berkata, “Dua pendapat ini benar, tidak ada yang lebih utama dan tidak diperbolehkan memperdebatkannya. Hal ini dikarenakan kedua pendapat tersebut bersumber dari Allah SWT. Sedangkan apa yang bersumber dari Allah, tidak ada perbedaan.” Allah berfirman,
Kalau kiranya Al Qur‘an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Al-Nisa’: 82).
Dengan adanya beberapa ayat, jelaslah bahwa manusia adalah jiwa, bukan jasad atau berupa jasad, bukan jiwa dan juga kedua-duanya. Dalam hal ini Ibnu Hazm berpendapat, “Yang disebut sebagai manusia adalah jiwa, bukan tubuh. Bisa juga sebagai sebutan bagi tubuh, bukan jiwa atau kedua-duanya.” Dalam pendapatnya, Ibnu Hazm  mengutip teks-teks al-Qur’an dan mengaitkannya dengan  jiwa dan jasad dengan benar dan tidak mentakawilkan dengan penakwilan yang keluar dari maknanya.
Ibnu Hazm berusaha mengambil setiap teks-teks al-Qur’an secara global dan berusaha tidak asal-asalan dalam mencocokkannya, yang bisa keluar dari arti yang dimaksudkan. Dia membuktikan kebenaran pendapat tersebut dengan kaidah bahasa. Dia mengatakan, bahwa kita mengatakan yang hidup adalah manusia yang mempunyai jasad dan jiwa. Seperti halnya orang mati yang hanya mempunyai tubuh. Sebelum hari kiamat, tubuh manusia akan disiksa dan jiwa akan merasakan kenikmatan, bukan jasad.
Ibnu Hazm menentang pendapat yang mengatakan, yang dinamakan manusia adalah ruh dan tubuh. Penentangan ini disebabkan karena  manusia dipahami dengan pemahaman yang tidak sesuai teks-teks yang ada dan juga pendapat yang terbatas dan sempit. Dengan arti, menurut Ibnu Hazm, manusia sangat luas dan kompleks dari definisi yang telah dilontarkan oleh para filosof dan kaum intelektual. Pendapat tersebut semata-mata berdasarkan pada konsep yang ada dalam teks keagamaan, realitas bahasa dan pengunaanya secara benar yang bersandarkan pada logika.
Menurut Ibnu Hazm, pemahaman sempurna tentang manusia telah banyak di paparkan oleh para filosof dan psikolog seperti Lasibleh yang dalam konsepsi dan analisisnya tentang manusia, memaparkan adanya tiga dimensi dalam diri manusia.
Pertama dimensi luar (le dehors), yaitu dimensi yang tampak pada manusia yang berupa  tubuh. Sehingga insan menerima segi materi yang terlihat secara natural. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan al-Juba’i. Dia beranggapan bahwa manusia adalah suatu bentuk yang tersusun. Dengan arti, bentuk yang nampak pada manusia seperti apa yang ditunjukan oleh sebuah bangunan atas susunan tubuh manusia. Ketika muncul pertentangan adanya kemungkinan kemiripan bentuk dan tingkah manusia, Abu Hasyim, putra al-Juba’I, mensyaratkan adanya daging. Ketika dia disanggah bahwa hal itu tidak bisa  membedakan manusia dengan hewan, dia tidak mau kembali lagi pada pendapat Aristoteles dalam mendefinisikan manusia dan kemampuan berfikir yang membedakannya dengan hewan. Jika kita memahami semua itu hanya dari segi perkataan yang diucapkan orang yang bisu kita tidak akan memahaminya. Maka pendapat Juba’I dan putranya dalam membatasi dan mempersempit definisi manusia dari salah satu segi dan dimensi-dimensinya merupakan hal yang salah. Adapun yang dapat disimpulkan adalah penjelasan tentang pemikiran para filosof dalam menjelaskan hakikat manusia.

Kedua dimensi batin (le dedons), yaitu dimensi yang ada dalam tubuh manusia yang serupa ruh. Ia merupakan segi imateril pada manusia.

Ketiga dimensi jiwa (le dessus), yaitu dimensi di atas jasad dan ruh. Yakni, badan dan ruh dalam kesatuan, kesempurnaan dan keselarasanya.
Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa pendapat Ibnu Hazm mendahului Lasibleh dalam memahami manusia dan pemikirannya yang sempurna tentang manusia. Sehingga yang dinamakan manusia adalah jasad, ruh dan jiwa. Inilah akhir pendapat Ghazali yang akan diterangkan.
Akan tetapi, ketika jasad telah mati dan kaku, ia tidak akan bergerak kecuali digerakan oleh jiwa, maka kita akan membahas tentang jiwa dan mempelajarinya secara khusus untuk mengetahui dan memahaminya. Jiwa adalah dzat manusia ketika ruh masuk dalam badan, jasad yang mati. Kemudian jasad menjadi jiwa yang hidup, jiwa manusia.


Sekian, semoga bermanfaat.
Read more

Thursday, March 10, 2016

TASAWUF SEBAGAI KONSEP

   Istilah Tasawuf belum dikenal pada zaman Rasul, tetapi substansi ajaran tasawuf di ambil dari perilaku Rasulullah sendiri. kalimat tasawuf diduga berasal dari kata shafa yang artinya bersih, atau dari kata suf yang artinya woll, merujuk pakaian sederhana para sufi purba. Ajaran Islam mengenal pembidangan akidah, syariah, akhlak atau pembidangan Islam, iman dan ihsan. Dalam prespektif ini maka tasawuf berada dalam akhlak atau ihsan.


                Dalam khazanah keilmuan Islam, filsafat berkembang dengan amat pesat, tetapi psikologi tidak berkembang. Hal ini bukan berarti ulama tidak tertarik dalam masalah jiwa. Al-Qur’an dah Hadist sendiri banyak membicarakan tentang jiwa (nafs), tetapi pengalaman psikologis masyarakat Islam berbeda dengan pengalaman psikologis masyarakat Barat. Masyarakat modern Barat tumbuh di atas puing-puing kekecewaan terhadap Gereja yang berseberangan dengan pemikiran modern sehingga agama(gereja) kemudian dipisahkan dari urusan dunia, dan implikasinya kemudian ilmu pengetahuan dan peradaban Barat berjalan  sendiri tanpa panduan agama dan jadilah kemudian peradaban sekular.
                Sedangkan dalam sejarah Islam, perkembangan ilmu pengetahuan berjalan seiring dengan agama, dan bahkan ajaran Islam itu sendiri mendorong umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu pertumbuhan ilmu pengetahuan dan peradaban kaum Muslimin berada dalam panduan agama, bahkan filsafat (Islam) pun meski pada mulanya digelitik oleh pemikiran Yunani pertumbuhannya tetap berada dalam koridor al-Qur’an.
                Tentang jiwa (nafs) misalnya, dalam khazanah keilmuan Islam tidak tumbuh ilmu jiwa sebagai ilmu yang membahas perbuatan sebagai gejala-gejala jiwa. Nafs dibahas dalam konteks sistem keruhanian yang memiliki hubungan vertikal dengan Tuhan. Karena Al-Qur’an dan juga sunnah banyak menyebut secara langsung term nafs maupun term yang menyebutnya secara tidak langsung seperti qalb, ‘aql, ruh dan bashirah, yang kesemuanya itu baik secara lughawi maupun karena munasabah dengan ayat lain atau dengan hadis Nabi mengandung banyak arti sehingga para ulama dibuat sibuk untuk menggali pengertian nafs dan sistemnya dalam prespektif Al-Qur’an dan sunnah. Di antara ilmu yang membicarakan nafs dalam khazanah keilmuan Islam adalah ilmu tasawuf.
                Meski nama tasawuf itu sendiri tidak diambil dari Al-Qur’an dan atau Hadist, tetapi esensi dari kajian tasawuf bersumber dari keduanya. Bertasawuf artinya mematikan nafsu kediriannya secara berangsur-angsur untuk menjadi diri yang sebenarnya. Bertasawuf artinya berusaha untuk menempuh perjalanan ruhani mendekatkan diri kepada Tuhan hingga benar-benar merasa dekat dengan-Nya. Tentan bagaimana metode mendekat (taqarrub) kepada-Nya para sufi berpedoman kepada tingkah laku keagamaan Nabi, para sahabat Nabi dan para wali, sehingga dalam bertasawuf faktor matarantai pengubung tradisional dengan asal-usulnya atau rantai keruhanian dalam bentuk guru-murid sangat dipegang teguh.
                Kemajuan zaman juga mempunyai andil dalam kecenderungan kaum Muslimin kepada tasawuf. Dalam kurun waktu 30 tahun setelah hijrah Nabi, kaum Muslimin generasi pertama ini mengalami perubahan yang amat cepat, dari penduduk padang pasir yang miskin dan tak dikenal, berubah menjadi penguasa (imperium) dengan wilayah kekuasaan yang amat luas dan kekayaan melimpah. Pada masa Umar bin Khattab, wilayah jajahan Romawi di Afrika Utara dan Syam serta imperium Persia telah ditaklukan. Semangat juang yang sangat tinggi dari tentara Islam untuk melakukan ekspansi wilayah ketika itu tak bisa dihindarkan dari adanya semangat menemukan kehidupan dunia yang lebih nyaman, yakni memperoleh harta rampasan perang dan menemukan peluang bisnis di negeri baru, disamping semangat ibadat tentunya. Pada masa Umar bin Khattab semangat bisnis elit politik belum tumbuh karena Umar melarang sahabat-sahabat Nabi hijrah ke negeri baru, tetapi ketika khalifah Usman bin Affan mencabut larangan itu maka berlomba-lombalah para elit sahabat untuk ikut dalam ekspedisi militer dan selanjutnya menetap di negeri yang baru ditaklukan, dan seperti yang sudah banyak ditulis, keluarga Usman (Bani Umayyah) kemudian menguasai jaringan ekonomi nasional ketika itu. Ketika itulah pertarungan antara motivasi duniawi dan motivasi ukhrawi muncul dan berkembang menjadi konflik politik.
                Pada akhir masa Khalifah Usman bin Affan dan masa Ali bin Abi Thalib di kala kekayaan melimpah ruah konflik elit politik mengemuka dengan amat tajam, dan menelan korban yang tidak tanggung-tanggung yaitu Khalifah Usman, Khalifah Ali bin Abi Thalib dan bahkan cucu Nabi sendiri Husain, ketiga terbunuh secara aniaya.
                Meski perubahan datang begitu cepat, tetapi para ulama tidak kehilangan kemampuan untuk merenung, mengambil hikmah dan mencotoh perilaku keagamaan Nabi serta para sahabat-sahabatnya. Kenangan tentang Abu Bakar yang dikenal sangat sederhana, tetapi mampu mengorbankan seluruh harta kekayaannya untuk perjuangan belum hilang. Demikian juga tentang Umar Khattab yang hidup amat sederhana dengan baju tambalan, meski ia ketika itu menjadi seorang kepala negara baru yang kaya raya, satu bentuk kehidupan yang dalam tasawuf disebut sebagai zuhud, atau meninggalkan kehidupan bendawi di tengah melimpahnya harta benda masih belum hilang dari kenangan masyarakat. Ketinggian akhlak Rasul dalam kehidupan kesehariannya juga masih belum hilang dari kenangan para sahabatnya. Hal inilah yang menjadikan kekecewaan masyarakat atas konflik elit politik (sebagai limbah “modernisasi”) tidak sampai menumpulkan pemahaman para sahabat (ulama) atas ketinggian ajaran Islam. Sebaliknya, semangat memahami Al-Qur’an dengan ta’wil menjadi subur, antara lain melahirkan metode tafsir isyrary yakni memahami realita dengan isyarat-isyarat Al-Qur’an, satu tafsir yang kelak dikenal sebagai corak tafsir tasawuf.
                Bahwa dalam prakter selanjutnya dijumpai penyimpangan-penyimpangan, terutama pada tataran tarekat, adalah hal yang bisa dimaklumi tetapi konsistensi menjadikan syariat agama sebagai koridor membuat perkembangan tasawuf tetap tidak terlepas dari agama Islam, meski tasawuf itu sendiri universal ada pada semua agama.
Tasawuf pada masyarakat modern
                Pada abad 19 ketika dunia Islam diserbu oleh ide-ide Barat sekular, seperti gerakan rasional dan gerakan anti mistik. Tasawuf pernah dituding sebagai biang keladi kemunduran Islam dan dikutuk oleh beberapa kalangan modernis ketika itu. Imam Ghazali dan ihya ulum ad-din-nya cukup lama dihujat sebagai biang keladi kemunduran Islam. Jatuhnya kekuasaan politik dunia Islam ke penjajahan Barat sering kesalahannya dialamatkan kepada tasawuf oleh orang Islam yang kebarat-kebaratan dan bahkan mereka berteori bahwa kajian tasawuf itu sengaja direkayasa oleh pihak kolonialis Barat untuk melemahkan Islam dari dalam. Para Orientalis sangat berperan dalam menanamkan kesan dangkalnya nilai keruhanian dan metafisik ajaran-ajaran Islam kepada kaum terpelajar Muslim yang menimba ilmu di Barat, karena faktor bahasa yakni mereka tidak mampu memahami literatur berbahasa Arab, menjadi sangat tergantung kepada karya orientalis tersebut. Menurut Seyyed Hossein Nasr, pada akhir Perang Dunia II dapat dijumpai dua kelompok mahasiswa di universitas di negeri kaum Muslimin yang mengalami modernisasi sekular, pertama yang anti Islam dan yang kedua Muslim tapi tidak respek kepada syariah Islam dan keduanya menentang tasawuf,( Seyyed Hossein Nasr, Living Sufism)
                Akan tetapi hal-hal berikut ini;
  1.  Desintegrasi nilai-nilai kebudayaan Barat serta kekecewaan yang dirasakan akibat modernisasi,
  2.  Ancaman malapetaka yang dibawa oleh peradaban Barat, dan firasat makin dekatnya ancaman itu.
  3.  bukti adanya ketidakjujuran intelektual Barat terhadap Islam menyatukan dua kelompok tersebut, dan kini mereka justru nampak haus terhadap tasawuf atau sekurang-kurangnya sudah ada sikap baru yang lebih positif terhadap tasawuf.

                Memang peradaban Barat yang telah mencapai puncaknya, di sisi lain juga mencapai semacam titik jenuh dengan sekularisasi yang melampaui batas dan kebebasan yang negatif, suatu proses yang tak lain merupakan penjauhan benda-benda dari makna spiritualnya. Dari kejenuhan itu akhirnya masyarakat Barat menerima kehadiran dukun-dukun kebatinan dan ahli yoga yang datang ke Barat secara berduyun-duyun membentuk organisasi. Manusia kini secara naluriah merasakan pentingnya meditasi dan kontemplasi, namun sayang hanya sedikit kaum beragama yang secara disiplin menjalankan syariatnya yang otentik sebagai satu-satunya jalan yang mendatangkan kegembiraan dan ketenangan, yaitu melalui pernungan yang dalam tentang keabadian surgawi. Karena mereka tidak menemukan jalan yang meyakinkan akhirnya mereka lari kepada obat-obat bius, atau pusat-pusat realisasi diri atau guru-guru keruhanian palsu dari Timur, satu hal yang menurut Nasr merupakan bentuk pembalasan dendam yang luarbiasa terhadap Barat atas semua yang dilakukanya terhadap tradisi-tradisi Timur pada masa penjajahan.
                Di sinilah kehadiran tasawuf benar-benar merupakan solusi yang tepat bagi manusia modern, karena tasawuf Islam memiliki semua unsur yang dibutuhkan oleh manusia, semua yang diperlakukan bagi realisasi keruhanian yang luhur, bersistem dan tetap berada dalam koridor syariah. Betapapun paket zikir,wirid, sayr dan suluk dalam tarekat lebih bisa “dipahami” oleh orang terpelajar. Relevansi tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena tasawuf secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syariah sekaligus. Ia bisa dipahami sebagai pembentuk tingkah laku melalui pendekatan tasawuf Suluky dan bisa memuaskan dahaga intelektual melalui pendekatan tasawuf faslsafy. (Tasawuf suluki lebih menekankan aktifitas yang membimbing kepada tingkah laku mulia seperti memperbanyak ibadat sunnat, pembacaan wirid, sedangkan tasawuf falsafi lebih menekankan kontemplasi. Puncak maqamat tasawuf suluki adalah rida, ma’rifat dan cinta, sedangkan puncak tasawuf falsafi adalah wahdat al-wujud, bersatu dengan tuhan) Ia bisa diamalkan oleh setiap Muslimin, dari lapisan sosial manapun dan di tempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah, yaitu ka’bah, dan secara ruhaniah mereka berlomba-lomba menempuh jalan (tarekat) melewati ahwal dan maqam menuju Tuhan yang satu, Allah swt.
               Tasawuf adalah kebudayaan Islam, oleh karena itu budaya setempat juga mewarnai corak tasawuf sehingga dikenal banyak aliran dan tarekat. Telah disebut di muka bahwa bertasawuf artinya mematikan nafsu dirinya untuk menjadi diri yang sebenarnya. Jadi dalam kajian tasawuf, nafs dipahami sebagai nafsu, yakni tempat pada diri seseoarang dimana sifat-sifat tercela berkumpul. Nafs juga dibahas dalam kajian Psikologi dan juga Filsafat. Dalam upaya memelihara agar tidak keluar dari koridor Al-Qur’an maka baik tasawuf maupun Psikologi (Islam) perlu menggali konsep nafs dan manusia menurut Al-Qur’an dan Hadis.
Read more

Islam: Teologi Pembebasan Sebagai Metode Gerakan Sebuah Refleksi Pemikiran

Sinau Filsafat mencoba membuka tulisan dari diskusi beberapa bulan lalu, dengan tema "Islam: Teologi Pembebasan Sebagai Metode Gerakan Sebuah Refleksi Pemikiran".



Konsepsi tentang Islam dilandasi dengan basis ketauhidan yang dilabelkan sebagai agama samawi atau monoteisme. Ketauhidan merupakan cara pandang untuk melihat seluruh dunia sebagai sistem yang utuh, menyeluruh dan harmonis, yang melampui batas-batas dikotomi, lalu diorientasikan dalam tujuan ilahi yang sama. Murtadha Mutahhari pun menyebutnya sebagai pandangan dunia tauhid. Maka, Islam sebagai agama tauhid perlu kiranya untuk bisa menjawab persoalan-persoalan duniawi (politik, sosial dan ekonomi) sekaligus ketuhanan. Tidak lagi diartikan pada tataran formalitas ritual belaka.
Hassan Hanafi, salah satu tokoh kontemporer yang dikenal dengan Kiri Islamnya, menganjurkan agar Islam menjadi agama yang transformatif dan memiliki manfaat praksis bagi peradaban manusia. Menurutnya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan diri yang membuat kaum muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis gerakan ideologis populistik yang mampu membebaskan manusia dari belenggu-belenggu penindasan.
Pembebasan kaum tertindas merupakan wujud perjuangan kemanusiaan yang tertinggi dalam Islam. Ia menjadi ukuran nilai kehidupan manusia atau setidaknya usaha menjalani hidup didunia untuk semakin menjadi manusia.
Berbicara tentang Teologi Pembebasan, adalah sebuah paham tentang perananagamadalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain paham ini adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya dan sebagai respon terhadap situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.
Teologi pembebasan dalam Islam merupakan istilah yang baru muncul diakhir abad 20 M. Namun keberadaannya secara esensial, telah ada sejak lahirnya Islam. Sebab, kelahiran Islam untuk membebaskan umat manusia dari belenggu penindasan (membela kelompok yang tertindas). Mengangkat derajat kaum hawa, memperjuangkan kelas bagi kaum budak untuk merdeka, merombak sistem tradisi yang jahil (mengubur hidup-hidup bayi perempuan, dll).
Istilah teologi pembebasan lahir setelah muncul wacana Marxis sebagai bentuk perjuangan kelas kaum proletar dari sistem yang dibangun oleh kaum borjuis, namun perjuangan kelas disini antara wacana Marxis dengan teologi pembebasan tidaklah sama, karena bagaimanapun juga teologi pembebasan berpegang pada tauhid, sementara Marxisme tak mengenal tauhid.
Paham ini lahir (teologi pembebasan) untuk merombak paradigma berfikir mayoritas masyarakat muslim yang selalu menempatkan tuntutan syara’i dalam teks nashyang hanya dijadikan sebagai rutinitas agama (sebatas aturan fiqih), bukan menjadi suatu sistem keyakinan (tauhid/aqidah) yang dapat menginspirasi umat islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tataran amr ma’ruf nahi mun’kar misalnya, selama ini landasan tersebut hanya diimplemtasikan dalam tatanan fiqih (sholat, puasa, shadaqah, dan lain sebagainya), sementara esesial dari tatanan fiqih tersebut tidak terimplementasikan dalam ranah sosial.
Padahal menurut Asghar Ali Engineer, salah satu tokoh yang memaparkan Islam sebagai teologi pembebasan mengatakan bahwa, teologi pembebasan lahir untuk mengambil peran dalam membela kelompok tertindas, baik ketertindasan dalam hal religius atau politik dan penindasan ini dapat terlihat dalam tatanan sosial (strafikasi kelas) dan ekonomi.
Mengacu pada persoalan diatas, maka selayaknya Islam harus mentransformasikan dirinya untuk perubahan sosial. Islam tidak hanya menekan pada formalitas ibadah ritual belaka, tanpa menghiraukan tatanan sosial seperti keadilan dan kemanusiaanan. Islam juga sebagai ideologi yang revolusioner sebagai wujud pembelaan diri dari berbagai penindasan.

Sudah menjadi keharusan Islam menjadi sebuah sistem keyakinan (tauhid) yang menjiwai setiap muslim untuk melawan berbagai penindasan dan membebaskan manusia dari keterasingan dengan menjadikan teologi pembebasan sebagai metode gerakannya.
Read more