Sinau Filsafat - Keseluruhan
filsafat Iqbal pada hakikatnya adalah suatu pencarian yang dapat dikatakan:
Pencarian manusia. Kemanusiaan adalah tujuan menuju terciptanya suatu ras ideal
individu, akan tetapi datangnya Manusia Unggul tidak akan mungkin hingga
melampaui proses yang mencakup tiga tahap yang dapat dibedakan;
1. Ketaatan
pada hukum
2. Penguasaan
diri sendiri yang merupakan bentuk kesadaran diri tentang pribadi
3. Kekhalifaan
Ilahi (Widyastini, 2008:136).
Iqbal juga dikenal sebagai filosof praktis:
filsafatnya tidak menyodorkan suatu cita niskala yang tidak dapat dipikirkan
perwujudannya (Widyastini, 2008:136).
Pemikiran
filsafat Iqbal dikenal istiah Naib atau
Manusia Unggul. Naib merupakan tingkatan ego yang paling sempurna, puncak
kehidupan mental atau fisik, dalam dirinya ketidakselarasan kehidupan mental
kita menjadi keharmonisan. Kemampuan tertinggi bersatu dalam dirinya menjadi
pengetahuan tertinggi. Ada penyatuan antara pikiran dan perbuatan, naluri dan
akal menjadi satu. Ia adalah penguasa umat manusia. Kerajaannya adalah kerajaan
Tuhan dimuka bumi (Widyastini, 2008:136).
Sejalan
dengan Manusia Unggul ada pula konsep Manusia Pelaku. Dipahami bahwa manusia
bebas melakukan sesuatu terkait dengan lingkungan sosialnya. Menurut Iqbal,
perubahan evolusioner yang lahir dari prinsip-prinsip Islam diperbarui dalam
waktu yang panjang tentulah maenghasilkan perubahan revolusioner. Jalan itu
menurut Iqbal mesti melahirkan situasi ideal yang menolak kapitalisme dan juga
sosialisme tanpa agama (Maitre, 1985:36-37).
Sang
Manusia Pelaku mempunyai peran dalam merubah lingkungan sosial maka mempunyai
cita-cita utopia tentang keadilan sosial. Hal ini dibahas Muhammad Iqbal.
Utopia sosial adalah suatu usaha mengabungkan kerja keras naluriah masyarkaat
menurut dogma-dogma Islam yang diperbaharui(Widyastini, 2008:136). Cita-cita
keadilan sosial Iqbal akan membawa kepada konsep negara Islam yang memuat
cita-cita sosialisme.
Dalam
pandangan Iqbal semangat filsafat adalah semangat penelahaan secara bebas.
Segala macam ketentuan diragukannya. Tugasnya ialah mengikuti rekaan-rekaan
pikiran manusia yang tidak kritits sampai ketempat-tempat yang masih
tersembunyi, dan dalam pengusutan itu bisa juga akhirnya ia berkesudahan dengan
menolak atau menerima secara hati terbuka kelemahan akal semata untuk sampai
kepada kebenaran tertinggi. Inti sari agama ialah iman. Ia adalah sesuatu,
semacam isi pengertian (cognitive content)
(Iqbal, 2002: 4-5).
Muhammad Iqbal tidak mempertentangkan antara
akal dan intuisi. Menurutnya dalam menilai agama, filsafat mesti mengakui
posisi agama yang asasi, dan tak ada alternatif lain dalam proses pemikiran
yang sintesis, kecuali harus menerimanya sebagai sumber kekuatan. Keduanya
tumbuh dari akar yang sama dan masing-masing saling melengkapi. Yang satu
menangkap secara keseluruhan. Yang satu memusatkan perhatiannya pada aspek
kekekalan, sementara yang lain kefanaan. Yang satu mendasarkan keseluruhan
kebenaran itu dengan perlahan-lahan memasuki dan mendekati pelbagai macam bagian
dari keseluruhan itu dengan maksud melakukan peninjauan semata. Keduanya saling
membutuhkan untuk mengadakan peremajaan bersama. Keduanya mencari
pandangan-pandangan kebenaran yang sama pula, dimana ia menjelma sesuai dengan
tugasnya dalam hidup (Iqbal, 2002: 4-5).
Muhammad
Iqbal menyinggung pula tentang filsafat keindahan. Filsafat ini erat kaitannya
dengan Ego Tertinggi atau ego mutlak Tuhan. Kehidupan manusia dalam keegoannnya
adalah perjuangan terus menerus menaklukkan rintangan dan halangan demi
tergapainya ego tertinggi. Karena rintangan yang terbesar adalah benda atau
manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertenu dalam dirinya, misalnya
daya indera, daya nalar dan lainnya yang membantunya nmenyesuaikan
penghalang-penghalangnya. Selain itu, manusia juga harus terus menerus
menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (‘isyg), keberanian dan kreativitas yang merupakan esensi dari
keteguhan pribadi. Keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak
hasrat dan cinta ego dalam mencapai ego mutlak tersebut (Iqbal, 2002: 4-5).
Dengan
demikian, keindahan tidak lain adalah hasil ciptaan ego. Keindahan adalah hasil
ekspresinya, karena tenaga-hidup ego sendirilah yang mengekspresikan diri dalam
perwujudan keindahan. Menurut Syarif, teori estetika Iqbal masuk dalam kategori
kedua, objektif, karena bagi Iqbal, keindahan adalah kualitas benda (objek)
yang diciptakan oleh ekspresi ‘ego-ego’ mereka sendiri. Untuk memperoleh keindahan,
ego tidak berhutang pada jiwa penaggap, subjek, melainkan pada
tenaga-kehidupannya sendiri (Soleh, 2004: 303).
Adakah menyakitkan seorang merdeka
Hidup dalam dunia ciptaan orang
lain
Ia yang kehilangan daya cipta
Bagi-Ku tidak punya arti apa-apa
Selain pembangkang dan penyebal
Tak diperkenalkan ambil bagian
dalam keindahan-Ku
Ia tak memetik sebijipun buah kurma
kehidupan
Pahatlah
lagi bingkaimu yang lama
Bangunlah
wujud yang baru
Wujud
seperti itu adalah wujud sebenarnya
Atau
jika tidak demikian
Egomu
hanyalah gumpalan asap belaka
Dalam
pemikiran filsafat, gagasan Iqbal tersebut disebut sebagai estetika vitalisme, yakni bahwa keindahan merupakan ekspresi
ego-ego dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang
berdenyut di balik kehidupan sehingga harus juga memberikan kehidupan baru atau
memberikan semangat hidup bagi lingkungannya (Soleh, 2004: 304).
Muhammad
Iqbal membahas pula tentang seni. Ada dua aliran seni yang selama ini
berkembang. Pertama, gerakan anti-fungsionalisme,
yakni gerakan yang menyatakan bahwa seni tidak mempunyai tujuan dan tidak
mengejar tujuan diluar dirinya, karena ia adalah tujuan itu sendiri. Kedua, gerakan yang membedakan antara
kandungan dan bentuk seni. Menurutnya, kandungan seni tidak mempunyai nilai
estetik, tetapi hanya sekedar alat untuk menimbulkan efek artistik.
Iqbal menolak
kedua model gerakan tersebut. Baginya, tanpa kandungan emosi, kemauan dan
gagasan-gagasan tidak lebih dari api yang telah padam. Sesuai dengan konsep-konsep
tentang kepribadian, kemauan adalah sumber utama dalam pandangan seni Iqbal,
sehingga seluruh isi seni-sensasi, perasaan, sentimen, ide-ide dan ideal-ideal-
harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni tidak sekedar gagasan
intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang dibumbui emosi
dan mampu menggetarkan manusia (penanggap). Jadi menurut pandangan Iqbal seni
adalah ekspresi-diri sang seniman (Soleh, 2004: 306).
0 comments