Sunday, September 24, 2017

Bukti Eksistensi Nafs (Jiwa)

Sinau Filsafat - Problematika ini begitu ramai dalam pemikiran filsafat secara umum, hingga kita melihat sebagian filosof dan ahli kalam menolak existensi jiwa secara total. Sebagian lain berkata: “Saya tidak tahu kecuali apa yang kulihat dengan indra,” dan mereka adalah orang-orang beraliran materialisme yang menolak segala wujud selain jisim. Sebagian lainnya lagi berkata: “Sesungguhnya jiwa berupa bentuk seperti  bentuk-bentuk yang lain,” dan mereka semua menyerupai aliran yang meragukan dan menolak terhadap existensi jiwa. Ibn Sina menyebutkan dalam bukuRisalah Ma’rifah an-Nafs an-Nathiqoh wa Ahwaliha. Aliran materialis ini yang hanya mempercayai jisim, mereka berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan jiwa adalah sesuatu yang dimaksud oleh setiap orang dengan perkataan “aku”.  Ahlul ilmiitu berbeda pendapat mengenai yang dimaksud dari kata ini (”aku”), yaitu badan yang bisa dilihat dan diraba ini, atau yang lain. Kebanyakan orang dan kebanyakan dari ahli kalam mengira bahwa manusia adalah badan ini. Setiap orang yang mengisyaratkan dengan perkataannya: “aku”, ini merupakan persangkaan yang salah.

eksistensi jiwaMaka Ibn Sina menyalahkan perkataan orang yang menolak atau mengingkari existensi jiwa. Beliau berpendapat dalam bukunya al-Isyarat: “Bahawasanya pemahaman manusia sendiri itu tidak memerlukan perantara atau bukti. Pemahaman manusia itu selamanya bukan dengan cara filling dari indra-indra kita atau penalaran-penalaran logis kita, akan tetapi pemahaman manusia itu berupa kesadaran secara langsung melalui intuisi. Kita juga mendapati Ibn Sina menegaskan dalam risalah tentang kekuatan-kekuatan jiwa (al-qawa an-nafsaniah), bahwasanya, “Barang siapa menandai sesuatu sebelum terbukti kematangannya, maka menurut orang-orang bijak ia digololongkan sebagai orang-orang yang menyimpang dari argumentasi yang jelas. Jadi, wajib bagi kita untuk menjadi orang yang bersih dalam menetapkan existensi kekuatan jiwa sebelum memulai memetakan dan menjelaskan bagian-bagian dari kekuatan jiwa tersebut.
Dengan demikian, Ibn Sina merupakan salah satu dari para filosof yang berpendapat bahwasanya existensi jiwa itu sangat jelas dimana tidak membutuhkan sebuah penetapan atau dalil. Akan tetapi yang membuat Ibn Sina menampilkan argumen-argumen yang menunjukkan terhadap existensi jiwa adalah, bahwasanya metode Ibn Sina menuntut agar seorang peneliti mengawali dengan menetapkan existensi jiwa sebelum berbicara tentang potensi serta karakternya, dan juga untuk menolak anggapan orang yang mengingkari existensi jiwa.
Ibn Hazm sebagai orang yang terakhir,  berkomitmen dengan metode yang sama, maka beliau pada awalnya menampilkan pendapat orang yang mengingkari existensi jiwa, dalam bukunya al-Fasl, semisal Abu Bakar bin Kisan al-Ashom atau orang yang menganggap bahwasanya jiwa merupakan bentuk (ard). Seperti al-’Alaf atau pendapat al-Baqilani bahwasanya jiwa adalah nafas, yang berarti hembusan nafas yang keluar masuk melalui pernapasan. Ibn Hazm menjelaskan pendapat-pendapat mereka yang salah, dan menerangkan bahwasanya perkataan al-’Ashom itu kontra dengan dalil ‘aql dan naql.
Adapun naql itu dari firman Allah swt: Qs. Al-An’am :93. Maka benar, bahwa jiwa itu ada, dan jiwa bukanlah jasad. Jiwa keluar dari badan tatkala mati.
Ibn Hazm meyakinkan akan existensi jiwa melalui nash syariat, kemudian beliau menambahkan dengan argumentasi logis (dalil ‘aqli). Beliau berkata: “Adapun dalil‘aqli, sesungguhnya kami melihat apabila seseorang ingin membersihkan akal dan membenarkan pendapatnya, atau memecahkan masalah yang rumit yang dibalik pikirannya dan mengkhususkan dirinya, serta memisahkan dirinya dari indra-indra jasadnya, dan secara total tidak menggunakan badannya dan terlepas dari badannya hingga ia tidak melihat orang yang mendatanginya, dan tidak mendengar apa yang dikatakan didepannya, maka ketika itu pendapat dan pikirannya itu menjadi lebih bersih yang sebelumnya kotor. Adapun pikiran dan ingatan itu bukanlah untuk jasad yang menjauhinya tatkala menghendaki pikiran dan ingatan.
Kemudian Ibn Hazm memberikan argumentasi lain, bahwasanya yang dilihat oleh orang tatkala sedang tidur, itu benar-benar diluar kehendaknya. Itu hanya ketika jiwa meninggalkan jasad, dan tinggalah jasad seperti tubuh orang mati dan kebekuannya. Ketika itu, ia melihat dalam mimpi-mimpinya, mendengar, berbicara dan mengingat, dan menjadi tidak berfungsi aktifitas penglihatannya, aktifitas pendengaran jasmaninya, aktifitas penciuman badannya, dan aktifitas pengucapan fisiknya, maka pasti bahwasanya yang menggerakkan, yang melihat, yang mendengar, yang berbicara, yang merasa, itu adalah sesuatu selain jasad, maka tepatlah kalau ia dinamakan jiwa.
Kita juga menjumpai al-Ghazali mengambil dari dalil naqli sebagai hujjah untuk menunjukkan existensi jiwa. Beliau berkata, bahwasanya syariat itu selalu mengajak jiwa-jiwa dan memberitahukannya tentang siksa terhadap jiwa yang bersalah dan ganjaran bagi yang taat. Jelas sekali, bahwasanya badan itu bukanlah yang dimaksud dengan hukuman ini, namun ganjaran itu hanya ditujukan kepada jiwa. Ini saya tambahkan, bahwasanya ada bermacam-macam siksa yang khusus bagi jiwa, bukan yang lain. Oleh karena itu, apabila syariat itu berbicara tentang jiwa dan mengingatkannya dari kehinaan atau keburukan, dan menakut-nakutinya dengan siksa, itu merupakan sebuah bukti bahwasanya jiwa adalah jauhar yang ada tentunya. Al-Ghazali menyebutkan, yaitu dalam hal argumen ini: “Maka semua ajaran-ajaran syariat itu menunjukkan bahwasanya jiwa adalah jauhar, dan sesungguhnya rasa sakit itu meskipun berada dalam badan, maka itu hanya untuk jiwa, kemudian jiwa itu mempunyai azab lain yang khusus atau hal itu seperti kehinaan, kesedihan, dan sakitnya perpisahan.
Dalil naqli ini sesuai dengan al-Ghazali, Ibn hazm, dan Ibn Qayim, yang berkata: “Sesungguhnya, dalil yang datang dari Al-Quran al-Karim, sunah, perkataan sahabat, dan mayoritas orang-orang berakal menunjukkan bahwasanya jiwa adalah dzat dengan totalitasnya, firman Allah ta’ala: Qs. An-Nur: 61, dan firman Allah ta’ala: Qs. An-Nahl: 111. Maka Ibn Qayim meyakinkan sebagai yang terakhir tentang wujud jiwa, dan sesungguhnya jiwa adalah zat manusia seperti yang dikabarkan oleh nash. Ibn Hazm tidak mengeritik tentang existensi jiwa, namun beliau menerima existensi jiwa sebagaimana yang dikabarkan oleh nash.
Sebagaimana yang engkau lihat, Ibn Mulka Abu al-Barakat al-Baghdadi berkata dalam hal ini: “Sesungguhnya manusia meskipun tidak perlu dalam menetapkan existensi jiwanya sendiri, namun dengan kemampuannya itu akan terealisir dari wujud ini apabila ia mengira-ngira atau menghayal bahwa indra dan akalnya itu disfungsi secara total. Maka sesungguhnya ia tidak akan meragukan bahwa wujudnya benar-benar ada melalui proses ini. Tidak ada satupun dari manusia merasa membutuhkan dalil dalam menetapkan wujud jiwanya. Siapa orang yang meragukan bahwa ia ada hingga merasa jelas dengan sebuah hujjah, maka ia merasa yakin dengan hal tersebut. Tidak ada bagi siapapun dari manusia yang lebih jelas dari pada itu, yang saya maksud adalah yang lebih jelas dari existensi zatnya. Manusia juga tidak perlu menjelaskan bagi dirinya sendiri, bahwa orang lain itu mempunyai jiwa atau zat atau jati diri.
Pengetahuan ini menurut Ibn al-Mulka dinamakan sebagai pengetahuan tanpa pembeda. Namun Ibn Mulka member komentar, bahwasanya hal paling penting yang membedakan pengetahuan ini adalah bahwasanya pengetahuan ini tersebut merambah pada semua pengetahuan-pengetahuannya.
Para filosof dan ahli kalam (mutakalim) itu mereka mulai menerima akan existensi jiwa, dan mereka tidak mengadu dalam existensi ini seperti yang dilakukan oleh yang lain. Maka dari itu, jiwa bagi mereka adalah yang exis, realistis, dan yang dapat diterima. Ini sejalan dengan aliran madzhab mereka secara umum. Mereka tidak meragukan pada awalnya, pada existensi jiwa seperti yang dilakukan oleh Dekart dan lainnya, akan tetapi mereka memulai dengan pemikiran dan keyakinan, yang itu merupakan aktifitas jiwa. Dalam hal ini Ibn Hazm berkata: “Lama kuberfikir dalam jiwa setelah keyakinanku, bahwasanya jiwa adalah pemilik pikiran ini.”
Dekart berkata: “Sekarang akan kubutakan mataku, kutulikan pendengaranku, dan akan aku non aktifkan semua indraku, bahkan kuhapus semua gambaran-gambaran jasmani dari khayalanku. Namun aku tidak bisa melepaskan diri dari pikiranku atau terlepas dari memikirkan diriku.”
Ibn Hazm memulai dengan pikiran dan keyakinan yang itu merupakan karakter perbuatan jiwa, maka nyatalah existensi jiwa secara yakin… Dalam konteks ini, lebih dahulu menjadi seorang filosof yang besar pada era modren ini. Ibn Hazm berkata: “Apabila ia ingin membersihkan akalnya atau membenarkan pendapatnya atau memecahkan masalah yang sukar yang terlintas dalam pikirannya, dan membebaskan dirinya dari indra-indra jasadnya serta tidak memfungsikan jasadnya secara total, dan ia terbebas dari jasadnya hingga ia tidak melihat orang yang mendatanginya dan tidak mendengar apa yang dikatakan dihadapannya, maka sebagaimana yang dijelaskan bahwasanya pikiran dan pendapat bukanlah perbuatan tubuh yang tidak ada jiwanya ketika menghendaki kedua perbuatan tersebut, yaitu pikiran dan dzikir. Akan tetapi ia adalah perbuatan jiwa yang ada, dimana indra dan tubuh tidak memiliki pengaruh pada sesuatu yang kita sebutkan.”
Pendapat ini, pun dikatakan oleh Ibn Mulkan setelah ini: “Sesungguhnya engkau apabila menjauhi seorang manusia yang sedang menyendiri dengan jiwa(diri)nya dari semua yang dilihat, didengar, dan yang dipikirkan dari pikiran-pikiran, maka  perasaannya sendiri dengan jiwanya itu sudah ada dan yang mengelilinginya serta tidak pernah pergi darinya… Maka perasaan manusia dengan dirinya itu lebih dulu ada daripada perasaanya terhadap orang lain, dan pengetahuannya yang sempurna tentang jiwanya itu datang lebih akhir daripada pengetahuannya terhadap banyak hal. Maka Ibn Mulkan berpandangan, bahwa wujud manusia itu tidak memerlukan dalil aqli, karena wujudnya itu berupa perasaan yang jelas dan pasti serta tidak memerlukan argumentasi.”
Kita juga menemukan Ibn al-’Airi, dalam hal ini ia berkata: “Ada beberapa hal yang bisa diterima tentang hakekat wujud jiwa, dan wujud jiwa adalah sesuatu yang fitrah, yang tidak membutuhkan dalil. Akan tetapi dalil wujud jiwa tersebut jelas dari namaan-nafs. Sesungguhnya nama itu menunjukkan kepada yang dinamai, sebagaimana yang dikatakan Aristoteles: “Apabila seorang manusia itu berakal, mengetahui, berfikir, memahami, dan manusia melakukan yang tidak bisa dilakukan oleh hewan, dimana ia (manusia) apabila ditinggalkann oleh jiwa, maka semua perbuatan  tersebut tidak akan ada. Dari situ terlihat bahwasanya perbuatan-perbuatan itu disebabkan oleh jiwanya tadi.”
Artinya, sesungguhnya Ibn al-’Airi juga berpendapat, bahwasanya existensi jiwa itu jelas, pasti, dan fitrah, tidak membutuhkan kepada dalil. Ibn Bajah yang terakhir mengikuti pendapat ini, dan beliau berkata: “Sesungguhnya jiwa tergolong dari hal-hal yang dzohir, yang ada, dan mencari klarifikasi wujud jiwa itu seperti wujud karakter, dan orang yang melakukan hal itu tidak akan tahu perbedaan antara yang dikenal dengan jiwanya (ma’lum binafsihi) dan yang dikenal oleh selain jiwanya (ma’lum bighoirihi). Hanya saja, kami mendapatinya menyuguhkan argumentasi terhadap wujud jiwa sebagai jauhar, yang berbeda dengan jauharnya badan dengan argumentasi-argumentasi yang ia tentukan, yang disebutkan oleh Ibn Sina, walaupun Ibn Bajah tidak menyebutkannya secara transparan. Ibn Sina menyuguhkan banyak argumentasi2 untuk menetapkan wujud jiw, dan argumentasi tersebut itu menjelaskan perbedaan jiwa dengan badan. Prof. Ibrahim Madzkur berkata: “Sesungguhnya usaha(eksperimen) Ibn Sina itu bukanlah yang pertama dalam sejarah filsafat, hanya saja eksperimen Ibn Sina tersebut mempunyai kelebihan dari sebelumnya dengan lebih mencakup, detail, dan lebih mendalam.” Dalam hal itu Ibn  al-Airi berkata: “Kita telah melihat percobaan-percobaan (usaha-usaha) dalam menetapkan wujud jiwa, baik yang klasik maupun yang moderat, dan tidak kita sangka di antara usaha-usaha itu ada satu eksperimen yang mirip dengan argumentasi Ibn Sina dalam memahami jiwa dan macam-macamnya.”
Ibn Sina telah menyebutkan banyak argumen dalam menetapkan wujud jiwa, yaitu:
1.      Argumentasi natural psikologi
2.      Integrasi keakuan(ego) dan integrasi fenomena kejiwaan
3.      Argumentasi kontinuitas dan argumentasi seorang laki-laki yang terbang dan tergantung di langit
Ibn Bajah mengambil argumen-argumen ini sebagai pendapatnya untuk menetapkan wujud jiwa manusia, dan meskipun ia tidak menyebutkan bahwasanya yang tersebut adalah argumen Ibn Sina. Ibn Bajah berbicara tentang argumentasi alami(thobi’i), dan begitu juga argumentasi psikologi yang berbicara tentang keadaan-keadaan jiwa dan emosional-emosiaonalnya. Ibn bajah juga menyebutkan argumentasi kontinuitas yang menegaskan bahwasanya tubuh(jisim) adalah  yang berganti-ganti, berubah-ubah, dan mengalami kerusakan dan musnah. Adapun jiwa itu kekal dan tidak mengalami kerusakan. Begitu juga argumentasi tentang seorang laki-laki yang terbang itu ditampilkan oleh Ibn Bajah dalam gaya baru.
Beginilah kita bisa melihat bahwasanya menetapkan wujud jiwa itu termasuk permasalahan yang sangat penting yang di stimulasi(atsaar) oleh pemikiran filsafat. Meskipun banyak dari para filosof Islam menerima akan eksistensi jiwa secara wujud intuisi yang pasti dan jelas tanpa memerlukan argumen-argumen logis, hanya saja kita melihat sebagian orang menyebutkan dalil-dalil naqli dan aqli untuk menetapkan eksistensi jiwa terhadap orang yang dihinggapi keraguan dalam eksistensi jiwa.
Dalam hal ini Ibn Bajah berkata: “Sesungguhnya kita melihat, orang yang rusak jasadnya dan kontruksinya, dan meskipun demikian ia mempunyai pikiran, logika yang kuat, tamyiz(kemampuan berfikir), berakal, dan bijaksana. Maka, ini merupakan bukti bahwasanya yang memahami sesuatu adalah yang bersifat efektif, bisa membedakan, dan hidup. Ia sesuatu selain tubuh, dan sesuatu itu adalah jiwa yang terus eksis.
Ibn Hazm di sini menjadikan pemahaman akal dan proses logika sebagai dalil terhadap eksistensi jiwa sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Sina sebelumnya, dan meskipun Ibn Sina telah memfokuskan dalam membedakan antara perbuatan-perbuatan manusia dan yang lainnya seperti macam-macam hewan. Sesungguhnya manusia adalah yang memahami makna-makna global yang bersih dari semua karakter indrawi.
Imam Ghazali juga mengambil argumentasi ini untuk menetapkan eksistensi jiwa.Sebagaimana beliau mengambil argumentasi kontinuitas, yaitu kontinuitas eksistensi jiwa meskipun keadaan-keadaan badan berubah-ubah. Al-Ghazali dalam hal ini berkata: “Sesungguhnya engkau mengetahui, bahwasanya jiwamu semenjak engkau dulu belum berubah-ubah, dan sudah diketahui bahwasanya badan dan semua sifat-sifatnya itu berubah-ubah. Karena apabila sifat-sifat badan itu tidak berubah-ubah, niscaya ia tidak akan mengonsumsi makanan, karena mengonsumsi makanan itu agar bisa menggantikan apa yang berubah dari badan. Jadi, jiwamu tidak ada kaitannya dengan badan dan sifat-sifatnya.” Argumen yang sama ini, itu telah dikatakan oleh Ibn Sina sebelum al-Ghazali.
Begitu juga Ibn Hazm menggunakan pendapat ini untuk berargumen terhadap eksistensi jiwa, dan beliau berkata: “Kita juga melihat, bahwasanya anggota badan itu akan hilang satu persatu dengan terpotong dan rusak, dan potensi-potensi itu akan tetap kekal, serta pikiran, tindakan(tadbiyr), dan logika itu lebih menjadi terisi. Maka sudah pasti benar, bahwasanya yang mempunyai efektifitas, yang mengetahui, yang mengingat, yang memenej, yang berkehendak adalah jiwa. Jiwa bukanlah jasad, karena jasad adalah benda mati. Ibn Hazm berpendapat, bahwa jasad bisa berubah-ubah dan rusak. Akan tetapi jiwa itu tetap kontinu, tidak berganti-ganti dengan perubahan-perubahan tubuh. Akan tetapi jiwa itu melakukan perbuatan-perbuatannya, dan tugas-tugasnya, jauh dari jasad, maka benar bahwasanya jiwa itu eksis karena eksistensi perbuatan-perbuatan yang menunjukkan kewujudannya ini.
Argumen ini, itu menetapkan eksistensi jiwa dan memberikan bukti bahwasanya karakter jiwa itu berbeda dengan karakter badan.
Ibn Hazm menambahkan sebuah argumen lain dari argumen-argumen yang tadi. Ia menunjukkan atas eksistensi jiwa, yaitu etika jiwa (akhlak nafs), dan itu mirip dengan sesuatu yang diistilahkan oleh Ibn Sina sebelumnya dengan nama argumentasi al-af’al al-wahdaniah (perbuatan-perbuatan yang bersifat tunggal). Ibn Hazm berkata: “Di antara al-af’al al-wahdaniah(perbuatan-perbuatan yang bersifat tunggal) adalah etika jiwa, kebijaksanaan, kesabaran, kedengkian, logika, kecerobohan, ketakutan, berwawasan, juga kebodohan, dan semua ini tidak ada kaitannya dengan anggota badan. Apabila tidak ada keraguan dalam hal tersebut, maka semua hal itu hanyalah untuk jiwa yang mengatur jasad.”
Maka Ibn Hazm menetapkan eksistensi jiwa dengan eksistensi akhlak yang menunjukkannya. Beliau pun berkata: “Sesungguhnya akhlak itu dibawa dalam jiwa.” Sesuatu yang dibawa itu tidak akan pernah ada kecuali yang membawanya, maka jiwa harus eksis karena adanya akhlak ini.
Dari sini tampak secara jelas keterkaitan akhlak dengan jiwa menurut Ibn Hazm, dan itu seperti yang kita perhatikan, serta yang ditegaskan dalam tulisan dan karangan-karangan Ibn Hazm, dan sesuatu yang akan kita coba mengungkapnya dalam buku ini melalui izin Allah dalam koridor filsafat humanisme. Maka dari itu, penting bagi kita sekarang untuk menampilkan karakter jiwa seta menjelaskan ciri-cirinya yang penting dan keistimewan-keistimewaannya.
Load disqus comments

0 comments