Sinau Filsafat - Problematika ini begitu ramai dalam pemikiran filsafat secara umum, hingga kita melihat sebagian filosof dan ahli kalam menolak existensi jiwa secara total. Sebagian lain berkata: “Saya tidak tahu kecuali apa yang kulihat dengan indra,” dan mereka adalah orang-orang beraliran materialisme yang menolak segala wujud selain jisim. Sebagian lainnya lagi berkata: “Sesungguhnya jiwa berupa bentuk seperti bentuk-bentuk yang lain,” dan mereka semua menyerupai aliran yang meragukan dan menolak terhadap existensi jiwa. Ibn Sina menyebutkan dalam bukuRisalah Ma’rifah an-Nafs an-Nathiqoh wa Ahwaliha. Aliran materialis ini yang hanya mempercayai jisim, mereka berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan jiwa adalah sesuatu yang dimaksud oleh setiap orang dengan perkataan “aku”. Ahlul ilmiitu berbeda pendapat mengenai yang dimaksud dari kata ini (”aku”), yaitu badan yang bisa dilihat dan diraba ini, atau yang lain. Kebanyakan orang dan kebanyakan dari ahli kalam mengira bahwa manusia adalah badan ini. Setiap orang yang mengisyaratkan dengan perkataannya: “aku”, ini merupakan persangkaan yang salah.
Maka Ibn Sina menyalahkan perkataan orang yang menolak atau
mengingkari existensi jiwa. Beliau berpendapat dalam bukunya al-Isyarat:
“Bahawasanya pemahaman manusia sendiri itu tidak memerlukan perantara atau
bukti. Pemahaman manusia itu selamanya bukan dengan cara filling dari
indra-indra kita atau penalaran-penalaran logis kita, akan tetapi pemahaman
manusia itu berupa kesadaran secara langsung melalui intuisi. Kita juga
mendapati Ibn Sina menegaskan dalam risalah tentang kekuatan-kekuatan jiwa (al-qawa
an-nafsaniah), bahwasanya, “Barang siapa menandai sesuatu sebelum terbukti
kematangannya, maka menurut orang-orang bijak ia digololongkan sebagai
orang-orang yang menyimpang dari argumentasi yang jelas. Jadi, wajib bagi kita
untuk menjadi orang yang bersih dalam menetapkan existensi kekuatan jiwa
sebelum memulai memetakan dan menjelaskan bagian-bagian dari kekuatan jiwa
tersebut.
Dengan demikian, Ibn Sina merupakan salah satu dari para filosof
yang berpendapat bahwasanya existensi jiwa itu sangat jelas dimana tidak membutuhkan
sebuah penetapan atau dalil. Akan tetapi yang membuat Ibn Sina menampilkan
argumen-argumen yang menunjukkan terhadap existensi jiwa adalah, bahwasanya
metode Ibn Sina menuntut agar seorang peneliti mengawali dengan menetapkan
existensi jiwa sebelum berbicara tentang potensi serta karakternya, dan juga
untuk menolak anggapan orang yang mengingkari existensi jiwa.
Ibn Hazm sebagai orang yang terakhir, berkomitmen dengan
metode yang sama, maka beliau pada awalnya menampilkan pendapat orang yang
mengingkari existensi jiwa, dalam bukunya al-Fasl, semisal Abu
Bakar bin Kisan al-Ashom atau orang yang menganggap bahwasanya jiwa merupakan
bentuk (ard). Seperti al-’Alaf atau pendapat al-Baqilani bahwasanya jiwa
adalah nafas, yang berarti hembusan nafas yang keluar masuk melalui pernapasan.
Ibn Hazm menjelaskan pendapat-pendapat mereka yang salah, dan menerangkan
bahwasanya perkataan al-’Ashom itu kontra dengan dalil ‘aql dan naql.
Adapun naql itu dari firman Allah swt: Qs.
Al-An’am :93. Maka benar, bahwa jiwa itu ada, dan jiwa bukanlah jasad. Jiwa
keluar dari badan tatkala mati.
Ibn Hazm meyakinkan akan existensi jiwa melalui nash syariat,
kemudian beliau menambahkan dengan argumentasi logis (dalil ‘aqli).
Beliau berkata: “Adapun dalil‘aqli, sesungguhnya kami melihat apabila
seseorang ingin membersihkan akal dan membenarkan pendapatnya, atau memecahkan
masalah yang rumit yang dibalik pikirannya dan mengkhususkan dirinya, serta
memisahkan dirinya dari indra-indra jasadnya, dan secara total tidak
menggunakan badannya dan terlepas dari badannya hingga ia tidak melihat orang
yang mendatanginya, dan tidak mendengar apa yang dikatakan didepannya, maka
ketika itu pendapat dan pikirannya itu menjadi lebih bersih yang sebelumnya
kotor. Adapun pikiran dan ingatan itu bukanlah untuk jasad yang menjauhinya
tatkala menghendaki pikiran dan ingatan.
Kemudian Ibn Hazm memberikan argumentasi lain, bahwasanya yang
dilihat oleh orang tatkala sedang tidur, itu benar-benar diluar kehendaknya.
Itu hanya ketika jiwa meninggalkan jasad, dan tinggalah jasad seperti tubuh
orang mati dan kebekuannya. Ketika itu, ia melihat dalam mimpi-mimpinya,
mendengar, berbicara dan mengingat, dan menjadi tidak berfungsi aktifitas
penglihatannya, aktifitas pendengaran jasmaninya, aktifitas penciuman badannya,
dan aktifitas pengucapan fisiknya, maka pasti bahwasanya yang menggerakkan,
yang melihat, yang mendengar, yang berbicara, yang merasa, itu adalah sesuatu
selain jasad, maka tepatlah kalau ia dinamakan jiwa.
Kita juga menjumpai al-Ghazali mengambil dari dalil naqli sebagai
hujjah untuk menunjukkan existensi jiwa. Beliau berkata, bahwasanya syariat itu
selalu mengajak jiwa-jiwa dan memberitahukannya tentang siksa terhadap jiwa
yang bersalah dan ganjaran bagi yang taat. Jelas sekali, bahwasanya badan itu bukanlah
yang dimaksud dengan hukuman ini, namun ganjaran itu hanya ditujukan kepada
jiwa. Ini saya tambahkan, bahwasanya ada bermacam-macam siksa yang khusus bagi
jiwa, bukan yang lain. Oleh karena itu, apabila syariat itu berbicara tentang
jiwa dan mengingatkannya dari kehinaan atau keburukan, dan menakut-nakutinya
dengan siksa, itu merupakan sebuah bukti bahwasanya jiwa adalah jauhar yang ada
tentunya. Al-Ghazali menyebutkan, yaitu dalam hal argumen ini: “Maka semua
ajaran-ajaran syariat itu menunjukkan bahwasanya jiwa adalah jauhar, dan
sesungguhnya rasa sakit itu meskipun berada dalam badan, maka itu hanya untuk
jiwa, kemudian jiwa itu mempunyai azab lain yang khusus atau hal itu seperti
kehinaan, kesedihan, dan sakitnya perpisahan.
Dalil naqli ini sesuai dengan al-Ghazali, Ibn
hazm, dan Ibn Qayim, yang berkata: “Sesungguhnya, dalil yang datang dari
Al-Quran al-Karim, sunah, perkataan sahabat, dan mayoritas orang-orang berakal
menunjukkan bahwasanya jiwa adalah dzat dengan totalitasnya, firman
Allah ta’ala: Qs. An-Nur: 61, dan firman Allah ta’ala:
Qs. An-Nahl: 111. Maka Ibn Qayim meyakinkan sebagai yang terakhir tentang wujud
jiwa, dan sesungguhnya jiwa adalah zat manusia seperti yang dikabarkan
oleh nash. Ibn Hazm tidak mengeritik tentang existensi jiwa, namun
beliau menerima existensi jiwa sebagaimana yang dikabarkan oleh nash.
Sebagaimana yang engkau lihat, Ibn Mulka Abu al-Barakat
al-Baghdadi berkata dalam hal ini: “Sesungguhnya manusia meskipun tidak perlu
dalam menetapkan existensi jiwanya sendiri, namun dengan kemampuannya itu akan
terealisir dari wujud ini apabila ia mengira-ngira atau menghayal bahwa indra
dan akalnya itu disfungsi secara total. Maka sesungguhnya ia tidak akan
meragukan bahwa wujudnya benar-benar ada melalui proses ini. Tidak ada satupun
dari manusia merasa membutuhkan dalil dalam menetapkan wujud jiwanya. Siapa
orang yang meragukan bahwa ia ada hingga merasa jelas dengan sebuah hujjah,
maka ia merasa yakin dengan hal tersebut. Tidak ada bagi siapapun dari manusia
yang lebih jelas dari pada itu, yang saya maksud adalah yang lebih jelas dari
existensi zatnya. Manusia juga tidak perlu menjelaskan bagi dirinya sendiri,
bahwa orang lain itu mempunyai jiwa atau zat atau jati diri.
Pengetahuan ini menurut Ibn al-Mulka dinamakan sebagai pengetahuan
tanpa pembeda. Namun Ibn Mulka member komentar, bahwasanya hal paling penting
yang membedakan pengetahuan ini adalah bahwasanya pengetahuan ini tersebut
merambah pada semua pengetahuan-pengetahuannya.
Para filosof dan ahli kalam (mutakalim) itu mereka mulai menerima
akan existensi jiwa, dan mereka tidak mengadu dalam existensi ini seperti yang
dilakukan oleh yang lain. Maka dari itu, jiwa bagi mereka adalah yang exis,
realistis, dan yang dapat diterima. Ini sejalan dengan aliran madzhab mereka secara
umum. Mereka tidak meragukan pada awalnya, pada existensi jiwa seperti yang
dilakukan oleh Dekart dan lainnya, akan tetapi mereka memulai dengan pemikiran
dan keyakinan, yang itu merupakan aktifitas jiwa. Dalam hal ini Ibn Hazm
berkata: “Lama kuberfikir dalam jiwa setelah keyakinanku, bahwasanya jiwa
adalah pemilik pikiran ini.”
Dekart berkata: “Sekarang akan kubutakan mataku, kutulikan
pendengaranku, dan akan aku non aktifkan semua indraku, bahkan kuhapus semua
gambaran-gambaran jasmani dari khayalanku. Namun aku tidak bisa melepaskan diri
dari pikiranku atau terlepas dari memikirkan diriku.”
Ibn Hazm memulai dengan pikiran dan keyakinan yang itu merupakan
karakter perbuatan jiwa, maka nyatalah existensi jiwa secara yakin… Dalam
konteks ini, lebih dahulu menjadi seorang filosof yang besar pada era modren
ini. Ibn Hazm berkata: “Apabila ia ingin membersihkan akalnya atau membenarkan
pendapatnya atau memecahkan masalah yang sukar yang terlintas dalam pikirannya,
dan membebaskan dirinya dari indra-indra jasadnya serta tidak memfungsikan
jasadnya secara total, dan ia terbebas dari jasadnya hingga ia tidak melihat
orang yang mendatanginya dan tidak mendengar apa yang dikatakan dihadapannya,
maka sebagaimana yang dijelaskan bahwasanya pikiran dan pendapat bukanlah
perbuatan tubuh yang tidak ada jiwanya ketika menghendaki kedua perbuatan
tersebut, yaitu pikiran dan dzikir. Akan tetapi ia
adalah perbuatan jiwa yang ada, dimana indra dan tubuh tidak memiliki pengaruh
pada sesuatu yang kita sebutkan.”
Pendapat ini, pun dikatakan oleh Ibn Mulkan setelah ini:
“Sesungguhnya engkau apabila menjauhi seorang manusia yang sedang menyendiri
dengan jiwa(diri)nya dari semua yang dilihat, didengar, dan yang dipikirkan
dari pikiran-pikiran, maka perasaannya sendiri dengan jiwanya itu sudah
ada dan yang mengelilinginya serta tidak pernah pergi darinya… Maka perasaan
manusia dengan dirinya itu lebih dulu ada daripada perasaanya terhadap orang
lain, dan pengetahuannya yang sempurna tentang jiwanya itu datang lebih akhir
daripada pengetahuannya terhadap banyak hal. Maka Ibn Mulkan berpandangan,
bahwa wujud manusia itu tidak memerlukan dalil aqli, karena
wujudnya itu berupa perasaan yang jelas dan pasti serta tidak memerlukan
argumentasi.”
Kita juga menemukan Ibn al-’Airi, dalam hal ini ia berkata: “Ada
beberapa hal yang bisa diterima tentang hakekat wujud jiwa, dan wujud jiwa
adalah sesuatu yang fitrah, yang tidak membutuhkan dalil. Akan tetapi dalil
wujud jiwa tersebut jelas dari namaan-nafs. Sesungguhnya nama itu
menunjukkan kepada yang dinamai, sebagaimana yang dikatakan Aristoteles:
“Apabila seorang manusia itu berakal, mengetahui, berfikir, memahami, dan
manusia melakukan yang tidak bisa dilakukan oleh hewan, dimana ia (manusia)
apabila ditinggalkann oleh jiwa, maka semua perbuatan tersebut tidak akan
ada. Dari situ terlihat bahwasanya perbuatan-perbuatan itu disebabkan oleh
jiwanya tadi.”
Artinya, sesungguhnya Ibn al-’Airi juga berpendapat, bahwasanya
existensi jiwa itu jelas, pasti, dan fitrah, tidak membutuhkan kepada dalil. Ibn
Bajah yang terakhir mengikuti pendapat ini, dan beliau berkata: “Sesungguhnya
jiwa tergolong dari hal-hal yang dzohir, yang ada, dan mencari klarifikasi
wujud jiwa itu seperti wujud karakter, dan orang yang melakukan hal itu tidak
akan tahu perbedaan antara yang dikenal dengan jiwanya (ma’lum binafsihi)
dan yang dikenal oleh selain jiwanya (ma’lum bighoirihi). Hanya saja, kami mendapatinya menyuguhkan
argumentasi terhadap wujud jiwa sebagai jauhar, yang berbeda dengan jauharnya
badan dengan argumentasi-argumentasi yang ia tentukan, yang disebutkan oleh Ibn
Sina, walaupun Ibn Bajah tidak menyebutkannya secara transparan. Ibn Sina
menyuguhkan banyak argumentasi2 untuk menetapkan wujud jiw, dan argumentasi
tersebut itu menjelaskan perbedaan jiwa dengan badan. Prof. Ibrahim Madzkur
berkata: “Sesungguhnya usaha(eksperimen) Ibn Sina itu bukanlah yang pertama
dalam sejarah filsafat, hanya saja eksperimen Ibn Sina tersebut mempunyai
kelebihan dari sebelumnya dengan lebih mencakup, detail, dan lebih mendalam.” Dalam
hal itu Ibn al-Airi berkata: “Kita telah melihat percobaan-percobaan
(usaha-usaha) dalam menetapkan wujud jiwa, baik yang klasik maupun yang
moderat, dan tidak kita sangka di antara usaha-usaha itu ada satu eksperimen
yang mirip dengan argumentasi Ibn Sina dalam memahami jiwa dan macam-macamnya.”
Ibn Sina telah menyebutkan banyak argumen dalam menetapkan wujud
jiwa, yaitu:
1. Argumentasi natural psikologi
2. Integrasi keakuan(ego) dan
integrasi fenomena kejiwaan
3. Argumentasi kontinuitas dan
argumentasi seorang laki-laki yang terbang dan tergantung di langit
Ibn Bajah mengambil argumen-argumen ini sebagai pendapatnya untuk
menetapkan wujud jiwa manusia, dan meskipun ia tidak menyebutkan bahwasanya
yang tersebut adalah argumen Ibn Sina. Ibn Bajah berbicara tentang argumentasi
alami(thobi’i), dan begitu juga argumentasi psikologi yang berbicara
tentang keadaan-keadaan jiwa dan emosional-emosiaonalnya. Ibn bajah juga
menyebutkan argumentasi kontinuitas yang menegaskan bahwasanya tubuh(jisim) adalah
yang berganti-ganti, berubah-ubah, dan mengalami kerusakan dan musnah. Adapun
jiwa itu kekal dan tidak mengalami kerusakan. Begitu juga argumentasi tentang
seorang laki-laki yang terbang itu ditampilkan oleh Ibn Bajah dalam gaya baru.
Beginilah kita bisa melihat bahwasanya menetapkan wujud jiwa itu
termasuk permasalahan yang sangat penting yang di stimulasi(atsaar) oleh
pemikiran filsafat. Meskipun banyak dari para filosof Islam menerima akan
eksistensi jiwa secara wujud intuisi yang pasti dan jelas tanpa memerlukan
argumen-argumen logis, hanya saja kita melihat sebagian orang menyebutkan
dalil-dalil naqli dan aqli untuk menetapkan
eksistensi jiwa terhadap orang yang dihinggapi keraguan dalam eksistensi jiwa.
Dalam hal ini Ibn Bajah berkata: “Sesungguhnya kita melihat, orang
yang rusak jasadnya dan kontruksinya, dan meskipun demikian ia mempunyai
pikiran, logika yang kuat, tamyiz(kemampuan berfikir), berakal, dan
bijaksana. Maka, ini merupakan bukti bahwasanya yang memahami sesuatu adalah
yang bersifat efektif, bisa membedakan, dan hidup. Ia sesuatu selain tubuh, dan
sesuatu itu adalah jiwa yang terus eksis.
Ibn Hazm di sini menjadikan pemahaman akal dan proses logika
sebagai dalil terhadap eksistensi jiwa sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Sina
sebelumnya, dan meskipun Ibn Sina telah memfokuskan dalam membedakan antara
perbuatan-perbuatan manusia dan yang lainnya seperti macam-macam hewan.
Sesungguhnya manusia adalah yang memahami makna-makna global yang bersih dari
semua karakter indrawi.
Imam Ghazali juga mengambil argumentasi ini untuk menetapkan
eksistensi jiwa.Sebagaimana beliau mengambil
argumentasi kontinuitas, yaitu kontinuitas eksistensi jiwa meskipun
keadaan-keadaan badan berubah-ubah. Al-Ghazali dalam hal ini berkata:
“Sesungguhnya engkau mengetahui, bahwasanya jiwamu semenjak engkau dulu belum
berubah-ubah, dan sudah diketahui bahwasanya badan dan semua sifat-sifatnya itu
berubah-ubah. Karena apabila sifat-sifat badan itu tidak berubah-ubah, niscaya
ia tidak akan mengonsumsi makanan, karena mengonsumsi makanan itu agar bisa
menggantikan apa yang berubah dari badan. Jadi, jiwamu tidak ada kaitannya
dengan badan dan sifat-sifatnya.” Argumen yang
sama ini, itu telah dikatakan oleh Ibn Sina sebelum al-Ghazali.
Begitu juga Ibn Hazm menggunakan pendapat ini untuk berargumen
terhadap eksistensi jiwa, dan beliau berkata: “Kita juga melihat, bahwasanya
anggota badan itu akan hilang satu persatu dengan terpotong dan rusak, dan
potensi-potensi itu akan tetap kekal, serta pikiran, tindakan(tadbiyr),
dan logika itu lebih menjadi terisi. Maka sudah pasti benar, bahwasanya yang
mempunyai efektifitas, yang mengetahui, yang mengingat, yang memenej, yang
berkehendak adalah jiwa. Jiwa bukanlah jasad, karena jasad adalah benda mati. Ibn Hazm berpendapat, bahwa jasad bisa berubah-ubah
dan rusak. Akan tetapi jiwa itu tetap kontinu, tidak berganti-ganti dengan
perubahan-perubahan tubuh. Akan tetapi jiwa itu melakukan
perbuatan-perbuatannya, dan tugas-tugasnya, jauh dari jasad, maka benar
bahwasanya jiwa itu eksis karena eksistensi perbuatan-perbuatan yang
menunjukkan kewujudannya ini.
Argumen ini, itu menetapkan eksistensi jiwa dan memberikan bukti
bahwasanya karakter jiwa itu berbeda dengan karakter badan.
Ibn Hazm menambahkan sebuah argumen lain dari argumen-argumen yang
tadi. Ia menunjukkan atas eksistensi jiwa, yaitu etika jiwa (akhlak nafs),
dan itu mirip dengan sesuatu yang diistilahkan oleh Ibn Sina sebelumnya dengan
nama argumentasi al-af’al al-wahdaniah (perbuatan-perbuatan
yang bersifat tunggal). Ibn Hazm berkata: “Di
antara al-af’al al-wahdaniah(perbuatan-perbuatan yang bersifat
tunggal) adalah etika jiwa, kebijaksanaan, kesabaran, kedengkian, logika, kecerobohan, ketakutan, berwawasan,
juga kebodohan, dan semua ini tidak ada kaitannya dengan anggota badan. Apabila
tidak ada keraguan dalam hal tersebut, maka semua hal itu hanyalah untuk jiwa
yang mengatur jasad.”
Maka Ibn Hazm menetapkan eksistensi jiwa dengan eksistensi akhlak
yang menunjukkannya. Beliau pun berkata: “Sesungguhnya akhlak itu dibawa dalam
jiwa.” Sesuatu yang dibawa itu tidak akan pernah ada kecuali yang membawanya,
maka jiwa harus eksis karena adanya akhlak ini.
Dari sini tampak secara jelas keterkaitan akhlak dengan jiwa
menurut Ibn Hazm, dan itu seperti yang kita perhatikan, serta yang ditegaskan
dalam tulisan dan karangan-karangan Ibn Hazm, dan sesuatu yang akan kita coba
mengungkapnya dalam buku ini melalui izin Allah dalam koridor filsafat
humanisme. Maka dari itu, penting bagi kita sekarang untuk menampilkan karakter
jiwa seta menjelaskan ciri-cirinya yang penting dan
keistimewan-keistimewaannya.
0 comments