Untuk memahami lebih jauh tentang dunia, tentang jagad raya, tentang kosmis dan segala keruwetannya. Emanansi dalam pandangan filsafat islam baik untuk dibaca. Sinau filsafat sedikit menggoreskan tinta untuk pembaca semua. selamat membaca.
Pengertian Emanasi | Filsafat Islam | Sinau Filsafat |
Pengertian Emanasi
Secara etimologis emanasi
mempunyai arti sesuatu yang mengalir (memancar).
Emanasi menurut Ibnu Sina
Teori
Ibnu Sina mengenai emanasi bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki
wujud tunggal, secara mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki
kodrat yang mendua. Karena ketunggalanya, maka apakah Tuhan itu, dan kenyataan
bahwa Ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud tetapi satu unsur atomic
dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah Tuhan itu, hakikat Dia, adalah identik
dengan eksistensi-Nya.
Doktrin Ibnu Sina tentang Wujud
Sebagaimana para filosof Muslim terdahulu, bersifat
emanasionistis. Dari Tuhanlah, Kemaujudan Yang Mesti, mengalir intelegensi
pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat
mewujud. Tetapi sifat intelegensi yang pertama itu tidak mutlak satu, karena ia
bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin,
dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan.
Berkat
kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan didunia,
intelegensi pertama memunculkan dua kemaujudan yaitu :
- Intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas.
- Lingkung pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya, kemungkinan alamiahnya.
Dalam
emanasinya, pendapat Ibnu Sina tak jauh berbeda dengan Al-Farabi, hanya saja,
ada sedikit tambahan dari Ibnu Sina mengenai wujud lain yang berbeda dari
pemikiran Al-Farabi, yaitu jirmul faalakil aqsha dan nafsul falaqil aqsha yang
muncul tatkala akal ber-ta’aqqul mengeluarkan akal kedua. Yang dimaksud jirmul
faalakil aqsha adalah langit dengan semua planetnya, sedangkan nafsul falaqil
aqsha adalah jiwa dari langit denga semua planetnya. Jadi, menurut Ibnu Sina,
tiap-tiap al-‘aql itu menyebabkan timbulnya tiga macam keadaan, yaitu selain
dengan akal yang berikutnya juga mengeluarkan jirim langit dan planetnya serta
jiwa langit dan planet-planetnya.
Menurutnya,
falak mempunyai jiwa dan menggerakannya secara langsung karena berhubungan
langsung dengan falak, sedangkan al-aql menggerakannya dari jauh karena al-aql
terasing (munfarid). Al-aql mempunyai hal yang disebut al-khair (kebaikan), dan
kebaikan inilah yang menjadi tujuan falak untuk mencapai kesempurnaan dirinya.
Untuk
mencapai kesempurnaannya, falak berputar mengelilingi al-aqlul-mufarid. Namun
falak tidak bisa mencapainya karena setiap falak mencapai satu tingkatan
kesempurnaan dalam lingkungan akalnya, dia mempunyai hajat baru kearah akal
yang lebih tinggi kesempurnaanya. Maka dari itu, akal pertamalah yang paling
sempurna karena merupakan limpahan langsung dari Tuhan. Selanjutnya akal kedua
lebih rendah dari akal pertama, dan akal ketiga lebih rendah dari akal kedua,
dan seterusnya. Pelimpahan Tuhan atas akal-akal ini terjadi atas kerelaan yang
dipikirkan (faidlu ridla ma’qul) oleh Tuhan. Alasan logikanya, limpahan ini
berarti bahwa barang yang diingini lebih tinggi tingkatanya dari yang
mengingini.
Karena
itulah, kenapa Ibnu Sina berkeyakinan bahwa hanya dari bentuk dan materi saja
anda tidak akan pernah mendapatkan eksistensi yang nyata, tetapi hanya
kualitas-kualitas esensial kebetulan.
Sumber :
Syarif M.M. 1993. Para Filosof Muslim. Mizan. Bandung
Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu,
Erlangga, Jakarta, 2006.
Poerwantana DKK, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1994.
Utsman Najati Muhammad, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim,
Pustaka Hidayah, Bandung, 2002.
0 comments