ALIRAN-ALIRAN DALAM EPISTEMOLOGI
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Epistemologi memiliki banyak aliran, untuk memahaminya silahkan dibaca...
Empirisme
Empirisme
berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh melalui indra. Indra memperoleh
kesan-kesan nyata. Kemudian, kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia
sehingga menjadi pengalaman. Pengetahuam yang berupa pengalaman terdiri atas
penyusunan dan pengaturan kesan-kesan yang bermacam-macam. Dari segi
hakikat pengetahuan empirisme berpendirian bahwa pengetahuan berupa pengalaman.
(Sudaryanto, 2013: 39).
Pengetahuan
diperoleh dengan perantaraan indra, kata seorang penganut empirisme. John
Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia
dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula
rasa), dan didalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman
indrawi. Menurutnya, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan
menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari pengindraan dan
refleksi yang pertama-tama dan sederhana tersebut. (Kattsoff, 2004: 133)
Tokoh-tokoh
empirisme diantaranya adalah, John Locke, Berkeley, David Huston, Thomas
Hobbes, dan yang lainnya.
Rasionalisme
Sumber
pengetahuan menurut rasionalisme adalah akal. Akal memperoleh bahan melalui
indra. Kemudian diolah oleh akal sehingga menjadi pengetahuan. Rasionalisme
mendasarkan pada metode deduksi, yaitu cara memperoleh kepastian melalui
langkah-langkah metodis yang berttik tolak dari hal-hal yang bersifat umum
untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.
Rasionalisme
berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling
dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme
yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak didalam ide kita, dan bukannya
pada objek. (Kattsoff, 2004: 135)
Tokoh-tokoh
rasionalisme diantaranya adalah Rene Descartes, Spinoza, dan Leibniz.
Fenomenologi
Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai
oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia),
ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan
sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi
(fenomen).
Hegel (1807)
memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai
pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran
kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan
proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai
perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk
sampai kepada pengetahuan mutlak.Bagi Hegel, fenomena tidak lain
merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi:
fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan
pikiran manusia.
Berangkat dari
pemikiran Edmund Husserl (1859-1938), bahwa obyek ilmu pengetahuan tidak hanya
terbatas pada empirik, tetapi mencakup fenomena yang bersifat persepsi,
pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek tentang sesuatu di luar subyek dan ada
sesuatu yang bersifat transenden.
Sifat-sifat yang
pokok dari fenomenologi dapat dijelaskan secara luas, tetapi kita harus ingat
bahwa ada arti yang sempit bagi fenomenologi, yaitu arti sebagai metoda. Bagi
fenomenologis, berfilsafat harus dimulai dengan usaha yang terpadu untuk
melukiskan isi kesadaran. Suatu usaha yang jelas adalah sangat perlu bagi
deskripsi. Dengan deskripsi ini dimaksudkan suatu pandangan hati-hati terhadap
struktur yang pokok dari benda, tepat seperti yang nampak. Fenomenologis
memperhatikan benda-benda yang konkrit, bukan dalam arti yang ada dalam
kehidupan sehari-hari, akan tetapi ada struktur yang pokok dari benda-benda
tersebut, sebagaimana yang kita rasakan dalam kesadaran kita, karena kesadaran
kita adalah ukuran pengalaman. (Titus, 1984: 399)
Dari beberapa
pengertian diatas dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah ilmu yang
mempelajari fenomen-fenomen yang atau apa saja yang nampak. Sebuah pendekatan
filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada
kesadaran kita. Tokoh-tokohnya, Edmund Husserl, Max Scheler, dan Maurice
Merlean-Ponty.
Intuisionisme
Intusionalisme adalah suatu aliran atau paham yang menganggap bahwa intuisi
(naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Intuisi termasuk
salah satu kegiatan berpikir
yang tidak didasarkan pada penalaran. Jadi Intuisi adalah non-analitik dan
tidak didasarkan atau suatu pola berpikir tertentu dan sering bercampur aduk dengan perasaan. Tokoh
aliran intusionalisme, antara lain: Plotinos (205 -270) dan Henri Bergson (1859
-1994).
Bergon menyatakan
bahwa intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan,
tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan
intuitif. (Kattsoff, 2004: 141)
Positivisme
Positivisme
berpendirian bahwa kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan
pengetahuan faktawi. Apapun yang berada diluar dunia pengalaman tidak perlu
diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia ini. Filsafat
positivisme berpandangan bahwa semua fenomena tunduk terhada hukum alam yang
sama. Urusan kita adalah mengupayakan suatu penemuan akurat atas hukum-hukum
itu.
Skeptisisme
Skeptisisme
adalah satu-satunya aliran yang secara radikal dan fundamental tidak mengakui
adanya kepastian dan kebenaran, atau sekurang-kurangnya menyangsikan secara
fundamental kemampuan pikiran manusia untuk mendapatkan kepastian. (Pranarka,
1987: 95)
Secara
etimologikal kita mengetahui bahwa istilah skeptisisme itu berasal dari kata
bahasa Yunani skeptomai, artinya memperhatikan dengan cermat,
meneliti. Para skeptisi pada mulanya adalah orang-orang yang mengamati segala
sesuatu dengan cermat serta mengadakan penelitian terhadapnya. Namun karena
didalam interaksi diantara mereka itu tidak tercapai kesepakatan, maka
timbullah masalah baru yaitu mengenai patokan kesepakatan. Bahkan selanjutnya
sementara sampai kepada kesimpulan untuk meragukan adanya kepastian dan ukuran
kebenaran. Dari situlah timbul istilah skeptisisme yaitu aliran atau sistem
pemikiran yang mengajarkan sikap ragu sebagai sikap dasar yang fundamental dan
universal. (Pranarka, 1987: 95)
Agnotisisme
Mudhofir (1996:4)
dengan singkat menjelaskan bahwa agnostisisme dalam epistemologi adalah aliran
yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin memperoleh pengetahuan tentang
suatu pokok permasalahan. Pokok permasalahan yang seperti apa? Tidak dijelaskan
dalam bukunya.
Sedangkan Hartoko (1986:3) menjelaskan dengan menambahkan
apa yang tidak dapat diketahui itu. Menurutnya agnostisisme sama dengan
skeptisisme, yang menyangkal bahwa hakekat sesuatu dapat diketahui (melawan
pengetahuan metafisik). Apalagi pengetahuan menganai adanya tuhan dan
sifat-sifatnya. Merekea (para agnotis) hanya menerima pengetahuan inderawi dan
empirik. Tiada menerima adanya analogi.
Jika kembali melihat arti katanya tentu akan mendapatkan
pengertian yang lebih luas lagi. Lorens (2005:22-23) mengatakan bahwa asal
istilah ini ialah kata yunani, ’ yang berarti ‘bukan’ atau ‘tidak’, dan gnostikos yang
berarti ‘orang yang mengetahui’ atau ‘mempunyai pengetahuan tentang’. Agnostis
berarti tidak diketahui.
Objektivisme
Dalam Mudhofir (1996:167) objektivisme diartikan sebagai
pandangan yang menganggap bahwa segala sesuatu yang dipahami adalah tidak tergantung pada orang
yang memahami. Dapat dikatakan, ada kebenaran sejati
terlepas dari pemikiran manusia. Ini mengingatkan kita kepada paradoks antara
kaum Sofis dan Sokrates pada zaman Yunani kuno.
Basman (2009:34) juga menguraikan argumen objektivisme.
Menurutnya Argumen objektivisme mencakup penolakan terhadap metode
pemikiran subyektivisme dan penggunaan kata ide secara lebih positif. Asumsi
bahwa terdapat alam realitas adalah lebih baik dan lebih memadai dari asumsi
lain. Asumsi tersebut sesuai dengan pengalaman hidup kita sekarang, dan
pemahaman kita terhadap proses pemikiran.
Karl R. Popper, dalam
Chalmers (1982:128) Karl R. Popper
mengemukakan pendapatnya tentang objektivisme yang disadur dari buku Objective
Knowledge. Popper mengatakan bahwa :
“Pengetahuan atau fikiran dalam pengertian objektif,
terdiri dari problema-problema, teori-teori, dan argumen-argumen itu sendiri.
Pengetahuan dalam pengertian objektif ini sepenuhnya independen dari klaim seseorang
untuk mengetahuinya ; ia pun terlepas dari keyakinan seseorang atau
kecenderungan untuk menyetujuinya, atau untuk berlakukannya atau untuk
bertindak. Pengetahuan dalam pengertian objektif ini adalah pengetahuan
tanpa orang: ia adalah pengetahuan tanpa diketahui subjek.”
Subjektivisme
Subjektivisme adalah pandangan bahwa objek dan kualitas yang
kita ketahui dengan perantaraan indera kita adalah tidak berdiri sendiri, lepas
dari kesadaran kita terhadapnya. Realitas terdiri atas kesadaran serta keadaan
kesadaran tersebut, walaupun tidak harus kesadaran kita dan keadaan akal kita
(Titus, 1984: 218).
Fenomenalisme
Untuk memahami
pikiran fenomenalisme, sedikitnya kita melihat pendapat Kant dalam hal
pengetahuan. Indra hanya dapat memberikan data indra, dan data indra itu ialah
warna, cita rasa, bau, rasa dan sebaliknya. Memang benar, kita mempunyai
pengalaman; tetapi sama benarnya juga bahwa untuk mempunyai pengetahuan
(artinya menghubungkan hal-hal), maka kita harus keluar dari atau menembus
pengalaman. (Kattsoff, 1987: 138)
Jika orang
membayangkan berupa apakah suatu rasa bersahaja dengan suatu bunyi yang kasar,
maka jelaslah bahwa data indra yang murni tidaklah berupa pengetahuan.
Pengetahuan terjadi bila akal menghubungkan, misalnya, rasa menekan yang
bersahaja dengan bunyi yang kasar, untuk memperoleh fakta bahwa tekanan
terhadap sesuatu menyebabkan terjadinya bunyi tersebut. Hubungan ialah suatu
cara yang dipakai oleh akal untuk mengetahui suatu kejadian, hubungan tidak
dialami. Hubungan ialah bentuk pemahaman kita, dan bukan isi
pengetahuan. (Kattsoff, 1987: 138)
Dapat kita
simpulkan bahwa fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa
Fenomenal (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang
Fenomenalisme suka melihat gejala, dia
berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari
korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenalisme
bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa
meninggalkan bidang evidensi yang langsung.
Pragmatisme
Pragmatisme tidak
mempersoalkan apa hakikat pengetahuan, tetapi menanyakan apa guna pengetahuan.
Daya pengetahuan hendaklah dipandang sebagai sarana bagi perbuatan. Charles S.
Pierce menyatakan bahwa yang penting adalah pengaruh apa yang dapat dilakukan
sebuah ide atau suatu pengetahuan dalam suatu rencana. (Sudaryanto, 2013: 41)
William James
menyatakan bahwa ukuran kebenaran sesuatu itu ditentukan oleh akibat
praktisnya. Sesuatu pengertian tidak pernah benar, tetapi pengertian hanya
dapat menjadi benar. Ukuran kebenaran hendaknya dicari dalam tingkatan seberapa
jauh manusia sebagai pribadi dan secara psikis merasa puas. (Sudaryanto, 2013:
41)
Scientisme
Scientisme adalah
suatu paham bahwa pernyataan ilmu saja yang benar, yang selain ilmu tidak
memiliki arti. Kadang kata ini digunakan oleh sosiolog seperti Friedrich
Hayek atau filsuf seperti Karl Popper, kadang digunakan untuk merujuk pada perkembangan ilmu alam yang
condong menjadi ideologi. Scientisme
bisa mengacu pada penggunaan yang salah dari ilmu pengetahuan atau pemikiran
bahwa metode atau kategorisasi dari filsafat alam membentuk satu-satunya metode
yang sah dalam filsafat atau bidang pengetahuan yang lain, dan scientisme bisa
memiliki jangkauan makna yang banyak.
Dalam scientisme kebenaran yang dianut adalah
kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah ini mengalahkan kebenaran lainnya, bahkan
(dalam versi yang kuat) kebenaran lain dianggap tidak bermakna. Sayangnya
Scientisme ini sendiri
memiliki kelemahan yang fatal. Kelemahan itu adalah bahwa Scientisme sendiri menghancurkan
dirinya sendiri.
Pernyataan mengenai kebenaran scientisme sendiri tidak berasal dari suatu
pengetahuan ilmiah. Ini menyebabkan andai saja Scientisme benar maka dia bisa
jadi dengan sendirinya membatalkan dirinya, karena pernyataan dasar kebenaran
Scientisme tidak
didukung kebenaran ilmiah.
Menurut scientisme,
Ilmu empiris hanyalah satu-satunya sumber pengetahuan (scientisme kuat) atau lebih moderat
(scientisme lemah) sumber terbaik dari kepercayaan rasional tentang sesuatu
adalah ilmu empiris. Kadang tuduhan scientisme dikaitakan dengan New Atheist seperti
Richard Dawkins dan Sam Harris. Sam harris berpendapat untuk mendekati
pertanyaan-pertanyaan etis dan spiritual dengan pendekatan ilmiah. Dawkin bersikeras
bahwa keberadaan kecerdasan-kreatif super adalah pertanyaan ilmiah
Anti-Intelektualisme
Yang dimaksud
dengan anti-intelektualisme sebagai gerakan reaksi terhadap suasana yang
terlalu intelektualistik, akan pikiran yang abstrak dan essensialistik yang
mewarnai seluruh perkembangan hingga saat ini. secara ringkas kiranya dapat
dikatakan bahwa gerakan ini mengajukan suatu slogan pemikiran: bukan manusia
untuk pengetahuan tetapi pengetahuan untuk manusia. Suasana yang terjadi
sebelumnya dipandang sebagai jalan yang telah menyimpang karena telah membuat
pengetahuan keluar dari konteks dasarnya yaitu manusia.
(Pranarka, 1987: 101)
Anti-intelektualisme
kontemporer ini merupakan suatu reaksi terhadap arusnya aliran-aliran yang
partial sifatnya namun mengajukan claim yang sifatnya mutlak dan sebagai sistem
yang sifatnya final dan total secara deterministik. Maka itu gerakan
anti-intelektualisme juga merupakan suatu gerakan yang sifatnya anti-absolutisasi,
anti-determinisme, dan kadang-kadang juga menjadi gerakan yanganti-sistem. (Pranarka,
1987: 101)
14. Fallibilisme
Istilah ini
pertamakali digunakan filsuf CS Pierce. Fallibilisme adalah prinsip
filosofis bahwa manusia bisa salah. Istilah ini diambil dari kata latin abad
tengah Fallibilis. Konsep ini sangat penting bagi ilmu pengetahuan, ini
dikarenakan ilmu pengetahuan mencari validitas kebenaran. Karena itu mereka
mengharapkan suatu pengetahuan menjadi seakurat mungkin.
Fallibilism menunjukkan bahwa sebuah pengetahuan tidak bisa
dipastikan dengan sepasti-pastinya. Selalu terdapat keraguan dalam sebuah
pengetahuan. Misalnya saja kepercayaan ilmiah, kita tidak bisa pasti bahwa
suatu saat sebuah teori baru akan muncul untuk mengganti teori yang lama.
Berbeda dengan skeptisisme, dalam prinsip ini tidak dianjurkan untuk tidak
mempercayai sesuatu hanya karena dia tidak meyakinkan atau masih bisa
diragukan.
Suatu kepercayaan mendasar misalnya seperti “matahari terbit
dari timur” tidak bisa dikatakan seratus persen meyakinkan karena siapa tahu
esok matahari terbit dari barat. Walau demikian kita masih bisa mempercayai
bahwa matahari esok pagi terbit dari timur karena biasanya selalu demikian.
Sebagai doktrin formal falibilisme dikaitkan dengan kaum
filsuf pragmatis dan serangan mereka terhadap foundasionalisme. Namun ide-ide
ini terdapat dalam filsuf-filsuf kuno. Seorang yang akrab dengan prinsip ini
adalah Karl R Popper yang membangun teori pengetahuannya yaitu rasionalisme
kritis dari presupposisi falibilisme. Digunakan juga oleh WVO Quine untuk
menyerang di antaranya perbedaan antara pernyataan analitis dan sintesis.
Dalam fallibilisme sesuatu dianggap tidak mutlak benar dan
bisa salah. Karenannya suatu pengetahuan itu meragukan Terutama pada ilmu
empiris. Dalam ilmu empiris sesuatu fakta baru bisa membatalkan sebuah teori
lama. Dan karena fakta baru itu belum muncul maka bisa jadi pengetahuan
sekarang salah. Dari contoh tersebut maka seharusnya bidang yang tidak
memerlukan penelitian empiris seperti matematika dan logika lebih pasti karena
tidak harus melakukan pengamatan empiris. Namun ada juga yang meragukan
matematika dan logika, ini disebabkan walaupun mereka tidak melakukan
pengamatan empiris namun kesalahan manusia masih bisa terjadi.
15. Teori
Kritis
Perlu diingat
bahwa teori kritis adalah sebuah gerakan intelektual yang dilakukan
bersama-sama oleh sekelompok intelegensia dalam kurun sejarah tertentu.
Pengertian “kritik” dimaksudkan sebagai kritis terhadap ajaran-ajaran dibidang
sosial yang ada pada saat itu dan juga kritis terhadap keadaan masyarakat pada
saat itu yang sangat memerlukan perubahan radikal. Nama ini dipopulerkan oleh
Max Horkheimer. (Listiyono, 2003: 97) Lebih lanjut ia mengatakan,
Kata “kritik”
disini harus dimengerti dalam arti kritis terhadap ajaran-ajaran dibidang
sosial yang terdapat pada saat itu (termasuk Marxisme ortodox) serentak juga
dalam arti kritis terhadap keadaan masyarakat pada saat otu, yang memerlukan
perubahan radikal.
Referensi :
- Harold H.
Titus, 1984, Persoalan-persoalan Filsafat, Bulan Bintang,
Jakarta
- Listiyono
Santoso dkk. 2003, Epistemologi Kiri, Ar-Ruzz Press,
Yogyakarta
- Louis O.
Kattsoff, 2004. Pengantar Filsafat. Tiara Wacana, Yogyakarta
0 comments