Sinau Filsafat - Manusia dalam Perpekstif Islam |
Sinau Filsafat - Manusia dalam Perpekstif Islam
SINAU FILSAFAT - Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai derajat yang tinggi,
karena Islam telah memuliakannya. Hal ini ditunjukkan melalui beberapa ayat
al-Qur’an yang menjelaskan tentang takdir manusia, sehingga ayat-ayat itu
mengukuhkan kehormatannya dan mengangkat kedudukannya. Kemudian Allah
mengutamakannya melebihi semua makhluk lainnya dan memilihnya dari alam semesta
ini, memuliakannya, mendidiknya serta mentakdirkannya, sehingga kedudukannya
melebihi malaikat, dan memiliki ilmu serta tangung jawab yang besarnya melebihi
gunung, bumi dan langit. Allah berfirman dalam al-Qur’an,
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka
berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada
para Malaikat, lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau,
tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada
kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah
berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka
setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman:
“Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia
langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu
sembunyikan?” Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:
“Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan
takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 30-34)
Inilah bukti, yang setelahnya tidak ada lagi, tentang posisi manusia
dalam perspektif Islam. Manusia dipilih, dimuliakan, diutus dan mempunyai
kegigihan, sehingga dia menjadi khalifatullah di bumi supaya
ditanami dengan benih-benih kebajikan dan membangunnya dengan keadilan, kasih
sayang serta perdamaian untuk kebaikan alam dan sekitarnya.
Begitulah yang kami pelajari melalui ayat-ayat diatas yang
menjelaskan bagaimana malaikat memandang derajat manusia ini dan
keingintahuannya tentang kekhalifahan manusia itu ketika Allah Swt.
memberitahukan kepada mereka bahwa Allah ingin memilih wakilNya (khalifah) di
muka bumi, dan pilihanNya jatuh kepada Nabi Adam as untuk menjadi khalifah.
Karena Allah telah mengistimewakannya dengan pengetahuan yang tidak dimiliki
oleh malaikat, maka ia dimintai tanggung jawab dan diharuskan memikul amanah
dimana langit yang luas dan gunung-gunung yang besar pun enggan mengembannya.
Allah swt. telah berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.Sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh,” ( Al-Ahzab: 72).
Karena beratnya tangung jawab yang dibebankan kepada manusia,
sehingga Allah memuliakan dan mengistimewakannya melebihi dari makhluk yang
lainya. Allah berfirman,
“Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan. (Al-Isra’: 70).
Dari uraian diatas sangatlah jelas bahwa Islam mengangkat derajat
Adam dan keturunannya di tempat yang paling tinggi, dan Allah
mengistimewakannya dengan mengemban amanah dan tangung jawab besar yaitu, menjadi khalifatullah di
muka bumi. Sehingga Allah memuliakan dan menganugerahkan kenikmatan serta
kebaikan kepadanya. Di antara nikmat yang paling besar itu adalah akal, ilmu
dan intelektualitas. Akal manusia mampu berfikir-fikir tentang alam semesta,
semua ciptaan Allah dan berfikir tentang dirinya sendiri agar bisa mengetahui
posisinya di dunia ini, tangung jawab yang telah dibebankan, peran yang
diharuskannya, amanah yang dipercayakannya, kepemimpinan yang berikannya, dan
sebab-sebab yang menjadikanya dipilih dan diistimewakan oleh Allah mengalahkan
makhluk yang lainya. Hanya Allah saja yang mengetahui hikmah dibalik itu, yang
membuat malaikat heran atas pilihan tersebut diwaktu Allah menyampaikan sebuah
cerita yang besar,
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka
berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“ (Al-Baqarah: 30).
Firman di atas adalah pelajaran dari Tuhan kepada malaikat yang
heran atas pilihan Allah dan keistimewaan yang hanya diberikan Adam bukan yang
lain. Meskipun akhirnya membuat kerusakan dan saling bunuh membunuh. Akan
tetapi, setelah itu, malaikat tahu bahwa Adam yang dipilih menjadi khalifahNya
dan mengutamakannya atas makhluk lainnya karena Allah mengkhususkannya dengan
pengetahuan yang tidak dimiliki oleh malaikat. Dalam firmaNya,
“Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:
“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang
yang benar! Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui
selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Al-Baqarah: 31-32).
Saat itulah malaikat mengerti bahwa melalui pemberian pengetahuan
yang sangat komplek makna-maknanya, sangat dalam bentuk-bentuk yang didapat
merupakan keistimewaan kepemimpinan yang humanis secara umum. Ilmu merupakan
anugerah bawaan yang ada dalam jiwa manusia yang semua manusia kembali
kepadanya walaupun mereka berbeda bentuk, jenis, bahasa, daerah, masa, fikiran,
kebudayaan dan ideologinya.
Al-Qur’an telah menjelaskan secara detail perihal kepemimpinan dan
awal mula manusia dalam kisah penciptaan Nabi Adam as. Banyak para peneliti dan
akademisi yang memfokuskan diri dalam menelusuri masalah ini dengan menggunakan
metode dan teori yang berbeda-beda seperti halnya Tsa’labi dan Al-Alusi yang
menafsirkan ayat ini
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“ (Al-Baqarah:
30).
Al-Alusi berpendapat bahwa keberadaan Adam as. sebagai khalifah di
muka bumi adalah bahwa Allah telah menyerahkan kepemimpinan kepada Adam dan
para Nabi untuk membangun bumi, mengatur makhluk, menyempurnakan serta
memperbaiki diri mereka, serta mengimplementasikan semua perintah dan
hukum-hukum-Nya kepada manusia. Dengan demikian, tugas kepemimpinan manusia
adalah merealisasikan risalah para Rasul dan Nabi. Jejak dan peninggalan mereka
tidak akan putus selama manusia masih ada di muka bumi ini. Karena dengan
watak, keilmuan dan kemampuanya manusia bertugas untuk menjalankan risalah itu.
Muhammad Abduh, salah seorang pemerhati studi ini dan fokus
menjelaskan tentang cerita khilafah fil ardli. Dia berpendapat
bahwa sebab dipilihnya manusia sebagai khalifatullah di bumi
kembali pada pengetahuan yang telah disiapkan Allah dalam watak kepemimpinan
manusia, pengetahuan yang tidak dipunyai oleh para malaikat. Hal ini
berdasarkan pada firman Allah,
“Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya,“.
Pengatahuan yang istimewa inilah yang menjadikan turunnya Adam ke
bumi, meskipun pada kenyataannya terdapat kerusakan dan pertumpahan darah.
Dr. Aisyah Abdurrahman menuturkan bahwa dua sebab yang menjadikan
manusia lebih mulia dari malaikat. Hal ini setelah mengurutkan cerita al-Qur’an
tentang penciptaan manusia. Pertama, sebagai penghormatan terhadap
manusia yang pertama yaitu Adam as. saat Allah swt. memerintahkan malaikat
untuk sujud kepadanya karena Adam berbeda dengan mereka. Perbedaan itu
disebabkan karena Adam memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh malaikat.
Sedangkan malaikat tidak mempunyai jalan untuk mencarinya. Hal ini berdasarkan
pada perkataan mereka “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui
selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;. Kedua,
sebagai pemimpin di muka bumi mengharuskan anak cucu Adam guna mengemban
tangung jawab kemanusiaannya, amanah atas tindakannya serta perilakunya, dan
mengingat adanya cobaan yang bertubi-tubi sehingga tidak mungkin diemban oleh
malaikat dengan seluruh kemampuanya.
Rashid Ridho, dalam kitab tafsirnya, Al-Manar,
membahas masalah khalifah, secara literar. Yang dimaksud khalifah adalah Adam
dan semua keturunannya. Kemudian dia mempertanyakan tentang apa arti khilafah?
Apa yang dimaksud dengan penyerahan kepemimpinan? Apakah sebagian manusia
memimpin sebagian lainnya ataukah jenis manusia memimpin jenis yang lainya?.
Dia berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan itu, kemudian
mengatakan, “Sudah menjadi keputusan Allah swt. atas makhlukNya untuk
mengajarkan hukum-hukum-Nya kepada mereka, dan merealisasikanya di atas
tanggung jawab sebagian manusia yang akan dipilihNya agar menjadi khalifatullah dalam
melaksanakan segala perintah dan hukumNya. Mereka telah terhormat lantaran
kemulyaan manusia atas makhluk lainya.” Dengan demikian, makna khilafah
mencakup atas seluruh manusia. Hal ini dikarenakan Allah telah memberikan
kekuatan nonfisik, kemampuan akal, perasaan dan panca indra kemanusiaan.
Sehingga dia memiliki kemampuan untuk mengendalikan mahkluk yang lain.
Melalui keistimewaan dan perbedaan ini, manusia akan dimintai
tanggung jawab akan jati dirinya, watak kebebasannya dan perbuatannya,
sebagaimana Allah menegaskan dalam firmanNya,
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri.
meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya” (Al-Qiyamah: 14-15).
Manusia juga akan ditanya tentang pengetahuannya mengenai alam dan
lingkungannya serta hubungan keduanya dengan dirinya. Allah berfirman,
“Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri
mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan.
Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan
dengan Tuhannya” (Al-Rum: 8).
Ayat tersebut mengingatkan kepada manusia jika mereka mau berfikir
tentang dirinya, sehingga mengenalnya, maka dia akan tahu hakikat segala yang
ada baik yang rusak dan yang terlindungi, dan mengetahui hakikat langit dan
bumi, kekuasaan sang Pencipta, kebesaran ilmuNya, hikmah penciptaan makhlukNya
dan anugerah yang telah diberikan-Nya kepada manusia.
Dengan demikian, manusia wajib berfikir dan berusaha memahami
dirinya, alam sekitarnya, dan berusaha mengenali dirinya. Karena barang siapa
yang mengenal dirinya sendiri, maka dia akan tahu bagaimana cara mengontrol
dirinya, dan barang siapa mampu mengontrol dirinya dengan baik, maka dia akan
bisa mengatur alam secara baik, sehingga dia akan menjadi khalifah-khalifah
Allah yang disebut dalam firman-Nya “Allah akan menyerahkan
kepemimpinan di muka bumi kepada mereka”.
Kepemimpinan ini menuntut manusia agar menjadikan dirinya mampu
membangun dan meramaikan bumi, membersihkan jiwa dan memperbaikinya dengan
ilmu, pengetahuan, penglihatan dan intelektualitas yang telah diberikan oleh
Allah. Dikarenakan, hal ini bisa menjadikannya seorang peneliti dan pengamat
suatu perkara sehingga mendapatkan petunjuk yang sesuai dengan risalahnya,
mengetahui subtansi khilafah dan kedudukannya yang telah dijelaskan Allah
diberbagai tempat. Allah befirman,
“Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di
waktu senja. dan dengan malam dan apa yang diselubunginya, dan dengan bulan
apabila jadi purnama, sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam
kehidupan),” (al-Insiqaq:
16-19).
Berdasarkan penjelasan ini, maka manusia merupakan kekuatan yang
kreatif, jiwa yang selalu berkembang dan elemen yang tetap dalam tahapan wujud.
Oleh sebab itulah manusia membutuhkan proses untuk sampai padanya, dan harus
mengungkap rahasia-rahasia yang ada dan membahas sifat-sifat dasarnya,
mangembangkan segala kemungkinannya dan mengambil manfaat di setiap dimensinya.
Dengan begitu, maka jelaslah arti kepemimpinan manusia, yang
menjelaskan tentang bentuk tangung jawab yang berada di tempat yang telah
diciptakan dan disiapkan baginya. Dalam komentarnya, di kitab Muwafaqat karya
Syatibi, Muhammad Husain Makhluf mengatakan, “Pertanyaan malaikat itu hanya
bertujuan untuk membuka hikmah dan menghilangkan keraguan yang ada pada jiwa
mereka. Mereka tidak paham makna khilafah, apa yang menyebabkan adanya
perbedaan watak dan susunan campuran manusia. Allah berfirman “Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“
Melalui ayat ini, Allah telah menunjukan kepada malaikat atas
sedikitnya pengetahuan yang mereka miliki dan memperlihatkan keilmuan Adam,
sehingga mereka bertambah yakin dan tahu akan kelayakan Adam sebagai
pemimpin, bukan mereka. Sebagai khalifah di muka bumi, membangunnya serta mengatur
makhluk, membersihkan jiwa dan memperbaikinya, manusia harus bersikap objektif
dan subjektif, menjaga keterpaduan keduanya. Hal ini supaya khalifah bukan
malaikat, melainkan manusia. Adam merupakan manusia pilihan Allah sebagai
khalifah, karena mempunyai dua sifat; keagungan dan kebesarannya. Dalam hal ini
Nabi saw. bersabda: “Adam diciptakan atas bentuknya.” Pada
diri Adam mengandung hal-hal yang saling bertentangan, perkembangan yang
sempurna dan kebenaran.
Penciptaan Adam hanya bisa sempurna secara baik yang akan dia
lakukan yaitu, khalifah di muka bumi. Karena itulah Allah memberikan keutamaan,
kedudukan tinggi dan keistimewaan yang sesuai dengan derajat kepemimpinan,
serta memberikan perkara yang sesuai dalam mengemban tanggung jawab yang berupa
ilmu.
Ar-Razi dalam tafsirnya, Al-Kabir, berpendapat bahwa
firman Allah, “Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya,” yang dimaksud adalah Allah memberikan pengetahuan tentang
sifat dan bentuk-bentuk benda, yakni pengetahuan tentang hakikat benda-benda
dan memberinya akal supaya dapat memperoleh pengetahuan tentang benda-benda
tersebut.
Rasyid Ridha dalam tafsirnya, Al-Manar, menerangkan
tentang karakteristik pengetahuan Adam. Dia mengutip pendapat Muhammad Abduh
yang mengatakan, “Pengetahuan Adam tentang segala sesuatu tidaklah dibatasi
oleh ruang dan waktu. Allah maha kuasa atas segala sesuatu. Keistimewaan ini
dimiliki oleh semua keturunan Adam. Mereka bekerja keras dengan seluruh
kemampuanya untuk mengetahui segala benda dengan menganalisa dan menilitinya.”
Sedangkan Imam Qurtubi berpendapat bahwa, kepemimpinan manusia
maksudnya adalah Allah memberi kekuatan imateri, keistimewaan maknawi dan
penemuan-penemuan akal yang bisa menjadikan kebenaran mengalahkan keburukan.
Begitu juga di antara orang-orang yang sempurna dan terpilih, terdapat
individu-individu yang memperlihatkan kuatnya kebaikan serta mengatur makhluk
dengan hikmah Allah dan merealisasikan syari’atNya. Sehingga mereka mengetahui
hal yang hak dan baik diatas perkara yang jelek dan batil, mensucikanNya dengan
sungguh-sungguh dengan memujiNya atas kenikmatan yang telah diberikan yang
berupa cita-cita, mampu bekerja keras dan melawan hawa nafsu serta
mengalahkannya. Mereka juga mensucikanNya, yang tumbuh melalui proses belajar
mereka tentang tanda-tanda kebesaraNya, dan bukti kekuasaanNya dari keindahan
alam melalui ilmu atau pengetahuan yang tidak diberikan kepada yang lainnya.
Dia juga berpendapat bahwa Adam adalah jenis manusia yang secara
individu nampak sempurna dengan hakekat kemanusiaannya agar menjadi contoh bagi
generasi berikutnya. Sedangkan yang dimaksud dengan nama-nama benda yang telah
diberitahukan kepada Adam adalah hakikat benda-benda serta arti dan sebutannya
atas pengetahuan yang integral dan penamaan benda yang ada sesuai dengan
penamaannya. Karena nama yang membedakan suatu benda yang disebutkan tidak
mungkin diketahui secara pasti, kecuali setelah mengetahui karakteristik
masing-masing benda.
Adapun arti mengajarkan di sini adalah, Allah menitipkan arti
nama-nama itu dalam watak manusia dan kesiapan nalurinya melalui daya pikirnya,
pengetahuan akal dan spiritualitas yang telah diciptakan Allah serta mampu
mengetahui semua hakikat benda yang ada di bawah kemampuan manusia yang akan
nampak pada waktunya melalui suatu proses usaha dan belajar secara bertahap di
setiap waktu.
Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan
terpilihnya Adam sebagai khalifah, berdasarkan pada pemahaman saya dan
mayoritas para pemikir dan peneliti, kembali pada pemberian keistimewaan yang
berupa ilmu dan kesiapan watak untuk mencari ilmu dan pengetahuan yang dapat
membantunya untuk menjadi terdepan dan sampai pada bentuk yang telah
dicita-citakan, misalnya, kesempurnaan diri, tingkah laku dan perbuatan yang
menjadikan kebahagian di dunia dan akhirat.
Begitu juga, manusia berhak menjadi khalifatullah di
muka bumi karena manusia telah diberi ilmu dan pengetahuan tentang subtansi
segala sesuatu serta kesiapannya menyampaikan hukum dan syari’at Allah dalam
mengatur makhluk, yang itu tidak diberikan kepada makhluk lainnya.
Bahkan, kekholifahan itu juga tidak diamanahkan pada malaikat
yang begitu mulia, lebih unggul dan istimewa dari mereka, padahal mereka
senantiasa bertasbih, mensucikan Allah swt.
Sebagai makhluk yang terpilih menjadi khalifah, tidak menafikan
adanya sebagian manusia yang menyimpang dari ketentuan Allah dan jalanNya yang
lurus. Akan tetapi, pengetahuan manusia yang tidak terbatas itu merupakan
keistimewaan yang membedakannya dengan makhluk lainnya, sehingga mempunyai derajat
yang tinggi di atas semua kedudukan makhluk lainnya. Hal inilah yang
menjadikan manusia layak menempati posisi khalifah.
Allah telah memperlihatkan kepada malaikat tentang pengetahuan
yang dimiliki Adam tentang subtansi alam, ketentuan-ketentuan Tuhan dan
keilmuan yang pantas bagi makhluk yang terpilih menjadi khalifah. Hal itu
bertujuan untuk menampakan keutamaan dan kemuliaanya.
Ketika Allah memberitahukan sesuatu yang tidak diketahui oleh
malaikat, dan menjelaskan tentang keistimewaan serta kemuliaan manusia sehingga
pantas sebagai pemimpin, mereka mensucikan Allah dan mengembalikan pengetahuan
itu kepada Allah yang mengetahui segala sesuatu.
Dari sini, maka jawaban atas pertanyaan malaikat tentang sifat
pemimpin -Apakah hal itu demi kebaikan semata, seperti adanya malaikat
bertasbih dan mensucikan Allah? Ataukah berdasarkan pada keburukan yang sesuai
dengan kebijaksanaan dan keadilan Allah? Karena sifat pemimpin adalah mengatur
mahluk dengan menegakan keadilan, merealisasikan syari’at Allah dan mengarahkan
mereka untuk memuliakan segala yang ada melalui potensi karakternya-
adalah, hal itu dilakukan sebagai realisasi kenikmatan Tuhan yang hanya
diberikan kepada manusia. Allah berfirman,
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (al-Baqarah: 29)
Dengan demikian, Allah tidak membiarkan manusia tanpa
mengajarinya, membersihkan, mengarahkan dan menguatkan mereka dengan ilmu,
pengetahuan, perasaan dan intelektualitas dalam dunia ini, Allah berfirman,
“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah
(mendesak) sampai ke kerongkongan” (al-Qiyamah: 36)
“Mengajarnya pandai berbicara”. “Matahari dan bulan
(beredar) menurut perhitungan”. (Al-Rahman: 3-4).
“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata,
lidah dan dua buah bibir dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Al-Balad: 8-10)
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada
yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (Al-Insan: 3).
Tentu manusia sebagai pemimpin makhluk benar-benar mendapatkan
perhatian yang begitu besar serta pertolongan yang luarbiasa dari Allah,
sehingga Allah tidak melepaskannya dengan sia-sia, akan tetapi Allah
mengistimewakannya dengan ilmu, akal serta menunjukan dan mengarahkan manusia
agar mampu berfikir dan menganalisa agar memperoleh petunjuk. Dalam al-Quran,
manusia disebut secara jelas di 65 tempat lebih, dan pada falsafahnya
yang mendalam. Keistimewaannya sebagai pembedaan, yang sekiranya dia sebagai
individu dari jenis manusia atau dalam arti keseluruhan insan.
Dengan kecerdasanya, Ibnu Hazm menemukan makna insan dengan
mengatakan bahwa kata insan menunjuk pada semua jenis manusia. Seperti Firman
Allah“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian” (Al-”Asr:
2). Maksudnya adalah, semua anak cucu Adam as. Juga, menunjuk pada
individu-individu seperti lafadz, “Adakah manusia yang datang kepadamu
dan kamu mengenalnya, sedangkan kamu bertambah anak dan istri, ataukah ada
seseorang yang menolongmu.” Sehingga menurut Ibnu
Hazm, kata insan terkadang bermakna semua jenis manusia atau
individu. Inilah yang nampak dalam kebahasaan dan penjelasan teks. Di tema yang
lain, Ibnu Hazm memperjelas tentang arti insan. Menurutnya, kata “semua
manusia” menunjuk pada individu-individu. Makna inilah yang dimaksud dalam
firman Allah “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi
kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah” (Al-Ma’arij:
19-20). Dalam ayat ini, Allah tidak bermaksud hanya pada satu orang, akan
tetapi semua jenis manusia. Terkadang juga dikatakan ‘insan mutlak’
yaitu, mahluk yang memiliki sifat-sifat sepert, bisa berbicara, hidup,
mempunyai warna, tinggi, lebar dan lain sebagainya. Sifat yang ada pada Zaid,
Khalid, Hindun, Zainab dan setiap individu itu disebut dengan al-insan al-juziy’ (bagian
dari manusia). Zaid disebut manusia, sama halnya dengan Amr dan yang lainya.
Sedangkan al-insan al-kulli, sifat yang dimiliki
semua yang telah disebutkan yaitu, setiap manusia. Bagian ini tidak tercakup
sama sekali. Dengan arti, bagian ini bukan menjadi sifat karena sifat adalah
hal yang dicakup bukan mencakup. Sedangkan materi adalah pembawa bukan dibawa.
Secara etimologi maupun terminologi, kata insan mempunyai
arti seluruh manusia yang mencakup semua keturunan Nabi Adam, dan semua jenis
manusia masuk dalam jenis manusia. Dengan menganalisa kata insan serta
mengamati kondisi para peniliti dan pembahas terdahulu serta orang-orang yang
ditemuinya, Ibnu Hazm berkata, “Dalam memahami kata ini (insan), para
pakar berbeda pendapat. Kelompok pertama mengatakan bahwa kata insan tertera
pada jiwa bukan badan, sedangkan kelompok kedua mengatakan pada badan bukan
jiwa, dan kelompok ketiga berpendapat kata insan menunjuk pada
badan dan jiwa.” Adapun yang menjadi pokok perdebatan dalam hakikat insan adalah,
apakah insan itu jasad atau jiwa ataukah kedua-duanya? Dalam
hal ini para filosof Yunani maupun muslim mempunyai perbedaan yang amat
mendalam, sehingga banyak sekali pendapat dan pemikiran. Hal ini dikarenakan
hanya Allah yang mengetahui rahasia ciptaan-Nya. Dengan demikian, tidak
ada satu orang pun yang mengetahui rahasia keserasian dalam perwujudan manusia,
sehingga sangat sulit menyakini dan memahaminya. Dalam Al-Quran, Allah
menjelaskan tentang esensi dan watak manusia dengan firmaNya,
“Yang demikian itu ialah Tuhan Yang mengetahui yang ghaib
dan yang nyata, Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang membuat segala
sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia
dari tanah Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur”. (Al-Sajdah:
6-9).
Ayat ini mengandung semua esensi dan hakikat proses penciptaan
manusia. Untuk lebih memperjelas dan detail, saya memaparkan firman Allah “Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.” (al-Mu’minun:
12), ayat ini menjelaskan segi materi dalam diri manusia yang berupa
jasad (badan). Adapun firman Allah “Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (al-Hijr: 29), ini
menjelaskan sisi jiwa, ruh yang bersemayam di badan manusia. Sedangkan firman
Allah “Jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)” (al-Syams: 7), ini
menerangkan segi subtansi manusia, jiwa kemanusiaan.
Semua ayat di atas menjelaskan tentang kondisi dan tabiat
pembentukan manusia yang tersusun dari materi yang berupa badan, serta ruh dan
jiwa. Inilah hakikat manusia. Dengan demikian, insan adalah
badan yang serupa dengan segi materi yang berbentuk. Sedangkan jiwa dan ruh
merupakan dua hal yang menyerupai sisighoib yang metafisik.
Kemudian ada beberapa ayat yang secara berurutan menjelaskan
tentang segi materi. Ayat-ayat ini membicarakan tabiat dan jenis materi itu.
Allah berfirman,
“Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar.” (al-Rahman:
14)
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang
berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (al-Hijr: 28)
Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya - sedang dia
bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan
kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu
seorang laki-laki yang sempurna?” (al-Kahfi: 37) dan
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia
diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan yang keluar dari
antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” (al-Thariq:
5-7).
Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah menciptakan
manusia dari mater; lumpur dan tanah kering, yakni tanah dan air. Inilah
materi yang membentuk badan manusia. Pada kenyataannya, pendapat inilah yang
disepakati. Ditinjau dari pandangan para ulama dan filosof yang mendalami hal
ini, mereka mengatakan bahwa badan manusia tercipta dari beberapa unsur-unsur
bumi yaitu, air dan tanah yang bisa menciptakan oksigen, hydrogen, karbon, zat
besi, potasium, kalsium dan unsur-unsur lain tanah yang berpindah ke dalam
tubuh manusia dengan jalan mengonsumsi makanan nabati dan hewani yang berasal
dari bumi.
Sebenarnya, manusia bukan hanya berupa badan, seperti yang telah
dipaparkan, Akan tetapi juga terdiri dari ruh dan jiwa. Hal ini sangat jelas
dalam firman Allah swt, pendapat para filosof dan para intelektual. Artinya,
ketika berbicara tentang manusia tidak akan lepas dari badan, ruh dan jiwa.
Seperti pendapat Jalal al-Duwani dalam bukunya Haqiqah al-Insan,
dia mengatakan, “Manusia itu terdiri dari tiga
unsure; jasad kasar, jasad lembut, dan ruh. Pertama, jasad kasar
adalah jasad yang berbaring di atas ranjang di waktu tidur, yaitu jasad yang
rusak setelah mati. Kedua, jasad imateri adalah tubuh yang terpisah
dari jasad kasar pada saat tidur yang menjelajahi cakrawala langit dan bumi
yang dalam terminologi syari’at biasa disebut ruh. Ketiga, ruh yang
menghubungkan antara jism kasar dan lembut yang tidak berbentuk.” Inilah
maksud firman Allah,
“Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit”. (Al-sra’: 85).
Sebenarnya, al-Qur’an telah membedakan antara ruh, jiwa dan badan,
serta masing-masingnya mempunyai makna tertentu.
Dalam al-Qur’an, kata “ruh” disebut sebanyak dua puluh kali. Di
antaranya adalah firman Allah swt,
“Sesungguhnya Al Qur‘an ini benar-benar diturunkan oleh
Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan“ (Al-Syu’ara’:
192-194).
Ada juga yang dimaksudkan dengan ruh manusia yang merupakan
rahasia ilahi, yakni yang menjadikan manusia tetap hidup sebagaimana firman
Allah,
“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang
hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya
dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu
sedikit sekali bersyukur.” (Al-Sajadah: 8-9).
Ruh adalah rahasia ilahi yang tampak pada Maryam, sehingga dia
melahirkan janin yang hidup. Dengan dasar ini, maka ruh merupakan urusan Allah
yang tidak diketahui keberadaanya kecuali Dia. Hal ini sesuai dengan firman
Allah,
“Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit.’” (al-Isra’: 85).
Sedangkan jiwa disebut dalam al-Qur’an sebanyak 126 ayat dengan
kata jamak“nufus” dua kali dan kata “anfusin” sebanyak
153 kali.
Adapun yang dimaksud dengan arti nafs di semua
ayat ini adalah jiwa beserta unsur-unsur materi dan ruh yang fisik maupun
metafisik. Sehingga nafs itu dapat binasa.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin
Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa
menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan
barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala
akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur.” (Al-Imran: 145) dan
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah
beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.” (Al-Imran: 185).
Oleh sebab itulah Allah berfirman,
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas
kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan
kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik
yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar”. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (Al-An’am: 151).
Dengan adanya ayat ini, nafs tidak sama
dengan ruh yang merupakan rahasia kehidupan, dan juga tidak sama dengan badan.
Ruh lebih dekat sebagai ungkapan akan dzat manusia ketika ruh masuk dalam badan
sehingga menjadi jiwa manusia.
Kebenaran pendapat ini berdasarkan pada ucapan “nafs binasa,
ruh keluar”. Dengan arti, ruh akan keluar dari badan manusia yang meninggal
karena ruh tidak mati. Kata jasad disebutkan dalam al-Quran sebanyak empat kali
dengan arti bentuk atau gambar. Dalam hal ini, manusia terdiri dari tiga
istilah yaitu, badan, nafs dan ruh. Hal inilah yang menyebabkan para filosof
berbeda pendapat dalam mengartikan kata “insan“?
Al-Asy’ari menjelaskan tentang perdebatan besar ini dalam
bukunya Maqalah al-Islamiyah. Dia mengeluarkan 19 pendapat tentang
esensi manusia menurut para pemikir. Dia berkata, orang-orang berbeda pendapat
mengenai kata insan, apa insan itu? Menurut Abu al-Huzail al-’Alaf, manusia
adalah suatu bentuk yang tampak mempunyai kedua tangan dan kaki.
Ada sebagian berpendapat bahwa badan adalah manusia, sedangkan sifat-sifatnya
tidak termasuk badan. Badan harus mempunyai sifat dari beberapa sifat. Manurut
Basr bin Mu’tamar, insan adalah jasad dan ruh. Keduanya merupakan insan. Adapun
yang banyak aktifitas itu adalah manusia yang berupa jasad dan ruh. Abu Huzail
tidak mengatakan bahwa bagian tubuh tidak mempengaruhi bagian yang lain dan
tubuh tidak bekerja dengan yang lain. Akan tetapi, dia mengatakan bahwa yang
bekerja adalah bagian-bagian tubuh ini.
Menurut Dharar bin Amr, manusia terdiri dari banyak hal, yaitu
bentuk, warna, rasa, kekuatan dan yang menyerupainya. Ketika hal-hal ini
menjadi satu, maka disebut manusia. Dalam diri manusia tidak mempunyai bentuk
selain itu. Husain al-Najjar dan pemikir lainya menyangkal bahwa kekuatan itu
hanya sebagian manusia.
Iyadh bin Sulaiman berkata, “Kalau dianalogikan, arti insan adalah basr (manusia),
begitu juga sebaliknya.” Dia menganggap bahwa manusia itu berupa benda dan
sifat-sifat. Dhirfan menceritakan bahwa Hisyam bin Hakam pernah mengatakan
bagaimana intelektual muslim disibukkan dengan cinta dan faktor-faktornya,
serta rindu dan tanda-tandanya. Bagaimana mereka mengarang beberapa risalah dan
buku-buku mengenai hal itu. Cinta yang kami teliti dan bahas dalam kesempatan
ini tak lain hanyalah cinta manusia. Karena sasaran atau fokus kami adalah
membahas filsafat kemanusiaan dalam Islam. Oleh karena itu kami tidak
menyingung cinta Allah, karena tempatnya bukan di sini akan tetapi berada di
para penikmat tasawuf. Mudah-mudahan studi kami mengenai filsafat manusia dalam
Islam bisa menyuguhkan beberapa point, dan pembahasan kami mengenai beberapa
tema yang memperhatikan manusia di setiap waktu dan tempat, bahkan filsafat itu
sendiri adalah manusia itu. Sebagaimana yang telah kami jelaskan di sela-sela
pembahasan kita tentang jiwa, akhlak dan cinta. Insan adalah
sebuah nama bagi dua arti, badan dan ruh. Badan akan binasa, sedangkan ruh
adalah penggerak imateri yang mengikuti fisik. Ia adalah cahaya. Menurut Abu
Bakr, manusia adalah sesuatu yang terlihat. Ia adalah sesuatu yang tidak
mempunyai ruh. Insan merupakan benda yang tersendiri. Sehingga Abu Bakr
menafikan insan selain bisa di rasa dan dilihat.
Nidzam mengatakan, insan adalah ruh yang merasuki badan serta
mengikat seluruh tubuh. Sedangkan badan sebagai penutup, penahan dan penekan
ruh. Asy’ari memberikan komentar lain yang disampaikan oleh Dzirfan. Dia
mengatakan ruh adalah suatu imateri yang dapat dirasakan. Ruh merupakan satu
bagian dan tidak berupa cahaya atau kegelapan.
Ada beberapa orang, di antaranya adalah Ma’mar, yang berpendapat
bahwa manusia adalah bagian yang tidak dapat dibagi. Ia adalah pengatur dalam
dunia. Sedangkan badan merupakan sarana bagi ruh. Pada hakikatnya, insan tidak
bertempat, tersentuh atau bersentuhan dengan benda lain. Sehingga dia tidak
bergerak, diam, mempunyai warna dan rasa. Akan tetapi, dia mampu mengetahui
ilmu, mempunyai kekuatan, kehidupan, berkehendak dan rasa benci. Dia adalah
pengerak tubuh sesuai dengan kehendaknya, akan tetapi tidak bersentuhan dengan
tubuh.
Ada sebagian orang yang mengatakan, insan adalah
bagian yang tidak dapat dibagi, dan boleh baginya bersentuhan, nampak, bergerak
dan diam. Ia adalah bagian tubuh yang bersemayam dalam hati dan mempunyai
beberapa sifat. Ini adalah pendapat para ulama shalih.
Menurut Ibnu Rawandi, insan adalah hati, berbeda
dengan ruh. Ruh bersemayam di dalam badan. Ada juga yang berpendapat, al-insan adalah
ruh dan panca indra termasuk bagiannya. Insan adalah satu jenis yang tidak
berbeda dengan ruh. Hanya saja berbeda penemuannya. Insan dapat diketahui dari
sisi lain. Sehingga pengetahuan tentang ruh akan berbeda karena perbedaan
campuran. Mereka adalah Dishaniyyah.
Diceritakan dari para pengikut Markuni bahwa mereka mengangap
bahwa di dalam badan terdapat panca indra dan ruh. Ruh itulah yang disebut
sebagai insan. Adapun panca indra tidak termasuk ruh, hanya saja, kehendak
panca indra sampai pada ruh. Sehingga mereka menjadikan ruh sebagai jenis
ketiga yang tidak berupa cahaya atau kegelapan.
Menurut ahli fisika, manusia terdiri dari campuran panas, dingin,
kering dan basah. Begitu juga panca indra, daging dan darahnya. Semua itu
adalah manusia. Ashab al-Hayuli mengatakan ada berbagai
pendapat yang berbeda-beda. Sebagian menganggap bahwa manusia adalah benda
hidup yang bisa berbicara dan mati. ia disebut manusia ketika hidup, berbicara
dan bisa mati. Dan sebelum itu tidak disebut manusia. Ada juga yang berpendapat
bahwa manusia adalah yang hidup dan bisa berbicara. Inilah bentuk dan
sifat-sifatnya.
Sebagaian yang lain mengatakan bahwa insan adalah sesuatu yang ada
dalam benda, tidak bersentuhan, tidak nampak dan tidak bercampur dengan
lainya. Ia ada dalam benda dan sebagai pengaturnya.
Dr. Ahmad Subhi berpendapat bahwa definisi al-insan menurut
berbagai pendapat memiliki urgensi yang khusus karena adanya dasar di setiap
madzhab itu. Begitu juga membatasi peran-peran yang umum di dalamnya. Sedangkan
Aristoteles mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berfikir. Hal ini
dikarenakan semua filsafatnya membahas seputar esensi manusia. Pada zaman
modern ini, Marxis mendefinisikan insan sebagai hewan yang
membuat alat yang sesuai dengan pekerjaanya. Karena sisi ekonomilah yang
menjadi acuan pendapatnya.
Umat Islam mendefinisikan manusia sebagai sesuatu yang wujud,
memikul beban dan akan ditanya tentang segala tindakan dan
budi pekertinya. Hal ini dikarenakan Islam adalah perbuatan dan budi pekerti
yang keduanya merupakan muara bagi pemikiran Islam. Manusia sebagai pengemban
amanah diberikan tanggung jawab akal, akhlak dan syari’at. Sehingga Allah
menciptakan baik dan buruk “fahadainahun najthain“, dan saya menunjukan
dua penemuan. Dengan demikian, manusia akan diminta pertangungjawaban atas
segala tindakan yang telah dilakukannya tergantung kebebasan yang berkaitan
dengan perbuatan dan tingkah laku. Sehingga intelektualitas dan perbuatan
memiliki keterkaitan yang sangat erat. Kesimpulan inilah yang dapat saya ambil
dalam membahas tentang filsafat manusia. Hal ini juga disebabkan karena
perbedaan definisi di kalangan umat Islam. Akan tetapi, mereka tidak berbeda
pendapat dalam sifat dasar manusia yang berupa tanggung jawab. Tidak ada dalam
definisi mereka yang bertentangan dengan sifattaklif.
Ibnu Hazm lebih memperjelas pendapat-pendapat umat Islam tentang
esensi manusia dan mendeskripsikannya. Dia mengatakan, “Sebagian orang
berpendapat bahwa insan terletak di badan, bukan pada jiwa.
Inilah pendapat Abu Huzail al-’Ilaf. Ada juga yang mengatakan bahwa al-insan adalah
jiwa, bukan jasad, pendapat ini adalah pendapat Ibrahim al-Nidzam. Sebagian
lain mengatakan, manusia terletak pada tubuh dan jiwa seperti belang-belang
yang pasti mempunyai warna hitam dan putih.
Pendapat pertama, menurut al-’Ilaf dan orang yang mengikutinya,
mengatakan bahwa al-insan adalah jasad, maksudnya adalah bahwa
manusia merupakan jasad atau materi saja. Hal ini berdasarkan ayat-ayat yang
menyatakan tentang penciptaan manusia yang berasal dari materi seperti debu,
tanah liat dan air. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa manusia adalah
bentuk lahir seseorang yang mempunyai dua tangan dan dua kaki. Sebuah perbuatan
tidak bisa dikaitkan hanya pada satu anggota badan karena yang melakukan adalah
seluruh tubuh manusia. Definisi al-’Ilaf di atas, hanya menunjukan pada watak
manusia yang menjadi pelaku, yang dibebani dan bertangung jawab. Orang yang
akan diberi pahala berupa kenikmatan dan disiksa yang berupa kepedihan, itu
atas apa yang dilakukannya. Sehingga anggota badan yang tidak merasakan
kenikmatan atau kesengsaraan tidak bisa disebut sebagai bagian dari apa yang
dinamakan manusia. Asy’ari menceritakan, bahwa Al-Huzail menjadikan rambut
manusia dan kukunya termasuk bagian dari manusia. Menurut ‘Alaf, ketika seseorang
tidur, dia tidak diminta pertanggungjawaban atas apa yang dia lakukan saat
tertidur, karena jiwa dan ruhnya hilang, tapi masih hidup.
Pendapat kedua yaitu, pendapatnya al-Nidlom dan orang yang sepakat
dengannya, mengatakan bahwa manusia adalah jiwa, bukan jasad. Hal ini
berdasarkan pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang jiwa yang bermakna insan.
Sedangkan badan adalah sarana dan menjadi pijakan jiwa. Badan manusia mengikat
dan menahan jiwa. Adapun ruh adalah jism yang tidak telihat yang masuk kedalam
tubuh, menyusup di semua bagian tubuh, berjalan di setiap bagian-bagiannya
bagaikan mengalirnya air yang kekal dari awal kehidupan sampai akhir.
Sehingga hubungan ruh dan badan, menurut Nidzam, adalah hubungan
yang saling mempengaruhi. Dengan arti, ruh mengikat seluruh badan dan
bersemayam di dalamnya sebagai operator yang mengerakan badan, bukan sebagai
perasa atau penemu. Sedangkan panca indra hanyalah urat-urat yang memasukan
sesuatu kedalam ruh. Kemampuan mengetahui bukanlah tugas ruh. Hal itu merupakan
kehendak Allah dengan menciptakan panca indra kepada manusia.
Ibnu Hazm menguatkan kebenaran kedua pendapat itu, karena
bertendensikan ayat-ayat al-Quran. Dia berkata, “Dua pendapat ini benar, tidak
ada yang lebih utama dan tidak diperbolehkan memperdebatkannya. Hal ini
dikarenakan kedua pendapat tersebut bersumber dari Allah SWT. Sedangkan apa
yang bersumber dari Allah, tidak ada perbedaan.” Allah
berfirman,
“Kalau kiranya Al Qur‘an itu bukan dari sisi Allah, tentulah
mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Al-Nisa’: 82).
Dengan adanya beberapa ayat, jelaslah bahwa manusia adalah jiwa,
bukan jasad atau berupa jasad, bukan jiwa dan juga kedua-duanya. Dalam hal ini
Ibnu Hazm berpendapat, “Yang disebut sebagai manusia adalah jiwa, bukan tubuh.
Bisa juga sebagai sebutan bagi tubuh, bukan jiwa atau kedua-duanya.” Dalam
pendapatnya, Ibnu Hazm mengutip teks-teks al-Qur’an dan mengaitkannya
dengan jiwa dan jasad dengan benar dan tidak mentakawilkan dengan
penakwilan yang keluar dari maknanya.
Ibnu Hazm berusaha mengambil setiap teks-teks al-Qur’an secara
global dan berusaha tidak asal-asalan dalam mencocokkannya, yang bisa keluar
dari arti yang dimaksudkan. Dia membuktikan kebenaran pendapat tersebut dengan
kaidah bahasa. Dia mengatakan, bahwa kita mengatakan yang hidup adalah manusia
yang mempunyai jasad dan jiwa. Seperti halnya orang mati yang hanya mempunyai
tubuh. Sebelum hari kiamat, tubuh manusia akan disiksa dan jiwa akan merasakan
kenikmatan, bukan jasad.
Ibnu Hazm menentang pendapat yang mengatakan, yang dinamakan
manusia adalah ruh dan tubuh. Penentangan ini disebabkan karena manusia
dipahami dengan pemahaman yang tidak sesuai teks-teks yang ada dan juga
pendapat yang terbatas dan sempit. Dengan arti, menurut Ibnu Hazm, manusia sangat
luas dan kompleks dari definisi yang telah dilontarkan oleh para filosof dan
kaum intelektual. Pendapat tersebut semata-mata berdasarkan pada konsep yang
ada dalam teks keagamaan, realitas bahasa dan pengunaanya secara benar yang
bersandarkan pada logika.
Menurut Ibnu Hazm, pemahaman sempurna tentang manusia telah banyak
di paparkan oleh para filosof dan psikolog seperti Lasibleh yang dalam konsepsi
dan analisisnya tentang manusia, memaparkan adanya tiga dimensi dalam diri
manusia.
Pertama dimensi luar (le
dehors), yaitu dimensi yang tampak pada manusia yang berupa tubuh.
Sehingga insan menerima segi materi yang terlihat secara
natural. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan al-Juba’i. Dia beranggapan bahwa manusia
adalah suatu bentuk yang tersusun. Dengan arti, bentuk yang nampak pada manusia
seperti apa yang ditunjukan oleh sebuah bangunan atas susunan tubuh manusia.
Ketika muncul pertentangan adanya kemungkinan kemiripan bentuk dan tingkah
manusia, Abu Hasyim, putra al-Juba’I, mensyaratkan adanya daging. Ketika dia disanggah
bahwa hal itu tidak bisa membedakan manusia dengan hewan, dia tidak mau
kembali lagi pada pendapat Aristoteles dalam mendefinisikan manusia dan
kemampuan berfikir yang membedakannya dengan hewan. Jika kita memahami semua
itu hanya dari segi perkataan yang diucapkan orang yang bisu kita tidak akan
memahaminya. Maka pendapat Juba’I dan putranya dalam membatasi dan mempersempit
definisi manusia dari salah satu segi dan dimensi-dimensinya merupakan hal yang
salah. Adapun yang dapat disimpulkan adalah penjelasan tentang pemikiran para
filosof dalam menjelaskan hakikat manusia.
Kedua dimensi batin (le
dedons), yaitu dimensi yang ada dalam tubuh manusia yang serupa ruh. Ia
merupakan segi imateril pada manusia.
Ketiga dimensi jiwa (le
dessus), yaitu dimensi di atas jasad dan ruh. Yakni, badan dan ruh dalam
kesatuan, kesempurnaan dan keselarasanya.
Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa pendapat Ibnu Hazm
mendahului Lasibleh dalam memahami manusia dan
pemikirannya yang sempurna tentang manusia. Sehingga yang dinamakan manusia
adalah jasad, ruh dan jiwa. Inilah akhir pendapat Ghazali yang akan
diterangkan.
Akan tetapi, ketika jasad telah mati dan kaku, ia tidak akan
bergerak kecuali digerakan oleh jiwa, maka kita akan membahas tentang jiwa dan
mempelajarinya secara khusus untuk mengetahui dan memahaminya. Jiwa adalah dzat
manusia ketika ruh masuk dalam badan, jasad yang mati. Kemudian jasad menjadi
jiwa yang hidup, jiwa manusia.
Sekian, semoga bermanfaat.
0 comments