SINAU FILSAFAT - Sebagaimana nampak dengan jelas
para filosof dan ahli kalam terhadap studi untuk mempelajari jiwa (nafs),
dan mereka disibukkan dengan mendefinisikannya setelah mereka mengetahui arti
pentingnya, nilainya, dan keilmuannya, dan walaupun demikian jiwa tersebut
belum diketahui apapun tentang dzatnya, dan tidak mengenal perihal karakternya,
maka mereka mulai mempelajari dan mendefinisikannya. Al-Kindi berkata:
“Sesungguhnya jiwa itu sederhana. Ia mempunyai kemuliaan dan kesempurnaan yang
agung, esensinya itu berasal dari esensi Allah SWT, seperti analogi pantulan
cahaya matahari itu berasal dari matahari.
Begitu juga, menurut al-Kindi, jiwa itu independen dari tubuh,
dengan melihat esensi darinya, dan jiwa itu dilindungi dari efek
bintang-bintang/planet, dimana planet-planet itu hanya mempengaruhi terhadap hal-hal
yang alamiah. Jiwa manusia menurut al-Kindi adalah esensi yang luas lagi kekal,
esensi tersebut turun dari alam logika ke alam materi.
Al-Kindi terpengaruh terhadap definisinya dengan pendapat-pendapat
plato dan aflotin, dan sajiannya pada tulisan kecilnya yang bernama al-Qaul
fi an-Nafs min Kitab Aristo wa Aflaton wa Sair al-Falasifah.
Pengaruh filsafat nampak begitu jelas terhadap al-Farabi, dan
khususnya dalam definisinya terhadap jiwa (an-nafs) bahwasanya ia adalah
bentuk kesempurnaan dari inti bentuk yang mekanis, yang mempunyai kehidupan
melalui sebuah kekuatan. Jiwa menurut al-Farabi merupakan bentuk bagi badan
seperti yang dikatakan oleh Aristoteles. Akan tetapi al-Farabi tidak hanya
berhenti pada merasakan pentingnya pendapat ini. Kemudian setelah dipastikan
al-Farabi merujuk atas pendapat bahwasanya jiwa yang berakal itu adalah esensi
manusia, karena esensi manusia itu terdiri dari dua unsur; salah satunya
dari ‘alamul amr’ (alam universal) yaitu alam ilahi dan unsur
yang lain dari alam indrawi. Beliau menjelaskan hal tersebut dalam
kitabnya Ats-tsamrah al-Mardhiah, beliau berkata: ” Engkau tersusun
dari dua esensi; salah satunya terbentuk, tergambar, terukur, bergerak, diam,
mempunyai jasad, dan terbagi-bagi, sedangkan yang kedua itu berbeda dengan yang
pertama dalam sifat-sifat ini, serta tidak sama dalam dzat sebenarnya yang
dinalar oleh akal dan yang ditolak oleh akal. Engkau telah dikumpulkan
dari alam indrawi dan alam universal karena ruhmu berasal dari Tuhanmu, dan
dengan demikian engkau adalah ciptaan Tuhanmu.” Artinya, sesungguhnya jiwa
menurut al-Farabi merupakan yang bersifat ruhiah madiah yang
terkumpul dari dua unsur, yaitu unsur ruh dan unsur materi. Al-Farabi dalam
pendapat ini mendekati gambaran Al-Qur’an jiwa manusia secara umum.
Adapun Ibn Sina sepakat dengan al-Farabi dan al-Kindi dalam
perhatian terhadap jiwa, mempelajarinya dan mendefinisikannya. Beliau berkata
mengenai hal itu, bahwasanya jiwa merupakan bentuk kesempurnaan inti dari jisim
natural yang mekanis dari sisi ia melakukan tindakan-tindakan yang bersumber
dari pilihan-pilihan (pen: melalui proses) pikiran dan penggalian pendapat, dan
dari sisi memahami persoalan universal.
Ibn Sina mencoba membuktikan wujud jiwa sebelum ia berbicara
mengenai sifat-sifatnya, karakternya, dan definisinya. Karena beliau
berpendapat, bahwasanya metode yang bagus itu mengharuskan seseorang agar
mengawali terlebih dahulu untuk menetapkan sesuatu yang ingin
dibicarakan, kemudian baru ia berbicara hal berikutnya.
Oleh karena itu, Ibn Sina mendahulukan argumen-argumen dalam
menetapkan wujud jiwa daripada berbicara tentang karakternya. DR. Mahmud Qasim
berkata bahwasanya Ibn Sina melalui pembuktian wujud jiwa, beliau ingin
menjadikannya sebagai lintasan guna menjelaskan karakter dan perbedaannya dari
badan, agar hal tersebut bisa menjadi dalil bahwasanya jiwa itu bukanlah bagian
dari badan, yang eksis ketika badan itu ada dan binasa ketika badan itu rusak.
Dalam buku as-Syifa, Ibn Sina menegaskan bahwasanya
jiwa adalah esensi yang bersifat ruh natural yang bersemayam di badan
guna memonitoring dan mengendalikannya, sebagaimana seorang nahkoda yang berada
di sebuah kapal (yang berperan) untuk mengatur masalah kapal dan
memperhatikannya. Artinya, sesungguhnya Ibn Sina
menemukan definisinya terhadap jiwa, bahwasanya jiwa merupakan bentuk
sempurna inti bagi jisim mekanis alami, yang pada kenyataanya tidak bisa
memberikan pengetahuan tentang karakternya, karena seseorang akan
bertanya-tanya setelahnya, apakah jiwa itu abstrak ataukah konkrit? Oleh karena
itu, Ibn Sina menjelaskan pengertian dan definisinya bahwa jiwa adalah esensi
abstrak yang independen, yang berhubungan dengan badan agar ia mengatur,
memperhatikan, dan merealisasikan bentuk kesempurnaan baginya(badan), yang
merupakan bagian dari visi jiwa. Kesempurnaan itu makna sebenarnya berkomitmen
terhadap kebaikan-kebaikan serta mempraktekan fadilah yang bagus.
Adapun Ibn Hazm, beliau telah mencoba untuk mendefinisikan
jiwa. Beliau mengakui akan jiwa itu, kemudian beliau menyuguhkan empat definisi
terhadap jiwa. Dari situ beliau mencoba untuk menjelaskan hakekatny, dan
menjelaskan tabiatnya. Definisi-definisi ini terpisah di sejumlah tempat yang
berbeda dari buku-bukunya. Ibn Hazm menyebutkan dalam bukunya, al-Fasl,
bahwasanya jiwa merupakan jisim yang panjang, lebar dan dalam, yang mempunyai
tempat, berakal, dan bisa membedakan yang mengatur badan. Ibn
Hazm juga mendefinisikan jiwa dalam kitabnya, at-Taqrib, “Jiwa
adalah perasaan yang memahami melalui perantara panca indra.” Beliau juga menegaskan
dalam definisinya yang lain, “Jiwa merupakan operator yang membedakan, yang
hidup, dan pembawa akhlak.”Kemudian menampilkan
definisi keempat yang mana beliau mencoba menggabungkan didalamnya, semua ciri
yang beliau sebutkan dalam definisi-definisi sebelumnya guna menjelaskan
karakter jiwa dan mendefinisikannya hamper secara komprehensif. Beliau berkata,
“Sesungguhnya jiwa adalah yang mengatur tubuh, dan perasaan yang dinamis
berakal, dan sedangkan jasad merupakan benda mati yang tidak memiliki kehidupan,
dan benda mati yang tidak bergerak melainkan digerakkan oleh jiwa.
Definisi ini terdapat diakhir buku-bukunya yang menunjukkan atas
pengertian komprehensif dan hakekat yang jelas menurut Ibn Hazm. Karena
definisi yang pertama itu berbicara mengenai jiwa yang dianggap sebagai jisim
materialis, yang memiliki
panjang, lebar, tinggi, dan mempunyai tempat. Karena jiwa menurut Ibn Hazm itu
sesuatu yang diyakini ada, karena tidak sesuatu yang berwujud kecuali mempunyai
jisim-jisim dan bentuk-bentuk (al-’arad: al-munawir: 918), dan ketika
jiwa itu bukanlah bentuk (al-’arad: al-munawir: 918). Maka jiwa adalah
jisim, dan begitu juga jiwa itu berakal sekaligus operator. Inilah visi jiwa,
karena logika berfikir dan aturan merupakan hal-hal yang bukan bersifat materi,
yang mana tampak di dalamnya sisi logis dengan sisi materi yang natural.
Definisi ini juga senada dengan definisi Ibn Hazm tentang manusia, bahwasanya
ia adalah tubuh, dan manusia adalah jiwa. Manusia adalah keduanya secara
bersamaan sebagaimana yang kita tampilkan sebelumnya.
Definisi yang kedua, itu sesuai dengan pemikiran bahwasanya
manusia adalah jiwa perasa yang mempunyai kemampuan untuk memahami. Adapun
definisi yang ketiga, dalam definisi ini nampak kekuatan-kekuatan jiwa yang
aktif dan logis, yang membawa akhlak. Artinya, dalam definisi ini terlihat ada
hubungan antara jiwa dengan akhlak dan perilaku etis. Dari semua
definisi-definisi tentang jiwa yang disuguhkan oleh Ibn Hazm ini, kita bisa
mengatakan bahwasanya jiwa menurut Ibn Hazm adalah jisim yang mempunyai
panjang, lebar dan tinggi. Ini selaras dengan pemikiran, bahwasanya objek ilmu
alami adalah jisim (ilmu ath-thobi’i). Jiwa juga logis, berakal, dan
mengoperasionalkan tubuh. Jiwa itu sensitif terhadap indra, dan sesungguhnya
tubuh merupakan benda mati yang tidak mempunyai gerakan kecuali ia digerakkan
oleh jiwa. Jiwa juga yang mengatur dan yang mengoperasionalkan tubuh ini. Semua
ini menyilahkan kita bahwasanya jiwa menurut Ibn Hazm itu tergolong dalam
cakupan pembahasan-pembahasan ilmu natural (ilmu thobii), materialis,
dan realistis. Ini merupakan aliran yang paling dominan bagi para pemikir
Islam.
Ibn Hazm mulai menjelaskan definisi-definisi ini, dan
berargumentasi dengan argumen-argumen aqli dan naqli untuk
menunjukkan kebenarannya. Beliau menuju kepada
teks-teks dan sunah nabi, yang mana beliau membentangkan
definisi-definisinyanya itu dari teks-teks Al-Qur’an dan sunah tersebut. Beliau
ingin membuktikan keabsahan definisi-definisi yang beliau suguhkan melalui
argumentasi teks-teks Quran dan sunah nabawi. Maka beliau
menyebutkan firman Allah Ta’ala: Qs. Yunus: 30, dan firman Allah ‘azza
wajalla: Qs.Ghafir, dan firman Allah Ta’ala: Qs. An-Naml: 111, dan firman
Allah Ta’al: Qs. Al-Qiyamah: 2.
Ayat-ayat yang menjelaskan ini, itu menetapkan sifat jiwa yang
materialis, dan bahwasanya jiwa itulah yang beraksi, yang bekerja, yang benar
dan yang salah, sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat-ayat al-Qur’an.
Sesungguhnya jiwa juga bukan jasad, karena jiwa adalah yang menentang, yang
berbuat angkara, dan jiwa itu berakal, yang dijadikan objek, dan yang diberi
beban (taklif:tuntutan ketaatan). Jiwa juga yang memerintahkan keburukan,
dan ia diadzab menurut amal dan perbuatannya. Allah firman: Qs. Al-Imron
169-170.
Ibn Hazm berargumen() melalui firman Allah Ta’ala, guna
menunjukkan bahwasanya diantara jiwa-jiwa itu ada yang dilempar ke dalam neraka
sebelum hari kiamat, kemudian ia di adzab. Di antara jiwa-jiwa itu ada yang
diberi rizki dan menikmati kesenangan(farhan), dan jiwa itu merasakan
kebahagiaan sebelum hari kiamat. Dalam hal ini Ibn Hazm berkata: “Sudah pasti,
bahwasanya jasad keluarga fir’aun dan jasa-jasad orang yang terbunuh itu sudah
terpotong-terpotong dan musnah. Sebenarnya yang diadzab adalah jiwa yang
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan ini merupakan sifat dari
jisim, dan bukan sifat dari jauhar.
Kemudian Ibn Hazm membubuhkan hadits dari sunah nabi yang
menyepakati pendapatnya. Beliau menyebutkan perkataan Rasulullah Saw tentang “as-syuhada“(mati
syahid) bahwasanya Rasulullah melihat arwah para syuhada itu dalam sekumpulan
burung yang banyak di surga. Rasulullah saw juga bersabda, bahwasanya beliau
melihat jiwa-jiwa(nasam) bani adam(manusia) itu terletak di langit bumi,
di sisi kiri dan kanan adam. Maka betul bahwasanya jiwa-jiwa itu terlihat pada
tempat-tempatnya. Dengan demikian, jiwa merupakan jisim. Rasulullah mengatakan,
bahwasanya jiwa orang mukmin apabila dicabut itu akan diangkat ke langit, dan
jiwa itu dibuat seperti itu. Jiwa orang kafir apabila dicabut dibikin seperti
ini. Maka benar apabila jiwa-jiwa itu tersiksa, memperoleh kenikmatan, dan
berpindah-pindah dari beberapa tempat, dan ini adalah sifat dari jisim.
Artinya, sebenarnya Ibn Hazm mencoba untuk membuat definisinya
terhadap jiwa, bahwasanya jiwa adalah jisim yang sesuai dengan teks-teks yang
ada dalam al-Quran dan sunah. Untuk itu Ibn Hazm menolak sembilan belas
argumen, yang dijadikan sebagai dalil oleh orang
yang menentangnya dalam hal bahwasanya jiwa itu bukan jisim. Ibn Hazm akhirnya
meyakinkan bahwasanya jiwa itu jisim, untuk menetapkan wujudnya, dan jiwa itu
bukan “ard” dan bukan yang bersifat “jauhar” sebagaimana yang dianggap
oleh sebagian orang. Akan tetapi jiwa menurut Ibn Hazm adalah jisim yang
memiliki panjang, lebar dan tinggi, mempunyai atap, mempunyai garis, bentuk,
lebar, dan aturan-aturan yang mengelilinginya, yang mempunyai ruang dan waktu,
karena ini adalah ciri khas dari jisim.
Kenyataannya, bahwasanya Ibn Hazm dengan perkataannya ini, beliau
telah mengambil madzhab materialis dalam definisinya terhadap jiwa. Andaikata
ia berkata bahwasanya jiwa adalah jauhar, niscaya perkatannya tersebut lebih
sesuai untuknya. Terlebih lagi ia berpendapat bahwasanya semua jauhar adalah
jisim dan semua jisim adalah jauhar, dan keduanya adalah makna yang mempunyai
satu arti. Maka dari itu, perkataan Ibn Hazm bahwa jisim adalah jauhar, dan
jiwa adalah jisim, maka itu mempunyai arti bahwasanya jiwa adalah jauhar. Sebenarnya hal tersebut lebih mendekati pada
karakter jiwa dan definisinya. Hal itu dikarenakan Ibn Hazm berpendapat
bahwasanya jiwa adalah ruh, dan sebenarnya jiwa adalah jisim yang mempunyai
panjang, lebar, dan tinggi. Maka ruh juga menjadi seperti demikian, dan ini
adalah yang kita tidak setujui, karena ruh bukanlah jiwa yang mempunyai
dimensi. Pada dasarnya kita tidak mengetahui sedikitpun tentang ruh, maka tidak
mungkin kita menginformasikan perihal ruh melalui informasi yang belum kita
ketahui. Allah berfirman: Qs. Al-Isra: 85:
“Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit’.”
Maka Ibn Hazm telah melewati batas teks di sini ketika beliau
menjelaskan bahwasanya jiwa merupakan ruh, dan kita berbicara tentang ruh
dengan pembicaraan layaknya orang yang berpengetahuan dan amanah.
Ibn Hazm juga berkomitmen dalam berbicara tentang menetapkan wujud
jiwa, seperti pembicaraan tentang karakternya sebagaimana Ibn Sina juga
berkomitmen seperti itu sebelumnya. Begitu juga kita mengetahui, Ibn Ghozali
telah mengambil poin penting dari Ibn Sina dalam usahanya untuk mendefinisikan
jiwa hingga beliau membuat kesimpulan bahwasanya jiwa -meskipun ia merupakan
bentuk sempurna atau berupa jisim natural yang mempunyai kehidupan dengan
sebuah kekuatan- sebenarnya tidak tercetak dalam jisim atau jiwa itu ditopang
oleh jisim. Beliau berkata: “Nampak dari sebagian prinsip-prinsip kita yang
telah kita tetapkan, bahwasanya jiwa tidak tercetak dalam badan dan tidak
berdiri tegak dengan topangan badan.”
Maka, hubungan jiwa dengan badan harus dalam bentuk mengatur dan
mengoperasionalkan. Adapun Imam Ibn Qayim beliau mengikuti Ibn Hazm dalam
perkataanya tentang jiwa yang berupa jisim. Beliau menegaskan sendiri akan hal
tersebut dalam perkataanya: “Muhammad Ibn Hazm serta seluruh tokoh agama yang
mengakui hari akhir, itu berpendapat bahwasanya jiwa adalah jisim, dan dengan
inilah kami berpendapat.” Ibn Qayim mendefinisikan
bahwasanya jiwa adalah jisim lembut, yang bersifat materi dan berkilauan…, yang
menembus jauhar anggota badan dan mengalir seumpama aliran air dalam badan pada
pohon hijau.
Artinya, sesungguhnya Ibn Qayim itu mengikuti aliran Ibn Hazm yang
berpendapat bahwasanya jiwa adalah jisim, dan akan tetapi ibn qayim berkata:
“Sesungguhnya jisimnya jiwa itu berbeda dengan jisimnya badan, dan jiwa menurut
linguistik bukanlah jisim akan tetapi maksud jisimnya jiwa bahwa jiwa itu
mempunyai sifat dan perbuatan yang ditunjukkan oleh syariat, akal, dan indra….
Seperti bergerak, pindah, naik, turun, merasakan siksa dan kesenangan, dan
derita…. Karena jiwa itu terpenjara dalam badan, pergi, tercabut, masuk, dan
keluar.” Ibn Qayim membubuhkan dalil atas kebenaran pendapatnya, maka
beliau menampilkan 116 dalil dalam kitab ar-Ruh terhadap
jisimnya jiwa, berargumentasi dengan teks yang ada dalam Quran, sunah nabi dan
riwayat-riwayat dari sahabat, dan kira-kira itu ayat yang sama yang dipakai Ibn
Hazm dalam argumentasinya yang menunjukkan bahwasanya jiwa adalah jisim. Adapun
Ibn Bajah, beliau telah mencoba untuk menggabungkan antara sisi jauhar dan sisi
materi dalam definisinya terhadap jiwa, atau antara pendapat plato dan
aristoteles. Lalu beliau melihat tentang jiwa, bahwasanya jiwa adalah jauhar
sebagaimana yang dikatakan oleh Plato, dan bahwasanya jiwa juga sebuah bentuk
sebagaimana pendapat Aristoteles. Kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya jiwa
adalah bentuk seperti badan ini. Jiwa adalah
jauhar, yang berbeda apabila dilihat esensinya. Jiwa adalah bentuk
apabila kita mengategorikan dalam hubungannya dengan badan. Tatkala Ibn Bajah
menggeneralisir kata “jauhar” terhadap semua bentuk dan materi, dan sesuatu
yang tersusun dari keduanya. Jadi mudah baginya untuk menggabungkan antara
jauhar dan bentuk dalam penjelasannya terhadap karakter jiwa. Maka jiwa menurut
Ibn Bajah itu berupa jauhar yang berbeda, karena dalam diri manusia terdapat
makna yang abadi, yaitu bentuk general manusia yang terealisir dari wujud
jiwanya yang berakal, dan apabila jiwa berupa bentuk untuk badan, maka itu
disebabkan karena jiwa adalah sumber gerak, indra, dan kehidupan yang dinikmati
oleh badan. Badan adalah tempat atau kontruksi dasar yang mungkin bisa menerima
seluruh perbuatan-perbuatan ini.
Maka dari seluruh definisi-definisi ini, kita melihat bahwa
sebagian para filosof dan ahli kalam berpendapat bahwasanya jiwa itu
berupa jauhar, dan sebagian lain menganggap jiwa berupa jisim dan materi,
sedangkan golongan yang ketiga menggabungkan kedua pendapat ini.
0 comments