BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakikatnya epistemologi membahas tentang pengetahuan, yang berkaitan
dengan apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan tersebut.
Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental (mental state).
Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang sesuatu objek; dengan kata
lain menyusun gambaran dalam akal tentang fakta yang ada diluar akal.
Persoalannya kemudian adalah apakah gambaran itu sesuai dengan fakta atau
tidak? Apakah gambaran itu benar? Atau apakah gambaran itu dekat pada kebenaran
atau jauh dari kebenaran?
Untuk itu
dalam makalah ini , saya akan membahas tentang hakikat kebenaran itu mulai dari
teori yang akan saya jelaskan yaitu teori idealisme. Kemudian selain itu ada
pengertian idealisme, tokoh-tokohnya dan sejarahnya.
B. Rumusan Masalah
Dengan penjesan
singkat diatas, maka dapat dirumuskan sebuah masalah yang nantinya akan
dijelaskan nanti, yaitu:
- Apa yang melatarbelakangi Idealisme itu?
- Apa pengertian Idealisme itu?
- Apakah Idalisme Objektif itu?
- Bagaimana Ajaran Idealisme pada umumnya?
- Apakah hakikat pengetahuan Teori Idealisme
itu?
- Siapa saja tokoh-tokoh filsafat yang
menjelaskan tentang idealisme?
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Idealisme
Idealisme diambil dari kata
“Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa
hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau
sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak barbentuk dan menempati ruang.
Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis daripada penjelmaan ruhani.[1]
Idealisme atau serba-cita
adalah sering disebut orang sebagai serba-cita subyektif (idealisme
subyektif) atau subyektivisme. Paham ini harus dibedakan
dari serba-cita objektif atau metafisik, yang merupakan teori
metafisika. Teori tersebut beranggapan, sekalipun alam obyektif itu nyata dan
tidak bergantung pada budi yang menanggapinya (persepsi) namun pada hakikatnya
ia adalah psikis mental, rohaniah atau spiritual.[2]
Adalah merupakan anggapan umat
manusia, bahwa obyek-obyek dikelilingnya benar-benar mempunyai wujud seperti
yang kita cium atau rasa, lepas atau tidak bergantung pada budi yang
menangkapnya. Ada atau tidak adanya budi (manusia), obyek-obyek itu tetap
berwujud. Ia disebut dunia luar yang realitasnya berdiri sendiri.
Barkeley datang untuk
meragukan kita. Apakah benar ada dunia luar yang berdiri sendiri itu? Ia mengajarkan
bahwa tidak ada wujud objek yang lepas dari budi yang menanggapnya (persepsi).
Mungkin orang akan menganggap teori Barkeley itu naïf.
Apa yang kita maksud
manakala kita katakana sepohon kayu ada? Yaitu bahwa ia ditanggap. Demikian
kata Barkeley. Sebab, ketika kita coba memikirkannya sebagai tidak ditanggap,
kita masih berpikir. Ia adalah obyek pemikiran. Yang kita ketahui hanyalah
bagaimana ia kita tanggap.
Terhadap
idealisme Berkeley itu timbul keberatan dan perlawanan. Oleh karena itu, kata
lawan serba-cita atau idealisme, dunia obyek itu adalah rill, dan pengetahuan
kita tentang dia adalah benar, sekalipun kebenarannya hanya sebagian. Dan
pengetahuan yang benar tentang dunia ini selalu diperluas dengan menerapkan
metode-metode penelitian umum.[3]
B. Idealisme
Objektif
Setelah era Renaisans, tidak muncul satupun sistem
fisafat
tangguh,
namun beragam aliran dan pandangan filsafat terus menerus lahir dan mati.
Jumlah serta ragam aliran dan “isme” meningkat tajam sejak permulaan abad
ke-19. Dalam tinjauan singkat ini, tidak terulang kesempatan untuk menyebutkan
mereka satu persatu, karenanya kita hanya akan sesingkat mungkin menyebutkan
sebagian mereka.
Setelah Kant (dari akhir abad ke-18 sampai medio
abad ke-19) sejumlah filosof Jerman menjadi terkenal, dan gagasan-gagasan
mereka kurang lebih bermuara pada pemikiran Kant. Kalangan iniberupaya menutupi
titik mistik. Kendati pandangan mereka berbeda-beda. Mereka umumnya beranjak
keberagaman (multi plicity) dari kemanunggalan secara puitis dan mereka
disebut dengan “Para Filosof Romantis”.
Kecenderungan terhadap kebebasan yang mendorong
Fichte dan para romantic lain, Semisal Fredrich Wilhelm Joseph Von Schelling,
untuk menerima sejenis idealisme dan kesejatian ruh (yang salah satu
karakteristiknya adalah kebebasan). Paham pemikiran ini lantas dikembangkan
lebih jauh oleh G.W.F.Hegel, dan relatif menjadi sistem filsafat yang koheren,
dan disebut dengan idealisme objektif.
C. Ajaran Idealisme Pada
Umumnya
Revolusi
Kopernikan yang telah diadakan Kant dalam bidang filsafat dengan kritisismenya,
diteruskan dengan lebih radikal lagi oleh pengikut-pengikut idealisme. Menurut
pendapat mereka tidak ada suatu realitas pada dirinya atau suatu realitas yang
obyektif belaka. Realitas seluruhnya bersifat subyektif. Realitas seluruhnya
merupakan buah hasil aktifitas suatu subyek. Yang dimaksud disini dengan subyek
bukanlah subyek perorangan tertentu, melainkan suatu Subyek Absolut atau,
dipandang dari sudut agama, Allah.[4]
Dapat dimengerti juga semua
berkecenderungan pada panteisme dan sangat mengagumi filsafat Spinoza. Subyek
Absolut itu bersifat tak terhingga dan tidak boleh dianggap sebagai suatu
substansi yang tertutup dalam dirinya, tetapi sebagai suatu proses yang selalu
berkembang terus. Aktivitas subyek itu tidak dapat dianggap sebagai pemikiran
yang sadar, sebab pada taraf bawah-manusiawi aktivitas itu tidak disadari. Oleh
karenanya harus dikatakan bahwa dalam diri manusia Allah menjadi sadar akan
dirinya sendiri. Demikianlah kiranya dapat dilukiskan sedikit pikiran-pikiran
dasar yang terdapat pada para idealis Jerman.[5]
D. Hakikat
Pengetahuan Teori Idealisme
Hakikat pengetahuan Idealisme
yaitu suatu ajaran idealisme menandaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan
yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah
proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subyektif. Oleh
karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subyektif
dan bukan gambaran objektif tentang realitas. Subjektif dipandang sebagai suatu
yang mengetahui, yaitu dari orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu,
pengetahuan menurut teori ini, tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Yang
diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang
yang mengetahui (subjek).[6]
Bagi idealisme, dunia dan bagian-bagiannya harus
dipandang sebagai hal-hal yang mempunyai hubungan, seperti organ tubuh dengan
bagian-bagiannya. Dunia merupakan suatu kebulatan bukan kesatuan mekanik,
tetapi kebulatan organik yang sesungguhnya yang sedemikan rupa, sehingga suatu
bagian darinya dipandang sebagai kebulatan logis, dengan makna sebagai inti
yang terdalam.
Premis pokok yang diajukan oleh idealisme adalah
jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam alam semesta. Idealisme tidak
mengingkari adnya materi. Namun, materi adalah suatu suatu gagasan yang tidak
jelas dan bukan hakikat. Sebab, seseorang yang akan memikirkan materi itu,
dalam hakikatnya yang terdalam, dia harus memikirkan roh atau akal. Jika
seseorang ingin mengetahui apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah
akal budi itu; bukannya apakah materi itu.
Idealisme subjektif juga akan
menimbulkan kebenaran yang relatif karena setiap individu berhak untuk menolak
kebenaran yang datang dari luar dirinya. Akibatnya, kebenaran yang bersifat
universal tidak diakui. Kalau demikian jadinya, maka aturan-aturan agama dan
kemasyarakatan hanya bisa benar untuk kelompok tertentu dan tidak berlaku bagi
kelompok yang lain. Lagi pula, idealisme terlalu mengutamakan subjek sebagai si
penilai, dengan meredahkan objek yang dinilai. Sebab, subjek yang menilai
kadangkala berada pada keadaan yang berubah-ubah, seperti sedang marah dan gembira.[7]
E. Tokoh-Tokoh Filsafat Yang
Menjelaskan Idealisme
1. J.G. FICHTE
JOHAN GOTTLIEB
FICHTE(1762-1814) kerap kali menunjukan filsafatnya sebagai “Wissenschaftslehre”.
Yang dimaksudkannya dengan nama ini ialah suatu refleksi tentang
pengtahuan. Fichte sepekat dengan Kant bahwa semua ilmu membahas salah
satu obyek tertentu, sedangkan filsafat bertugas memandang pengetahuan sendiri.
Oleh karenanya filsafat merukan ilmu yang mendasari ilmu-ilmu lain dan
akibatnya dinamai sebagai “Wissenschaftslehre” yang sebetulnya
berarti “ajaran tentang ilmu pengetahuan”.[8]
Menurut pendapat Fichte,
filsafat harus berpakal bukan dari suatu substansi melainkan dari suatu
perbuatan (Tathandlung), yaitu Aku Absolut mengiakan dirinya sendiri dan denga
itu megadakan dirinya sendiri. Dengan lain perkataan, realitas seluruhnya harus
dianggap menciptakan diriny sendiri (“self- creating”). Dengan cara inilah
Fichte bermaksud juga memperdamaikan pertentangan antara rasio teoritis rasio
praktis yang terdapat dalam fisafat Kant. Rasio teoritis tidak dapat
ditempatkan pada awal mula, tetapi didahului dan dirangkum oleh suatu
perbuatan. Oleh karena itu memang pada tempatnyalah jika filsafat Fichte
disebut idealisme praktis.
Menurut Fichte
dualitas yang terdiri dari aku terhingga dan non- aku diperdamaikan lagi dalam
praksis moral. Dan sebetulnya dualitas itu sama sekali perlu supaya praksis
moral dapat dijalankan. Aku Absolut mengadakan non- aku untuk menciptakan bahan
bagi aktivitas moral. Moralitas termasuk inti sari pemikiran Fichte. [9]
Berkenaan denga Fichte tentu tidak boleh dilupakan
“Atheismusstreit” (pertikaian tentang ateisme) yang timbul dalam kalangan-
kalangan intelektual di Jerman pada akhir abad 18. Alasannya ialah anggapan
Fichte yang radikal tentang Allah. Fichte mengemukakan suatu pengertian etis
tentang Allah. Menurut dia agama sama dengan pengakuan adanya. Cara Fichte
menguraikan pendapatnya member kesan seakan-akan ia tidak menerima Allah
bersifat personal. Akhirnya pada tahun 1779 ia harus meletakkan jabatannya
sebagai professor di kota Jena.
2. F.W.J. SCHELLING
FRIEDERICH WILHELM JOSEPH SCHELLING (1775-1854) sudah mencapai
kematangan sebagai fisuf pada waktu ia masih berumur sangat muda. Pada tahun
1798, usianya baru 23 tahun, ia menjadi professor di universitas di Jena.
Sampai akhir hidup pemikira Schelling selalu berkembang, biarpun dalam
perkembangan pasti ada juga kontinuitas. Para sejarawan filsafat membedakan
beberapa periode dan perkembangan pemikiran Schelling. Dalam periode terakhir
Schelling terutama mencurahkan perhatian filosofisnya pada agama dan mistik.
Disini kita membatasi diri pada periode yang biasa disebut “filsafat
identitas”, karena taraf pemikiran inilah dapat dianggap sebagai
gelang rantai yang menghubungkan filsafat Fichte dengan filsafat Hegel.[10]
Sudah kita lihat bahwa pada Fichte alam (non-aku) adalah buah hasil Roh (Aku
Absolut). Menurut Schelling, Roh tidak mempunyai prioritas terhadap Roh. Dua-
duanya berasal dari sumber sama sekali netral, yang oleh Schelling dinamai
sebagai Identitas Absolut atau Indiferensi Absolut.
Jadi, sumber ini tidak boleh dianggap subyektif atau obyektif, material, atau
spiritual, sebab semua perlawanan atau oposisi terdapat disini dalam bentuk
kesatua yang masih belum terpisah. Dari Identitas Absolut
inikeluarlah alam serta roh dan dengan itu realitas seluruhnya. Oleh karenanya
pada Schelling alam tidak ditempatkan dibawah roh, tetapi alam dan roh
seakan-akan membentuk dua kutub yang derajatnya sama. Roh selalu hadir dalam
alam dan alam selalu hadir dalam roh. Dalam menyusun filsafat identitas ini
Schelling sangat dipengaruhi oleh pemikiran Spinoza, sehingga juga gaya gaya
bahasa yang dipakai dalam periode ini mirip dengan cara Spinoza menulis. [11]
3. G.W.F. HEGEL
Idealisme Jerman memuncak pada GEORG WILHELM FRIEDRICH HEGEL (1770-1831).
Walaupun usianya lebih tua dari Schelling, namun Hegel menyusun karya-karyanya
yang terpenting setelah Schelling sudah menjadi filsuf yang tersohor. Mula-mula
ia dianggap sebagai murid Schelling, tetapi lama-kelamaan ia mencapai
pendirian yang dengan jelas bersimpang jalan dengan filsafat Schelling. Sejak
ia mengajar di universitas Berlin (tahun 1818), ia mengalami kepopuleran
Schelling.[12]
a. Rasio, Ide, Roh
Hegel sangat mementingkan rasio.
Tetapi, kalau dikatakan demikian, jangan kita salah mengerti maksudnya. Yang
dimaksud bukan saja rasio pada manusia perorangan, tetapi juga dan terutama
rasio pada Subyek Absolut, karena Hegel pun menerima prinsip
idealistis bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan suatu subyek.
Suatu dalil Hegel yang kemudian menjadi terkenal berbunyi: “Semuanya yang real
bersifat rasionaldan semuanya yang rasional bersifat real”. Maksudnya adalah
bahwa luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah
proses pemikiran (atau “ide” menurut istilah yang dipakai Hegel) yang
memikirkan dirinya sendiri. Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja bereaksi
atas kecondongan intelektual waktu itu yang mencurigai rasio sambil mengutamakan
perasaan. Kecondongan ini terutama dilihat dalam kalangan ”filsafat
kepercayaan” dan dalam aliran sastra Jerman Jerman yang disebut
“Romantik”. [13]
4. A. Schopenhauer
Seorang filsuf Jerman lain
mempunyai hubungn erat dengan idealisme Jerman, biarpun ia sendiri tidak mau
digolongkan digolongkan didalamnya. Namanya adalah ARTHUR SCHOPENHAUER. Ia
menganggap diri sebagai murid Kant, tetapi ia mengemukakan juga kritik yang
sudah terdapat pada para idealis, terutama dengan menolak adanya “das
Ding-ansich”. Oleh karenanya ia berpendapat juga b ahwa realitas seluruhnya
bersifat subyektif. Tetapi ia tidak menyetujui bahwa idealisme menyetarafkan
realitas seluruhnya denga roh atau rasio. Schopenhauer berpendapat bahwa
realitas menurut hakikatnya yang terdalam adalah kehendak. Dalam diri manusia
“kehendak metafisis”itu menjadi taraf kesadaran. Tetapi pada manusia menjadi
nyata juga bahwa kehendak itu tidak pernah dapat dipuaskan. Bertentangan dengan
Fichte, Schelling,dan Hegel, Schopenhauermempunyai pandangan dunia yang
betul-betu pesimististis.[14]
5. Plato
Dalam perkembangannya, aliran ini
ditemui pada ajaran Plato (348-428 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-
tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universaldari tiap
sesuatu. Alam nyata yang menempati ruagan ini hanyalah berupa bayangan saja
dari alam ide itu. Jadi idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar
wujud sesuatu.[15]
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam uraian pembahasan makalah diatas dapat disimpulkan
bahwa Idealisme disebut orang serba-cita subyektif (idealisme
subyektif) atau subyektivisme. Ajaran idealisme
menandaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan
kenyataan adalah mustahil. Demikian pula dapat dilukiskan sedikit
pikiran-pikiran dasar yang terdapat pada para idealis Jerman. Fichte menentukan
Subyek Absolut sebagai “Aku Absolut”, Schelling (sekurang-kurangnya dalam salah
satu periode perkembangannya) sebagai “identitas Absolut”, dan Hegel sebagai
“Roh Absolut” atau “ide”. Dalam sistem Fichte terutama moralitas yang menjadi
pusat pemikirannya, sedangkan dalam sistem Schelling mistik, dan dalam sistem
Hegel rasio.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, asmoro. Filsafat umum Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Bachtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Bachtiar, Amsal. Filsafat Agama.
Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Gazalba, Sidi. Sistimatik Filsafat.
Jakarta : Bulan Bintang, 1991.
Yazdi, Muh.T.Musbah. Filsafat Agama.
Jakarta : Bulan Bintang, 1991.
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1975.
[1]Hasbullah
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008) h. 138
[2] Sidi
Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang,
1991)h. 30
[3] Sidi
Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang,
1991)h. 33
[4] K.
Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,
1975)h. 64
[5] K.
Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (
Yogyakarta:Kanisius, 1975)h. 65
[6] Amsal
Bakhhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008)h. 96
[7] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999)h.
41
[8] K.
Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta:
Kanisius,1975)h. 65
[9] K.
Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius,
1975)h. 66
[10] K.Bertens, Ringkasan
Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1975)h.67
[11] K.Bertens, Ringkasan
Sejarah Filsafat ( Yogyayakarta:Kanisius,1975)h. 67
[12]K.Bertens, RingkasanSejarah
Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1975)h. 67
[13] K.Bertens, Ringkasan
Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1975)h.68
[14] K.Bertens, Ringkasan
Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1975)h. 71
[15] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008)h. 139
0 comments