Abdurrahman Wahid atau
yang lebih akrab disapa dengan Gus Dur adalah presiden RI yang juga mendapat
julukan sebagai Bapak Pluralisme. Beberapa kebijakan yang pernah
beliau ambil memanglah tidak popular, bahkan banyak di antaranya mendapat
tentangan dari berbagai pihak. Namun, tentu saja kebijakan yang diambil
merupakan bentuk dukungannya kepada kelompok minoritas yang tertindas. Sebut
saja, dengan keluarnya Keppres No. 6/2000, Etnis Tionghoa di Indonesia akhirnya
bisa menikmati kebebasan dalam mengekpresikan seni kebudayaan dan kepercayaan
yang mereka anut.
Ahmadiyah pun tak luput dari dukungan beliau. Bahkan ada
pernyataan yang pernah dia ucapkan sebagai bentuk pembelaan atas keberadaan
Ahmadiyah di Indonesia, “Selama saya masih hidup, saya akan mempertahankan
gerakan Ahmadiyah.” Sampai-sampai Gus Dur merelakan tempat tinggalnya untuk
menjadi tempat berlindung bagi warga Ahmadiyah, jika pemerintah dianggap tidak
lagi bisa melindungi mereka. Karena baginya, negara memang haruslah membela hak
warga minoritas sesuai konstitusi (UUD 1945).
Walaupun pada kenyataannya hingga hari ini, Ahmadiyah dan warga
minoritas lainnya masih hidup memprihatinkan. Mereka masih hidup dalam
bayang-bayang ancaman bahkan ada yang sampai terusir dari kampung halamannya
sendiri, seperti warga Syiah yang ada di Sampang, Madura.
Pemikiran toleran dan plural yang dimiliki oleh seorang Gus Dur
tentu berasal dari perjalanan intelektual yang tidak singkat. Tumbuh dan besar
di lingkungan pesantren tradisional Tebuireng (Jombang), Krapyak (Yogyakarta),
dan Tegalrejo (Magelang), beliau mempelajari ilmu fikih, tafsir Alquran dan
hadis, tasawuf, dan sebagainya. Beliau menemukan prinsip toleransi yang diserap
dari hadis Nabi SAW bahwa pencari kebenaran hukum akan mendapatkan dua pahala
jika benar dan mendapat satu pahala jika salah. Dari hadis tersebut, dapat
digambarkan bahwa Tuhan sangat menghargai para pencari kebenaran, sekalipun
mereka salah. Sehingga kita sebagai umat manusia seharusnya menghargai pendapat
dan keyakinan orang lain, bukan malah melakukan pemberangusan.
Pendidikan di pesantren mengajarkan kepada Gus Dur tentang
jargon toleransi yang dibawa oleh Al-Syafi’i, “Pendapat kami benar, tetapi
mungkin salah. Sedangkan pendapat kalian salah, tetapi mungkin benar.”
Kutipan ini menunjukkan bahwa kebenaran pemikiran manusia tidaklah absolut dan
tidak seharusnya manusia menganggap dirinyalah yang paling benar, sehingga
orang lain dianggap salah dan sesat.
Perbedaan dalam umat Islam adalah sebuah rahmat. Perbedaan bagi
Gus Dur seharusnya tidak menyebabkan perpecahan dan permusuhan. Perbedaan
merupakan bentuk kasih sayang yang muncul di tengah-tengah ke-bhinneka-an.
Prinsip ke-Islam-an ini kemudian berpadu dengan prinsip kebangsaan dalam
konsep Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga seharusnya dari sinilah Gus
Dur—dan kita semua—tidaklah perlu mempersoalkan perbedaan agama, keyakinan,
warna kulit, dan posisi sosial yang ada.
“Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS. Al Baqarah [2]:
256); “Jikalau Tuhannya menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (QS. Hud [11]: 119);
dan “Untukmu agamamu dan untukku agamamu.” (QS. Al Kafirun [109]: 6)
adalah beberapa potongan ayat yang sering digunakan oleh Gus Dur dalam esai-esainya
yang bertemakan toleransi. Karena sikap toleran dan plural berakar dari
penghayatan ayat-ayat suci Alquran.
Perdamaian dan persatuan yang dicita-citakan Gus Dur didasari
pada spirit multikulturalisme yang terdapat dalam Alquran, yaitu “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu Sali
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu, di sisi
Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat [49]: 13).
Hal inilah yang menjadi prinsip bagi Gus Dur di sepanjang
hidupnya untuk terus menentang semua bentuk intoleransi dan kekerasan atas nama
agama di muka bumi Indonesia.
0 comments