NIETZSCHE: SANG NABI NIHILISME adalah runtutan tulisan dari tema Metafisika Filsafat. Untuk itu, silahkan untuk membaca postingan sebelumnya [ PENGANTAR METAFISIKA DALAM FILSAFAT ] agar pemahaman anda tentang nihilisme dalam metafisika lebih komprehensif.
Nihilisme
Barangkali kita dapat menangkap semangat nihilisme Nietzschean dengan melihat sebagian dari aforisme yang terkenal dalam bukunya, Die fröchliche Wissenschaft (Ilmu yang Ceria):
The Madman
Have you not heard of that madman who lit a lantern in the bright morning hours, ran to the market place, and cried incessantly: “I seek God! I seek God!”—As many of those who did not believe in God were standing around just then, he provoked to much laughter. Has he got lost? asked one. Did he lose his way like a child? asked another. Or is he hiding? Is he afraid of us? He has gone on a voyage? Emigrated?—Thus they yelled and laughed.
The madman jumped into their midst and pierced them with his eyes. “Whither is God?” he cried; “I will tell you. We have killed him—you and I. All of us are his murderers. But how did we do this? How could we drink up the sea? Who gave us the sponge to wipe away the entire horizon? What were we doing when we unchained this earth from its sun? Whither is it moving now? Whither are we moving? Away from all suns? Are we not straying as through infinite nothing? Do we not feel the breath of empty space? Has it not become colder? Is not night continually closing in on us? Do we not need to light lanterns in the morning? Do we hear nothing as yet of the noise of the gravediggers who are burying God? Do we smell nothing as yet of the divine decomposition? Gods, too, decompose. God is dead. God remains dead. And we have killed him.
Memang bombastis kedengarannya. Namun kita tak menemukan definisi tentang nihilisme di kutipan tersbut—bahkan kita tak menemukan kata nihilism di sana—selain seruan yang keras tentang “matinya Tuhan”.
Kata “Tuhan” dalam konteks Nietzschean tidak hanya merujuk pada artian “Tuhan” secara harafiah saja, yaitu Tuhan sebagai suatu entitas yang transenden. “Tuhan” juga berarti suatu titik teguh yang absolut dan niscaya tempat kita menambatkan diri kita sepenuhnya. Itulah dia. Itulah kebenaran. Tepat di sinilah nihilisme itu mengejawantah: kebenaran telah mati.
Istilah “nihilisme” memiliki akar katanya dalam bahasa Latin, yaitu nihil yang artinya “tiada”, “nothing”. Lewat ajarannya tentang nihilisme, Nietzsche langsung menggoyang pondasi tunggal dari seluruh realitas: kebenaran. Lebih persisnya, ia mempertanyakan secara radikal validitas klaim kebenaran. Kita akan kembali membahas tentang nihilisme dan aforisme panjang itu setelah merenung terlebih dahulu mengenai kebenaran.
Apa itu “kebenaran”?
Truth is the kind of error without which a certain species of life could not live, tulis Nietzsche dalam Der Wille zur Macht. Nampak di sini bahwa Nietzsche berbicara tentang kebenaran sebagai suatu kondisi yang merupakan prasyarat bagi kehidupan (condition for life) suatu makhluk tertentu, atau persisnya, manusia. Dalam aforisme yang sama, ia melanjutkan, “The value for life is ultimately decisive.” “Nilai” (value) memiliki kedudukan yang sangat menentukan dalam kehidupan. Kebenaran sebagai condition for life itu memiliki bentuknya yang konkret dalam nilai.
Kebenaran sebagai nilai—tetapi apakah nilai yang ia maksud itu? Dalam Jenseits von Gut und Böse: Vorspiel einer Philosophie der Zukunft (Melampaui Baik dan Buruk: Prelud untuk Filsafat Masa Depan), Nietzsche memberikan insight:
[…] and it is high time to replace the Kantian question, “How are synthetic judgements a priori possible?” by another question, “Why is belief in such judgements necessary?”—and to comprehend that such judgements must be believed to be true, for the sake of the preservation of creatures like ourselves […]
Seperti kita ketahui, Immanuel Kant berupaya memberikan landasan rasional-a priori bagi validitas klaim kebenaran. Dengan upaya itulah, ia mengajukan pertanyaan tentang kemungkinan keputusan sintesis a priori. Namun Nietzsche membalik pemikiran Kant: mengapa kita memerlukan pembuktian bahwa kita dapat meraih kebenaran? Bagi Nietzsche, peryataan yang diajukan oleh Kant itu justru menunjukkan bahwa validitas klaim kebenaran adalah suatu “kepercayaan” (belief). Kita takut untuk mengakui bahwa memang tak ada kebenaran sehingga kebenaran itu “must be believed to be true”; dan tujuan dari kepercayaan itu adalah “for the sake of the preservation of creatures like ourselves”.
Dalam konteks yang sama, Nietzsche menerangkan lebih lanjut. Menurutnya, “keputusan” (judgement) atau secara lebih umum, klaim kebenaran, adalah kepercayaan kita yang tertua, “our most habitual holding-true or holding-untrue, an assertion or denial, a certainty that something is thus and not otherwise, a belief that here we really “know” […]”. Kebenaran, sebagai belief, memiliki karakter khas yaitu holding-true. Jadi, bagi Nietzsche, kebenaran adalah sesuatu yang diperlukan dan bukan sesuatu yang niscaya. Dalam Jenseits von Gut und Böse, ia menulis:
[…] that without accepting the fictions of logic, without measuring reality against the purely invented world of the unconditional and self-identical, without a constant falsification of the world by means of numbers, man could not live […]
Serangan Nietzsche atas validitas klaim kebenaran sangat radikal.
Kita percaya pada logika berpikir yang “sah”: bahwa jika orang mengatakan, “Tak ada kebenaran!”, maka pernyataan itu akan menyangkal dirinya sendiri dan juga seluruh implikasi dari pernyataan itu. Kita seringkali tak sadar bahwa logika semacam itu hanyalah ciptaan kita saja; logika adalah fiksi. Begitu pula dengan logika matematika. Kita yakin bahwa 1+1=2 adalah benar, sah, logis. Padahal itu pun hanya fiksi buatan manusia. Lantas untuk apa manusia menciptakan “fiksi-fiksi” itu? Jawabannya jelas: “For the sake of the preservation of creatures like ourselves”, to maintain “the condition of life”, singkatnya, “holding-to-be-true”. Dalam pengantarnya untuk buku The Gay Science, kita memperoleh gambaran yang sangat jelas:
[…] what was at stake in all philosophizing hitherto was not at all “truth” but something else—lut us say, health, future, growth, power, life.
Lantas, dalam hal apakah “truth” sebagai fiksi itu nampak jelas? Jawabnya: dalam skematisasi. Nietzsche menuliskan hal ini dalam salah satu aforismenya pada Der Wille zur Macht: “Not “to know” but to schematize—to impose upon chaos as much regularity and form as our practical needs require.” Klaim kebenaran bekerja dengan menskematisasi realitas yang kacau-balau (chaos) ini, mengatur dan menyusunnya sedemikian sehingga realitas ini tampak tertata, rapih dan siap untuk kita gunakan. Contoh yang jelas: penemuan ilmu ukur (matematika dan geometri) di Mesir sebenarnya dilatarbelakangi oleh kebutuhan praktis (practical need) rakyat Mesir untuk mengukur tingginya peluapan air sungai Nil. Tak ada yang dramatis di sini—tak ada penemuan yang heroik seakan-akan penemuan itu for the sake of truth itself. Kebenaran hanyalah sederet konvensi yang dirayakan dengan ribuan konfeti.
Kini kita akan membahas “kebenaran” dalam tataran yang lebih kasat mata, yaitu moralitas. Nietzsche melihat moralitas sebagai tanda dekadensi, suatu sikap ketidakpercayaan-atas-hidup. Dalam bab Origin of Moral Valuations pada buku Der Wille zur Macht, Nietzsche menggambarkan moralitas senada dengan penjelasannya atas kebenaran: “I understand by “morality” a system of evaluations that partially coincides with the condition of a creature’s life.” Moralitas adalah bentuk nyata dari klaim kebenaran di dalam masyarakat. Bagi Nietzsche, fenomena moral tak pernah ada, yang ada hanyalah interpretasi moral atas fenomena itu. Perbuatan seperti membantu orang tua, hidup sederhana, rendah hati, bukanlah perbuatan moral. Perbuatan semacam itu hanya kita tafsirkan secara moral. Sedangkan interpretasi itu berasal dari sesuatu yang bersifat extra-moral. Apa itu “extra-moral”? Untuk memahami ini, terdapat sebuah aforisme Nietzsche yang menarik:
Formerly one said of every morality: “By their fruits ye shall know them.” I say of every morality: “It is a fruit by which I recognize the soil from which it sprang.”
Dalam aforisme itu, Nietzsche sebenarnya berbicara tentang fenomena extra-moral. Orang pada umumnya melihat moralitas dari buah yang dihasilkan moralitas itu (misalnya perbuatan etis). Namun Nietzsche melihat sebaliknya: moralitas merupakan buah dimana kita bisa menyadari dari tanah macam manakah buah itu muncul. Bisa kita duga, “tanah” (soil) yang dimaksud oleh Nietzsche adalah masyarakat. Di sinilah kita dapat melihat analisa—dan juga kritik tajam—Nietzsche atas masyarakat Kristiani-Eropa.
Masyarakat Eropa yang Kristiani, bagi Nietzsche, telah menjadi masyarakat yang dekaden. “Apa yang ditolak oleh Kristus? Semua yang kini disebut Kristiani.” Dekadensi yang meresapi peradaban Eropa disebabkan oleh “paradigma berpikir Platonis”. Paradigma ini membuat manusia Eropa menghasrati pembebasan setelah kematian, semacam dunia Idea nya Plato, dan dengan itu menampik kehidupan itu sendiri. Maka itu, Nietzsche menyebut agama Kristiani sebagai “la religion de la souffrance humaine” (the religion of human suffering). Agama Kristiani mengajarkan manusia untuk menegasi dirinya sendiri, menyangkal eksistensinya di dunia, meredam gejolak manusiawinya. Semua itu dilakukan demi imbalan surga yang abadi dan final. Kritik Nietzsche atas Kristianitas “cukup” keras:
From the start, the Christian faith is a sacrifice: a sacrifice of all freedom, all pride, all self-confidence of the spirit; at the same time, enslavement and self-mockery, self-mutilation.
Bagi Nietzsche, moralitas Kristiani adalah “moralitas budak”.
Moralitas ini adalah moralitas milik para budak: kesetiakawanan, saling mengasihi, menyangkal diri demi komunitas, semua itu merupakan ciri khas moralitas budak. Moralitas ini disebut pula “moralitas kawanan”. Moralitas semacam ini membuat orang-orang hanya berani hidup dalam kerumunan, dalam kebersamaan yang dangkal, dalam anonimitas yang aman. Nietzsche sendiri menulis, “Entry into real life—one rescues one’s personal life rom death by living a common life”. Bagi Nietzsche, tak ada jalan lain,moralitas semacam itu harus dihancur-leburkan. Moralitas itu bertanggung jawab atas dekadensi masyarakt Eropa yang semakin takut untuk berpikir, yang hanya berani hidup dalam kerumunan. “[…] the whole morality of self-denial must be questioned mercilessly and taken to court […]” There is too much charm and sugar in these feeling of “for others,” “not for myself,” […]”. Oleh karena itu dalam suatu adegan singkat di tempi sungai, Zarathustra bersabda:
O my brethren, is not everything at present in flux? Have not all raillings and gangways fallen into the water? Who would still hold on to “good” and “evil”?
Sekarang kita akan beralih menuju pandangan Nietzsche mengenai atheisme.
Baginya, seperti ia tulis dalam Der Antichrist (Sang Anti-Kristus), kepercayaan akan Tuhan tak hanya merupakan suatu kesalahan namun juga suatu “pengkhianatan atas hidup”. Kita menganggap Tuhan memang sungguh ada, namun kita tak sadar bahwa kita, nun dahulu kala, telah menciptakan-“Nya” dari ketidaktahuan kita. Begitulah kira-kira yang dimaksud oleh Nietzsche ketika ia menulis dalam Beyond Good and Evil: “circulus vitiosus deus”. “Lingkaran setan lah yang menciptakan Tuhan”. Nampaknya term “lingkaran setan” (vicious circle) di sini dapat diartikan sebagai “lingkaran setan logika”, yaitu hubungan antar konsep yang jalin-jemalin sehingga membentuk lingkaran penuh yang tanpa jalan keluar; circulus in definiendo. Contoh yang jelas adalah pertanyaan ini: “Manakah yang lebih dulu ada, telur atau ayam?”. Pertanyaan semacam itu hanya akan bergerak melingkar-lingkar saja tanpa jalan keluar, kecuali jika kita menghadirkan semacam deus ex machina sebagai entitas ketiga yang melampaui keduanya. Dan persis di sinilah, Tuhan dihadirkan. Maka Tuhan tercipta justru dari lingkaran setan, dari ketidaktahuan kita. Selain itu, Tuhan membuat manusia menyangkal dirinya, sebagaimana Nietzsche menulis dalam Ecce Homo (Lihatlah Manusia): “[…] what has been the greatest objection to existence so far? God.” Penerimaan akan adanya Tuhan dan moralitas Kristiani sebetulnya hanya merupakan kedok ketakutan manusia. Hal-hal itu membuat manusia merasa memiliki legitimasi yang sah di atas bumi (sebagai homo imago Dei), yang dalam kenyataannya merupakan makhluk kecil yang tak berarti, sebuah aksiden selintas di tengah gelombang “kemenjadian” dan arus buas dari jagad raya yang chaotic ini.
In summa: kebenaran adalah nilai yang berguna untuk melestarikan kehidupan manusia.
Moralitas, sebagai manifestasi kebenaran dalam tataran sosial, adalah ciptaan manusia, atau lebih persisnya dalam konteks Eropa, adalah ciptaan orang-orang lemah (budak) yang hanya berani hidup dalam kerumunan. Masyarakat Eropa yang diresapi moralitas budak atau kawanan mau tak mau akan segera terjatuh dalam dekadensi. Tuhan, sebagai manifestasi kebenaran dalam tataran spiritual, adalah konsep kosong hasil ciptaan manusia yang lemah, yang lari dari kenyataan hidupnya, yang tak bisa lagi berpikir. Semua ini adalah gejala, tanda-tanda lahirnya suatu zaman yang muram: the age of nihilism.
Term “nihilisme” dalam pemikiran Nietzsche setidaknya memiliki dua arti: nihilisme sebagai kondisi dan sebagai laku. Sebagai kondisi, nihilisme merupakan sebuah keniscayaan historis. Sebagaimana ditulis oleh Nietzsche dalam Der Wille zur Macht:
What I relate is the history of the next two centuries, I describe what is coming, what can be n longer come differently: the advent of nihilism. This history can be related even now; for necessity itself is at work here. This future speaks even now in a hundred signs, this destiny announces itself everywhere; for this music of the future all ears are cocked even now. For some time now, our whole European culture has been moving as toward a catastrophe, with a tortured tension that is growing from decade to decade: restlessly, violently, headlong, like a river that wants to reach the end, that no longer reflects, that is afraid to reflect. […] For why has the advent of nihilisme become necessary? Because the values we have had hitherto thus draw their final consequence; because nihilism represents the ultimate logical conclusion of our great values and ideals—because we must experience nihilism beferoe we can find out what value of these “values” really had.
Kedatangan nihilisme adalah sesuatu yang niscaya.
Nihilisme terlahir dari kesalahan manusia sendiri. Kepercayaan manusia terhadap nilai moral yang mutlak, kepercayaan manusia pada Tuhan dan surga, kepercayaan manusia pada kebenaran yang baku, itu semua membuat manusia tak lagi berrefleksi, tak berani berrefleksi (no longer reflects, afraid to reflects). Kepercayaan kita pada nilai-nilai seperti itu telah mengantarkan kita pada konsekuensi finalnya: the advent of nihilism. Oleh karena itu, Nietzsche menulis pada bab European Nihilism: “What does nihilism mean? That the highest values devaluate themselves. The aim is lacking; “why?” finds no answer.” Kepercayaan manusia pada kebenaran sebagai kebenaran, pada adanya kebenaran absolut, kebenaran-pada-dirinya-sendiri, membuat kepercayaan itu sendiri runtuh. Nilai-nilai yang dulunya diyakini benar, kini mendevaluasi dirinya sendiri, hancur dengan sendirinya. Semuanya karena manusia hanya berani hudup dalam kawanan, tanpa bertanya, dan akhirnya, merasa tanpa tujuan, tanpa makna.
Nietzsche menjelaskan tentang nihilisme sebagai kondisi ini dalam tiga tahap:
“[1] when we have sought a “meaning “ in all events that is not there […] being ashamed in front of oneself, as if one had deceived oneself all to long. [2] man has lost the faith in his own value when no infinitely valuable whole works through him; i.e. he conceived such a whole in order to be able to believe in his own value. [3] as man find out how thatworld is fabricated solely from psychological needs, and how he has absolutely no right to it, the last form of nihilism come into being: it includes disbelief in any metaphysical world and forbids itself any belief in a true world.” Nihilisme menyelimuti masyarakat kerumunan seperti awan gelap. Orang tak bisa menemukan makna yang sungguh menyentuh dalam kerumunan; ketika tersadar, ia merasa ditipu oleh dirinya sendiri. Orang menyadari bahwa nilai yang absolut itu tak ada; selama ini ia hanya berusaha percaya pada nilai yang ia pegang sendiri. Pada akhirnya, orang sadar bahwa semua yang kita anggap realitas, yang kita anggap benar, sebenarnya tak lain dari manifestasi kebutuhan praktis kita; ia kini merasa sakit hati karena telah dibohongi oleh keyakinannya sendiri ketika dulu percaya akan aadnya kebenaran, moralitas dan Tuhan. Oleh karena itu, Nietzche menggembar-gemborkan perlunya suatu upaya “revaluasi semua nilai” (Umwertung aller Werte), sebagaimana merupakan subjudul buku Der Wille zur Macht. Nilai-nilai lama seperti Tuhan, moralitas, kebenaran mutlak, harus dirombak total.
Pada titik inilah kita bisa mengerti maksud aforisme The Madman yang kita kutip tadi.
“Tuhan telah mati!! Kebenaran telah mati!!!”. Lalu: “bagaimana jika bumi ini terlepas dari orbitnya? Apakah kita bergerak? Menjauh dari matahari? Menjauh dari segala patron? Apakah kita hanya berputar-putar saja? Mana barat, mana timur? Apakah kita tak menghirup udara kosong? Tidakkah kini terasa dingin? Kenapa hanya ada malam dan malam senantiasa? Tidakkah kita dengan suara bising penggali kubur yang sedang menguburkan Tuhan dengan ocehan gosip yang tolol, dengan sikap letoy, sebuah psikopatisme dalam kehidupan sehari-hari—seakan-akan kehidupan ini berjalan baik-baik saja? Mau kemana kita? Celaka, sungguh celaka…” Nietzsche bersorak: “Everything is false! Everything is permitted!”. Nihilisme membuat kita hilang tak tentu arah, seperti orang yang hilang di padang tandus. Kita tak lagi punya telos (tujuan), kita bahkan tak bisa tahu dari mana kita, kita terdampar. Maka: dimulailah tragedi, Incipit Tragödia.
Kini kita akan melihat arti kedua dari term “nihilisme”, yaitu sebagai laku. Sebagai laku, Nietzsche memaksudkan “nihilisme” sebagai suatu “sikap” dalam menghadapi kondisi nihilistis yang niscaya datang. Nietzsche membagi laku nihilis ini ke dalam dua bentuk: nihilisme pasif dan nihilisme aktif. Jika dalam menghadapi kondisi nihilitas manusia menyerah ke dalam sikap keputus-asaan, ketakutan, ingin lari dari hidup yang tanpa tujuan ini, maka manusia itu mennjalankan laku nihilisme pasif. Laku ini sangat dibenci oleh Nietzsche, nihilisme pasif adalah sebentuk penyangkalan atas hidup. Satu-satunya cara untuk “melampaui nihilisme” (Überwindung der Nihilismus) adalah dengan menjalankan laku nihilisme aktif. Laku ini mengatakan “Ya” pada hidup, dengan kata lain, mengafirmasi seluruh “kekacauan” (khaos) hidup ini. Dengan menjalankan laku ini, kita menjadi “manusia tragis”. Tapi perlu dibedakan antara pesimisme dan tragisme. Pesimisme adalah sikap menolak hidup, ketakutan atas ketidakbertujuan hidup ini. Pesimisme adalah muara sikap nihilisme pasif. Tragedi adalah sesuat yang agung di mata Nietzsche. Dalam Die Geburt der Tragödie, ia menulis: “Knowledge kills action; action requires the veils of illusion: that is the doctrine of Hamlet.” Sikap tragis hanya muncul karena ada unsur ketidaktahuan dalam diri kita. Hamlet tak tahu persis apakah yang ia ketahui itu benar atau salah, dan dia tetap berani mengafirmasi kehidupan, melancarkan konfrontasi atas pamannya, walaupun sungguh tahu bahwa hal itu dapat mengakibatkan kematian dirinya; ia mengamini itu semua dan berjuang hingga akhir. Dalam Götzen-Dämmerung (Senjakala Para Dewa), Nietzsche menuliskan bahwa orang sebijak Sokrates pun, pada akhirnya hidupnya, mengakui bahwa hidup itu sia-sia; hal itu terlihat lewat kata-kata terakhirnya: “To live—that means to be a long time sick: I owe a cock to the saviour Asclepius.” Nietzsche melihat dalam kata-kata Sokrates: hidup adalah sesuatu yang sia-sia. Bahkan kalimatnya yang terakhir, bahwa Sokrates berhutang seekor ayam pada Asklepius, menunjukkan betapa remehnya kehidupan itu, sebuah aksiden selintas yang tanpa arti. Jadi, sejak awal, hidup itu sendiri adalah tragedi. Manusia tragis adalah ia yang berkata “Ya”, mengafirmasi, menerima sepenuhnya absurditas kehidupan ini tanpa harapan akan surga dan segala tujuan final yang lain, tanpa menambatkan diri pada kepercayaan akan kebenaran absolut, tanpa takut tersingkir dari kawanan. Manusia tragis adalah manusia yang berani dipeluk oleh kesepian.
Berkata “Ya” pada hidup, mengafirmasi hidup, menerima sepenuhnya seluruh gejolak alam yang “chaotic”, maka kita akan sampai pada ajaran Nietzsche yang terkenal: kehendak untuk berkuasa.
Friedrich Nietzsche, The Will to Power diterjemahkan oleh RJ Hollingdale (New York: Vintage Books), 1968, hlm. 272.
Freidrich Nietzsche, The Gay Science diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Random House), 1994, hlm. 181.
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil dalam Friedrich Nietzsche, Basic Writing of Nietzsche diterjemahkan dan diedit oleh Walter Kaufmann (New York: The Modern Library), 2000, hlm. 209
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 288.
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil dalam op.cit. hlm. 201.
Oleh karena itu, mungkin bukannya tidak sengaja jika Nietzsche memasukkan tulisan yang kita kutip tadi pada bab pertama yang berjudul On the Prejudices of Philosophers (Tentang Prasangka-Prasangka Para Filsuf)
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, op.cit. hlm. 35
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 278
Ibid. hlm. 148. Dalam buku Genealogy of Moral, Nietzsche menunjukkan bahwa perkembangan moralitas selalu terkait dengan kekuasaan. Argumentasi tentang moral ini senada dengan argumentasinya tentang pengetahuan sebagai skematisasi (sebuah upaya penundukkan).
Friedrich Nietzsche, Basic Writing of Nietzsche, op.cit. hlm. 212. Dalam sebuah surat kepada kawannya, Franz Overbeck tanggal 8 Januari 1887, Nietzsche menuliskan bahwa Kristianitas dan dekadensi masyarakat Eropa merupakan kesalahan Plato: “And it is all Plato’s fault! He is still Europe’s greatest misfortune!”. Lih. Friedrich Nietzsche, Selected Letters of Friedrich Nietzsche diterjemahkan oleh Christopher Middleton (Indianapolis: Hackett Publishing Company), 1996. hlm. 258
Friedrich Nietzsche, Basic Writings of Nietzsche, op.cit. hlm. 220.
Friedrich Nietzsche, Thus Spake Zarathustra diterjemahkan oleh Thomas Common (London: George Allen & Unwin Ltd), 1967, hlm. 246.
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 9. Nietzsche menolak memandang alam semesta sebagai kosmos (tatanan; keteraturan) karena baginya keteraturan merupakan hasil skematisasi manusia demi practical need nya. Bagi Nietzsche, alam semesta ini adalah khaos (kekacauan), gelombang dashyat yang bergolak tanpa akhir (eternal flux of becoming). Friedrich Nietzsche, Basic Writings of Nietzsche, op.cit.
0 comments