Tuesday, January 26, 2016

Adakah Filsafat Islam?


Kita akan mulai membahas dengan mengajukan pertanyaan yang suka disalah artikan oleh banyak orang. Dari segi penamaan saja telah terjadi perdebatan. Ada sebagian orang berkata, “yang berfilsafat itu orang islamnya, bukan islamnya. Islam sebagai agama tidak bisa melakukan filsafat.” Bagi mereka, yang ada adalah filsafat muslim. Ada juga yang mempunyai penamaan sedikit rancu, Filsafat Arab, dengan alasan yang melakukan kegiatan filsafat adalah orang-orang Arab dan menggunakan bahasa Arab, sebagaimana halnya dengan Filsafat Yunani dan Filsafat India. Perdebatan ini bisa kita lihat dari karya-karya pemikir Islam, diantaranya M. Saeed Sheikh dalam buku Studies in Muslim Philosophy yang memberikan nama Filsafat Islam dalam dua Jilid bukunya, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiquh (kedua buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa  Filsafat Islam.

filsafat-isalam

Penamaan di sini tampaknya tidak terlalu penting bagi kita. Kita akan lebih mendekatkan diri pada ada atau tidak adanya filsafat yang bersifat Islam secara Pemaknaan, bukan Penamaan.
Kamu lebih setuju mana? Kalau saya lebih setuju Filsafat Islam. Terserah kamu! Tapi, saya yakin kamu tidak setuju dengan nama filsafat Arab sebab tulisan ini pun Insyaallah akan bercerita tentang filsafat islam dan tidak ditulis dengan huruf Arab, Islam itu rahmatan lil al-amin, kan?
Ketahuilah, filsuf teragung sekolong langit itu tiada lain adalah Nabi kita yang mulia Muhammad bin Abdullah Saw. Dari tarikh kita tahu, pada usia 7 tahun Muhammad telah bertanya kepada pamannya tentang hakikat penciptaan semua yang ada ini. Pertanyaan Muhammad inilah yang kemudian oleh Ibnu Sina disebut al-Hads, yaitu kemampuan potensial yang sangat kuat dalam jiwa manusia yang sedang belajar.
Kita pun tahu Muhammad suka merenung di Gua Hira sampai pada akhirnya belia menerima wahyu Ilahi di sana. Sebelum beliau diangkat menjadi Rasul, tepatnya pada usia 35 tahun, dengan kecerdasan berpikir yang mengagumkan, belia berhasil mendamaikan pertikaian di kalangan Quraisy. Ketika setiap golongan merasa berhak menyimpan Hajar Aswad ke tempat asal mulanya pada bangunan ka’bah yang baru diperbaiki, beliau terpilih menjadi pendamai. Dengarkan kecerdasaanya ketika beliau berkata, “serahkan kain sorban kepadaku dan kemarilah masing-masing kepala golongan, pegang ujung-ujung kain itu oleh masing-masing kalian, kemudian angkatlah bersama. Itulah yang disebut filsuf sejati. Filsuf sejati bukanlah mereka yang sanggup memikirkan tentang sesuatu yang besar, melainkan mereka yang gelisah melihat realitas di sekitarnya yang dipenuhi oleh permasalahan seperti penindasan kaum perempuan, perampokan, penggusuran tanah kaum miskin. Filsuf sejati akan mencari pencerahan, apakah gerangan yang menyebabkan itu terjadi, bagaimana cara mengatasinya, bagaimana mengubah serta menjauhkan masyarakaat dari jurang kehancuran dan kegelapan, menuju masyarakat yang damai dan sejahtera, dengan penuh kebijaksanaan.
Kita suka mendengar mubaligh-mubaligh kita, “apabila engkau seorang pedagang, tirulah dagang Muhammad Saw. Apabila engkau seorang politikus, teladanilah kepemimpinan Muhammad Saw. Apa bila engakau seorang jendral, teladanilah Muhammad Saw”. Setiap kali mendengar perkataan seperti itu, saya ingin melontarkan pertanyaan. “ tidak bisakah kita berkata apabila engkau berpikir maka berpikirlah seperti Rasulallah Saw, berfilosofislah dengan kefilsufan Rasulallah Saw.?” Padahal, arti berpikir bagi manusia itu sangatlah teramat mendasar dan penting.
Ringkasnya, Muhammad adalah filsuf sejati sepanjang sejarah kehidupan manusia, sekurang-kurangnya, seperti dikatakan musa asyari, sebelum wahyu diturunkan kepada beliau.
Nah, kita sekarang akan melihat pendekatan Al-Qur’an dan Al-Hadist untuk ;membuktikan bahwa filsafat Islam itu ada dalam khazanah intelektual Islam. Jadilah kamu seorang manusia yang setia pada keingin tahuan yang tinggi.
Di KTP kamu pasti tertulis bahwa agama kamu adalah Islam. Penamaan Islam di KTP itu hanyalah sebuah kepentingan yang menyangkut kewarganegaraan saja. Pencantuman Islam di KTP hanyalah sebuah formalitas. Dari segi pemaknaan, Islam tidak semudah menuliskannya di kartu yang bisa dibohongi itu. Banyak bukan Islam KTP di negeri kita tercinta ini?
Agama Islam yang kita anut, dari segi pemaknaannya tidaklah mencukupi untuk mengartikan apa yang dibawa Rasulullah Saw. Din Islam . Agama secara etimologi diambil dari bahasa Latin yang berati a adalh “tidak” dan gama adalah “kacau”. Agama mempunyai arti “tidak kacau. Maksudnya, agar hidup kita tidak kacau maka peganglah agama. Tapi, kata din tidaklah mencukupi untuk diterjemahkan hanya dengan kata “agama”.
Din sebenarnya mempunyai arti lain: tunduk. Ia lebih menunjukkan kata kerja, kata yang berproses. Sedangkan agama dari kebahasaannya mempunyai sifat statis, diam terkunci, “tidak kacau”, lebih menunjukkan kata keadaan. Kata Islam, kamu sendiri telah mengetahui, aslama yuslimu, pasrah. Tunduk  dan pasrah adalah dua kata yang mempunyai pemaknaan sama, disini maksudnya adalah tunduk kepada Tuhan dan pasrah total kepada-Nya.
Kamu hafal kan sebuah ayat yang berbunyi, “inna ad-dina inda Allahi al-Islam. Ayat ini suka diterjemahkan, “sesungguhnya agama yang diridhoi adalah Islam”. Penerjemahan ini sah-sah saja. Tapi, menurtku penerjemahan itu kurang dari segi pemaknaannya. Kenapa?
Ada sebuah hadist sahih yang berbunyi, “ad-din huwa al-aqlu, la dina liman la ‘aqla lahu. Ad-din adalah akal, tidak ada ad-din bagi orang yang tak berakal. Mari kita renungkan hadist ini. Tapi awas, jangan sampai kita memasukkan Tuhan di dalam pengertian agama sehingga zat Tuhan kita paksa untuk bisa dimengerti oleh akal. Tuhan tidak identik dengan agama. Agama hanyalah sebuah jalan agar manusia bisa mendekatkan diri kepada-Nya, taqarrub illa Allah. Sebaiknya hadist tersebut dimakna dengan “Ketundukan adalah akal, tidak ada ketundukan bagi orang yang tak berakal”. Jadi, orang yang akalnya tidak mau tunduk sehingga tidak meyakini bahwa Muhammad Saw adalah manusia pilihannya dianggap orang yang tidak berakal.
Akal adalah potensi terbesar manusia dalam dunia ini. Akallah yang membedakan kita dengan burung,ayam,babi dan sebagainya. Dengan kemampuan akal yang mengagumkan, cahaya yang mempunyai kecepatan 300.000 kilo meter per jam bisa di perlambat seperti kecepatan sebuah mobil. Sebelumnya saya ingatkan kamu, akal bukan otak. Kalau akal adalah otak maka ayam pun punya otak. Akal (intelek murni) adalah satu kekuaatan ruhaniah (pada pembahasaan epistemologi kita akan membicarakan ini terperinci InsyaAllah).
Akal kita harus tunduk kepada Tuhan, akal kita harus patuh pada aturan-Nya. Kita harus menggali semua potensi akal sepanjang zaman dengan menundukkannya kepada Tuhan. Sebab, apa yang kita dapatkan dari akal semuanya itu hanyalah gejala-gejalanya yang kita sebut inspirasi,ilham,ide atau gagasan. Dan, semua gejala itu harus kita buktikan dalam kehidupan sehari-hari dengan Islam sejalan dengan ayat Al-Qur’an di atas. Kita laksanakan semua perintah-Nya dan kita jauhi semua larangan-Nya. Islam adalah sebuah totalitas kehidupan yang kita serahkan kepada-Nya, berserah dir kepada-Nya. Islam merupakan kata kunci untuk meraih kebahagiaan duni akhirat.
Ketundukan berpikir seperti apa yang kita pakai? Tentunya yang tidak keluar dari Al-Qur’an dan Al-Hadist. Kita tahu bahwa Islam terbagi ke dalam beberapa madzhab, madzhab itu tidak lain dan tidak bukan hanya satu aliran berpikir. Semu madzhab pasti berargumen pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Setiap dari mereka berusaha menggali mutiara-mutiara hikmah yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist dan secara pasti berbeda satu sama lain. “Lain kepala, lain ide”, kata pepatah. Semua madzhab “berusaha” tunduk kepada Tuhan Yang Mahaluas Ilmu-Nya.
Ketundukan berpikir (din) bisa kita sikapi dlam dua pengertian: ketundukan yang telah ada (dassein) dan ketundukan yang harus ada (dassolen).
Kita tahu sebuah hadist yang berkata bahwa umat Rasulullah Saw. Akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka, yang selamat satu saja (yang “Cuma satu ini” sering dimaksudkan dengan Ahlussunnah wal Jama’ah). Dalam buku Islam Aktual, KH. Jalaluddin rahmat memberikan kritik sanad tentang hadist tersebut. Kesimpulan yang saya tangkap darinya adalah hadist itu diragukan, dha’aif adanya. Kesimpulan itu juga didukung oleh KH. Said Aqiel Siradj dalam buku Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan. Bahkan ada sebuah hadist, kata kedua kiai di atas, yang mengatakan sebaliknya, “Akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semua masuk surga kecuali satu”. Nah, menurut hadist yang kedua ini, yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad al-Ghazali dan Syaikh Ahmad al-Basri, “yang celaka itu satu”: maksudnya yang ketundukan berpikirnya tidak bersandar pada Al-Qur’an dan Al-Hadist, tetapi bersandar pada kepentingan dan nafsunya. Di sinilah kita harus mengerti bahwa madzhab yang hanya merupakan suatu aliran berpikir itu tidak mesti satu, tetapi banyak. Kita harus membuang jauh-jauh kebiasaan mengklaim “hanya diri kita sajalah yang benar”. Kita harus menjadi manusia yang mempunyai kedewasaan berpikir, yaitu bersikap nonsektarian(tidak fanatik dengan satu aliran). Tidak! Ketundukan berpikir itu tidak mesti satu. Dan, oleh karena itu pulalah kita mendengar definisi Ahlussunnah wal Jama’ah yang baru dari KH. Said Aqiel Siradj bawa pengikut Ahlusunnah wal Jama’ah itu bukan hanya kaum Asya’ariah saja, melainkan mereka yang mengamalkan sunnah.
Konsep din Islam inilah yang menjadi bukti kemegahan Filsafat Islam dan merupakan dassein dari din. Kita akan bersilaturahmi dengan dua konsep ini secara lebih menantang sekarang (dassein).
Tadi din telah disinggung mempunyai arti tunduk. Tapi bukan hanya itu, din juga mempunyai arti “air hujan yang tak henti-henti”. Ketika akal kita tunduk kepada Tuhan, di sanalah intelektual kita tahu kemestian akal. Ini penting untuk dimengerti oleh mereka-mereka yang suka berbangga dengan kepintarannya. Tanpa pemahaman seperti ini, para pemikir akan melangkah pada kebebasan berpikir yang bukan hanya salah, melainkan menjadi sesuatu yang salah kaprah. Misalnya, para pemikir (filsuf) Barat seperti Nietzche dan Sartre. Dua filsuf hebat ini melesatkan akal pikirannya dengan begitu bebas. Tujuan mereka sebenarnya mulia, mencari akar permasalahan hidup, namun sayang hanya dalam kerangka manusiawi semata tanpa mempedulikan peranan Tuhan dalam hidup ini. “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup”, (QS. Al-Alaq:6-7). Dua filsuf ini menolak adanya Tuhan (Tuhan yang ada disetiap agama). Mereka melangkahkan akalnya sampai tidak tahu dan tidak mau berhenti, dimana ujung pengembaraan akalnya itu. Padahal pengembaraan akal itu harus berujung, titik terakhirnya Tuhan. pada akhirnya harus mengakui kebenaran serta peranan Tuhan dalam hidup ini. Dalam filsafatnya Immanuel Kant kita bisa tahu bahwa kemampuan pikiran kita terbatas. Bagi Kant, ini bukan tentang seberapa jauh akal kita meluncur, melainkan akal justruu harus bertanya secara kritis tentang dasar-dasar mengenai sahnya pengetahuan. Ini adalah aturan main berpikir yang valid ke dalam, bukan aturan main bebas melabrak akalnya sendiri. Kemudian, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya berkata bahwa akal merupakan suatu “timbangan” yang dirancang Tuhan untuk menimbang emas, namun sebagian manusia suka lupa sehingga mereka bermaksud menimbang gunung dengan akalnya. Singkatnya kata Bergson, akal dicirikan dengan satu ketidakmampuan alami untuk memahami kehidupan.
Sungguh indah bahasa Emha Ainun Nadjib, “Akal itu ujung jari Tuhan.”
Oleh karena itu, dimuali dari Nietzsche dan Sartre, para penganut gerakan filsafat yang mengedepankan akal ini, terutama di dunia Barat, berada dalam kegelisahan yang tak bertepi. Kegelisahan ini diakhiri dengan “kejatuhannya” akibat dari pertumbuhan intelektual yang tak terkendali, meledaknya ilmu-ilmu fisik dan munculnya pseudoscience (ilmu-ilmu rekaan) di arena psikologi, sosiologi, ekonomi dan yang lainya. Apalagi fisikawan-fisikawan hebat sekarang ini banyak menolak Tuhan. Menurut mereka, alam ini hanya “ada”, tanpa Pencipta. Alasan untuk menjadi orang ateis semakin canggih saja.
Dengan din (tunduk), manusia akan tahu di mana batas kewajaran duni intelektual. Dengan din, manusia akan tahu arti keadilan dalam berpikir. Kita harus mendukung kebebasan berpikir, namun dalam koridor ketundukan kepada Tuhan. Ketika akal kita din maka pada waktu itu kita harus menangkap intuisi ( kita akan membahas tentang intuisi nanti), intelektual dan perasaan kita. Oleh karena itu, kemestian pembahasan din tidak lain dan tidak bukan adalah Islam. “totalitas” kepasrahan kita kepada-Nya. Inilah mengapa Tuhan berfirman, “Inna ad-dina inda Allahi al-Islam”.
Filsafat Islam dari sudut pandang diatas, merupakan satu proses. Oleh karena itu, saya ingin mengatakan bahwa ayat inna ad-dina inda Allahi al-Islam adalah ayat Filsafat Proses. Kamu tahu ayat terakhir yang diturunkan Tuhan kepada Rasulullah Saw, surat al-Maidah ayat 3, “..al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati wa raditu lakum al-Islama dina”. Dari sudut pandang Filsafat Proses, ayat ini bisa diterjemahkan, “Hari ini Aku telah sempurnakan (pedoman) ketundukan berpikirmu. Aku telah lengkapkan nikmat-Ku sebagai (hasil) dari ketundukan berpikirmu.” Kedengarannya rancu. Tetapi, seperti itulah barangkali terjemahan yang tepat.
Surat al-Maidah ayat tiga ini sering dijadikan argumen bahwa agama islam itu telah sempurna, dalam artian Al-Qur’an itu sempurna, memuat segala-galanya-tidak satu hal pun yang tidak disebutkan dan dijelaskan di dalamnya; memuat penjelasan tentang sistem politik, ekonomi, keuangan, kemasyarakatan, pertanian, perindustrian, ilmu pengetahuan dalam artian sains, teknologi modern dan sebagainya. Pokoknya, Al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam adalah kitab yang lengkap dan sempurna. Orang yang berkata seperti itu, biasanya, hanya dengan persetujuan emosional semata, tanpa mau memikirkan secara mendalam ayat-ayat Al-Qur’an. Untuk membantah pendapat mereka, kamu harus membaca Islam Rasionalnya-nya Harun Nasution. Menurutnya, mengutip beberapa tafsir, yang dimaksud penyempurna adalah sempurna dalam arti hukum, ajaran, dasar agama, halal serta haram, serta kemenangan Islam. Benar Al-Qur’an itu telah lengkap, namun bukan berarti telah menjelaskan segala-galanya sampai pada tingkat kepentingan teknis. Bukaknkah cara-cara shalat pun tidak kita dapatkan dari Al-Qur’an, melainkan dari Al-Hadist? Al-Qur’an hanya berbicara secara garis besarnya saja. Misalnya, dalam konsep kenegaraan Al-Qur’an tidak menyebutkan apakah harus mengambil bentuk kerajaan atau republik. Yang dijelaskannya hanya dasar-dasar yang harus diambil dalam mengatur negara, yaitu musyawarah. Musyawarah bisa dijalankan dalam sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan atau republik. Masalah ada atau tidaknya konsep kenegaraan dalam Islam ini sebenarnya menjadi tesis gelar Master of Art-nya Munawwir Sjadzali. Baca buku KH. Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela.
Abdul Wahab Khallaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Cairo, melakukan peneletian dan mengabarkan bahwa ayat-ayat yang menandaskan tentang hukum (ahkam) dalam Al-Qur’an jumlanhya hanya sedikit, berkisar 500 ayat atau 8% dari keseluruhan ayat. Dan dari jumlah tersebut sekitar 228 ayat atau 3,5% berkaitan dengan hubungan hidup kemasyarakatan. Oleh karena itu, sekali lagi, salah kiranya apabila kita berkata bahwa Al-Qur’an mengandung segala-galanya. Sebab, pernyataan ini tidak mempunyai landasan yang kuat, hanya persetujuan emosional semata.
Titik terakhir “ujung jari Tuhan” manusia pun pada akhirnya berbeda. Bagi masyarakat awam, yang tak punya kesempatan untuk mendayagunakan akal secara maksimal, mungkin hanya dengan mendengar penjelasan sangat sederhana dari Kiai dia langsung din (tunduk). Tetapi bagi kita yang bertekad untuk mengembarakan akal semaksimal mungkin, titik terakhir “ujung jari Tuhan” pasti berbeda dengan mereka. Tetapi konsepnya sama din.
Kita jangan terlalu jauh melangkah ke sana kemari. Kita tidak boleh hanya berdiam di dunia berpikir, din. Ketika kita hanya sampai disana maka meminjam bahasa Milan Kundera ketika mengutip pepatah Yahudi, “Manusia berpikir, Tuhan pun tertawa.” Dunia adalah komedi bagi mereka yang mengandalkan pikiran dan menjadi tragedi bagi orang yang mengungsung perasaan. Kalau hanya sampai di dunia berpikir maka kita Cuma akan diam dalam keruwetan yang tak berakhir. Dunia ini permainan. Hakikat dunia adalah permainan dan hakikat permainan adalah dimengerti ketidakmengertiannya.
Coba perhatikan permainan sepak bola, misalnya. Satu bola dikejar-kejar oleh 22 manusia yang mempunyai kepentingan dan tugas yang berbeda-beda. Mereka harus rela bercucuran keringat dengan napas terengah-engah naik turun. Mereka harus menahan dan menerima kecurangan dari teman-temannya (sekaligus lawan) sesama manusia. Mereka harus berjuang sekuat tenaga memasukkan bola ke sarang lawan. Bahkan, mereka dituntut berlatih dulu sampai bertahun-tahun. Bukankah itu merupakan sesuatau yang tidak dimengerti? Coba kalau tiap orang diberi bola masing-masing satu, bukakankah itu lebih manusiawi, tidak perlu menyiksa mereka dengan kelelahan dan kesakitan yang pasti ada. Tapi, itulah yang namanya permainan, harus begitu, dimengerti ketidak mengertiaanya.
Jadi, apakah dunia ini hanya peermainan dan dipenuhi kesia-siaan? Apakah Tuhan bermain dadu? Tidak. Tuhan berfirman, “Apakah kalian berpikir bahwa kami telah menciptakan kalian dengan sia-sia tanpa tujuan dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada kami? (QS. Al-Mu’minun: 115). Banyak sekali ilmuwan sekarang yang mengetahui dunia ini absurd sehingga akhirnya mereka menjadi ateis, di antaranya Richard Dawkins. Ia berkata, “Hipotesis tentang Tuhan tidak memberikan penjelasan apa pun karena ia hanya mempostulatkan apa yang justru ingin kita jelaskan. Ia mempostulatkan betapa sulit mencari penjelasan semacam itu dan lantas membiarkannya begitu saja”. Tidak! Tuhan tidak membiarkan begitu saja. Semua yang diciptakan-Nya ada dalam Tujuan-Nya, tidak sia-sia dan ada dalam rabb-Nya (ayoman-Nya). Akal Dawkins tidak din. Fazlur Rahman menulis, “Jika dunia merupakan permainan maka semua pembicaraan mengenai petunjuk, kesesatan, dan pengadilan dalam pengertian Al-Qur’an (tidak dalam pengertian sebagai peraturan-peraturan dalam permainan) selain tidak ada artinya, juga merupakan khayalan belaka”.
Orang-orang yang berakal dan paham dengan keterbatasannya akan mengerti bahwa hanya Islam yang akan membawa dia pada kebahagiaan sempurna baik di dunia maupun di akhirat. Kalau kita ibaratkan tubuh kita adalah delman maka Islam adalah jalan yang tepat menuju tujuan akhir dan sang kusir adalah takwa. Jangan hanya berhenti sampai pada proses berpikir, namun bumikanlah dengan dan dalam Islam.
Itulah Filsafat Islam. Filsafat Islam adalah dunia din, yang mengajarkan kebebasan berpikir sampai ke akar-akarnya yang tidak keluar dari lingkaran ketundukaan kepada-Nya, harus diislamkan di dunia nyata dan dibuktikat dalam kehidupan ini dengan kepasrahan total kepadanya. Kata “total” di sini apabila kita mau merenung jauh merupakan kata yang sudah di luar batas rasional. Dengan begitu, kata “total” adalah salah satu ungkapan akal kita yang din.
Singkatnya, “Adil dulu dalam berpikir, baru engkau bisa adil dalm bertindak.” Dua konsep ini berlangsung tidak secara terpisah tapi dalam satu paket yang ada pada tiap satuan detik kehidupan.
Kita tahu Islam adalah penyempurna agama-agama sebelumnya. Inilah makna din yang paling fundamental yang di ajarkan Al-Qur’an (penyempurna!). Oleh karena itu, apabila kita membuka lembaran-lembaran Al-Qur’an, kita tak akan menemui satu pun bentuk jamak kata din (adyan). Ini pulalah salah satu alasan kuat yang membuat kita keberatan memaknai din dengan agama. Tuhan mengajarkan bahwa ketundukan yang sempurna itu hanya ada dalam din; yang dibawa oleh Muhammad Saw. Dan disimpan dalam al-Qur’an. Dan ini pula yang membuat kita meyakini bahwa Al-Qur’an akan tetap terjaga sampai pada akhir zaman, akan sanggup menuntun manusia pada kesempurnaan spritual dan kebahagiaan sejati.
Hikmah itulah filsafat. Kenapa hikmah disejajarkan dengan filsafat? Di dalam al-Qur’an tidak termuat kata filsafat karena memang Al-Qur’an ditulis dengan bahasa Arab, sedangkan filsafat adalah asli dari bahasa Yunani. Sementara itu, kata hikmah asli dari bahasa Arab yang diartikan sebagai pengetahuan mendalam yang diperoleh baik dari fakta-fakta, kejadian, ataupun peristiwa. Menurut Fakhrur Razi, hikmah merupakankeutamaan ilmu dan amal. Disebut hkimah karena ia terbentuk dari hukum-hukum dan perumusan berbagai permasalahan, memperkuatnya dan menjauhkannya dari berbagai sebab kelemahan; keyakinan-keyakinan yang tepat dan valid pasti tidak menerima revisi, kontradisksi serta kekurangan. Menurut al-Jurani, hikmah adalah ilmu yang membahas sesuatu yang apa adanya dalam wujud sesuai dengan kemampuannya sebagai manusia. Menurut Musa Asy’arie, disamakannya istilah hikmah dan filsafat karena antara keduanya secara umum mebahas tentang Tuhan, alam dan manusia. Dengarkan Sayyed Hussein Nasr menulis dalam Islam Tradisi, “Islam adalah pewaris warisan filosofi dari dunia Mediterania daan anak benua India. Ia mengalihkan bentuk warisan ini dalam pandangan-dunia Islam dan sesuai dengan semangat dan simbol-tertulis Al-Qur’an, serta melahirkan serangkaian besar madzhab intelektual dan filosofi, yang hanya beberapa saja secara teknis diistilahkan dengan falsafah”.
Hikmah (filsafat) adalah uraian pencerahan atas nilai-nilai yang terkandung di dalam ayat-ayat Tuhan, yang bertujuan untuk menyingkap realitas perubahan masyarakat yang kompleks, yang tidak bisa dimengerti dan dipecahkan semata-mata meengandalkan rasionalitas. Bahasa hikmah adalah din. Oleh karena itu, diperlukan wawasan yang tajam daru qalbun(intuisi) yang bercahaya untuk dapat memahami hakikat kebenaran dalam Islam. Di sinilah pentingnya kepasrahan total kepada-Nya. Sekilas intuisi telah kita bicarakan, tapi insyaAllah akan dibahas lebih detail lagi.
Itulah Filsafat Islam yang mengajarkan bagaimana kemestian berpikir dan berperilaku. Ibnu Maskawaih mengingatkan, “siapa saja yang ingin menyempurnakan dirinya sebagai seorang manusia (insaniyah) dan mencapai peringkat ‘fitrah manusiawi’ supaya dapat menyatupadukan dirinya bersama para filsuf maka biarkan dia memperoleh kedua seni ini. Dengan begitu, akan terkumpul baginya hakikat-hakikat sesuatu lewat aspek teoritikal, filsafat, dan amal saleh lewat aspek praktikal”.
Kemestian berpikir ini kemudian kita tarik dalam kearifan menyikapi perkembangan zaman. Segila-gilanya zaman, bagi orang yang bertekad dan mampu, din bukanlah ancaman yang bisa merusak identitas manusia.
NB : Apabila kamu membaca, baik tulisan ini maupun buku karya penulis-penulis besar, jangan sampai terbawa, apalagi terhanyut. Kamu harus punya benteng, jangan sampai terjebak dengan persetujuan buta pada pemikiran penulis. Kita harus masuk ke dunianya, kita bahkan bisa jauh menorobos batas-batas yang bisa mempertemukan kita dengannya secara emosional. Tapi untuk sebuah kesepakatan tetap kita harus menyaringnya, harus seperti gunung kita merenung!
Sekaligi saya ingatkan hak tertinggi keberadaan kamu 
Load disqus comments

0 comments