BAB I
PENDAHULUAN
METAFISIKA JEAN PAUL SARTRE - SINAU FILSAFAT |
1.1 Latar Belakang
Masalah
Jean Paul Sartre (1905-1980) adalah
seorang filsuf yang terkenal di Perancis. Tulisannya bukan hanya di bidang
filsafat murni, tetapi juga dalam bidang seni dan sosial. Ia juga mempengaruhi
pemikiran para penulis, seniman, ahli-ahli sosial dan para aktivis politik pada
masanya. Sartre lahir di Paris pada 21 Juni 1905 dari sebuah keluarga agamawan.
Ayahnya meninggal ketika ia masih berusia satu tahun, ibunya mengajak Sartre
tinggal bersama sang kakek, Charles Schmeitzer, yang kemudian sangat memberikan
pengaruh yang besar bagi pemikiran Sartre mendatang.
Pada
September 1933, Sartre pergi ke Berlin untuk belajar filsafat Edmund Russerl
sang pencetus “fenomenologi”. Setelah mempelajari fenomenologi, ia membuat
sebuah esay yang berjudul “ Transendensi Ego”. Baginya, fenomenologi adalah
sarana mengungkapkan realitas dan pengalaman kongkret. Kemudian ia menerapkan
fenomenologinya dalam psikologi, terutama fantasi dan emosi. Dalam berfilsafat
dan berpikir tentang konsep politik Sartre cenderung “berhaluan kiri”. Ia
selalu berusaha mengkritisi sistem kapitalisme dan memperjuangkan hak-hak kaum
buruh. Ia menulis “ Percobaan Satu Ontologi Fenomenologis” sebagai kritiknya
tasa rasio dialektis ( Bertens, 2006: 91-98).
Kemudian di tahun 1938 ia
menerbitkan sebuah karya novel terkenal yang berjudul Nausea. Karya besar Sartre yang lain adalah Being and Nothingness yang diterbitkan pada 1943. Waktu itu ia
menulis karya ini di dalam tahanan. Seperti pada judulnya, salah satu yang menjadi
bahasan buku tersebut adalah mengenai ‘Ketiadaan dalam Ada’. Ada dan Ketiadaan
adalah tema aktual yang dibicarakan dalam karya-karya Sartre. Menurutnya, Ada
terbagi menjadi dua macam, yaitu: l’etre-en-soi (berada dalam dirinya) dan l’etre-pour-soi (berada untuk dirinya). Kedua macam Ada ini diulas dalam Being and Nothingness sebagai suatu
sistem metafisika.
Menurut Frederick Sontag: “Philosophy, insofar as it is the search for
first principles or the basic assumptions implicit in any question, is
metaphysics.” (Sontag, 1970:1) Metafisika adalah filsafat pokok yang menelaah ‘prinsip pertama’ (the
first principle). Dalam metafisikanya, Sontag juga
berpendapat bahwa masalah yang ada merupakan persoalan yang hendak di jawab
oleh setiap pemikiran metafisika. Kajian atas persoalan yang-ada mengiringi
munculnya persoalan baru, yakni masalah “yang-tiada” (nothingness) (Siswanto, 2004:29). Berdasarkan dua hal diatas,
nampak adanya kemiripan dalam pembahasan metafisika Sartre dan problem
metafisika Sontag yang perlu dikaji lebih lanjut.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana problem metafisika
Frederick Sontag?
1.2.2 Bagaimana sistem metafisika
J.P.Sartre?
1.2.3 Bagaimana analisis koherensi
pemikiran metafisika Sontag dan Sartre?
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang
permasalahan dan rumusan masalah tersebut iatas, dapat dirumuskan tujuan
penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Mengetahui problem metafisika menurut Frederick Sontag.
1.3.2 Mengetahui pemikiran sistem
metafisika J.P.Sartre.
1.3.3 Menganalisis koherensi
pemikiran metafisika Sontag dan Sartre.
BAB II
PEMBAHASAN
METAFISIKA JEAN PAUL SARTRE |
2.1 Problem Metafisika Frederick Sontag
Metafisika adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang
“yang-ada sebagai yang-ada”. Metafisia berasal dari istilah Yunani: ta meta ta physika; artinya “sesudah
atau dibelakang realitas fisik”(Siswanto, 2004:2). Aristoteles menyebut
metafisika dengan istilah being qua being.
Sehingga pengertian metafisika adalah cabang filsafat yang mengkaji yang-ada
sebagai yang ada (Aristoteles). Menurut Anton Bakker metafisika adalah cabang
filsafat yang menyelidiki dan menggelar gambaran umum tentang struktur realitas
yang berlaku mutlak dan umum.
Orang sering mengkaitkan metafisika dengan sang filsuf besar
Aristoteles. Alasannya adalah melalui karya Aristoteles The First Philsophy. Karya Aristoteles ini membahas pengetahuan
tentang tujuan segala disiplin. Kemudian Andronikos dari Rodhos menyebut
sebagai metafisika. Christian Wolff seorang filsuf yang hidup pada abad ke-17
memberikan nama baru untuk cabang filsafat ini. Istilah yang digunakannya
adalah ontology. Menurut Wolf
ontology dapat dibagi menjadi dua yaitu: ontology umum dan ontology khusus.
Ontology umum membahas being just
that-being dengan perspketif yang lebih luas. Serta ontology khusus, yang
terdiri dari psikologi rasional, kosmologi, dan teologi natural.
Dalam perkembangannya metafisika mendapat kritik yang tajam. Kritik itu
datang dari para filsuf empirisisme yang melandaskan pemikirannya pada yang
nampak. Sesuatu yang tak dapat ditangkap indera menurut kaum empirisisme tak
dapat dimengerti. Dengan kata lain pengalaman menjadi titik pangkal pengetahuan.
Ide-ide yang dibangun kaum rasionalisme tentang metafisika adalah X yang tak
dapat dipahami.
Dari tokoh diatas Aristoteles dan Wolff melahirkan pembedaan akan
istilah yang digunakan untuk cabang filsafat ini. Pada abad kontemporer orang
tidak lagi mempermasalahkannya. Metafisika diberi konotasi baru sebagai cabang
filsafat yang menggarap atau menyelidiki prinsip-prinsip pertama (Siswanto,
2004:6).
Sebagai salah satu cabang filsafat metafisika mempunyai objek material
dan objek formal. Objek materialnya adalah yang-ada. Yang-ada disini harus
pertama-tama ditemukan dalam manusia dan kosmos. Objek formalnya menyelidiki noumenon kenyataan;yaitu semua unsur
structural yang berlaku “dimana-mana” dan untuk “apa saja” yang-ada (Siswanto,
2004:8)
Dalam perkembangan metafisika sebagai salah satu cabang filsafat.
Metafisik tidak luput dari problem-problem yang harus dihadapi. Terdapat
perbedaan pandangan dari para filsuf dalam hal ini. Maka dari itu makalah ini
memilih salah satu saja dari para filsuf. Filsuf yang dirasa cukup
representantif pandangannya adalah Sontag.
Sontag dalam pandangnnya memaparkan lima persoalan metafisika. Pertama,
being and nothingness. Secara umum
masalah being disetujui oleh para
metafisikawan. Karena menjadi tujuan metafisika adalah menggelar gambaran
secara umum tentang struktur segala sesuatu atau realitas tertentu. Jika ada
“yang-ada” maka ada juga “yang-tiada” (nothingness).
Sebab, fakta menunjukkan bahwa tidak semua “yang-ada” itu hadir setiap saat
(Siswanto, 2004:16). “yang-tiada” dimaksud disini adalah sesuatu yang mungkin
untuk “ada”. Persoalan “yang-ada” melahirkan pertanyaan lanjutan. Pertanyaan
itu menyangkut jumlah, apakah “yang-ada” itu satu (the one) atau banyak (the
many).
Kedua, time and necessity masih
berkaitan dengan “yang-ada”. Bagaimana “yang-ada” hadir dalam masalah time and necessity. Terkait masalah
waktu, persoalan paling mendasar adalah bagaimana memahami tatanan hubungan
antara masa lampau, masa sekaran dan masa yang akan datang; serta bagaimana
kemampuan pikiran mempertimbangkan ketiganya secara simultan (Siswanto,
2004:17). Masalah keniscayaan (necessity)
yakni masalah apakah waktu berlaku bagi semua “yang-ada” atau bagi “yang-ada”
tertentu saja (Siswanto, 2004:17).
Ketiga, substance and accidens,
problem ini mempertanyakan watak “yang-ada” yang paling umum. Membedakan antara
subtansi dan aksidensia. Kajian atas masalah ini membawa pada implikasi masalah
baru, yakni masalah esensi (prinsip internal yang menyusun kualitas tertentu)
dan masalah aksidensia (sesuatu yang tidak tetap, eksistensinnya tergantung
pada yang lain dan tanpa itu sesuatu tetap dapat eskis) (Siswanto, 2004:17).
Keempat, the
first and the last things permasalahan ini ditambahkan oleh Sontag.
Permasalahan the first and the last
things banyak tidak disetujui oleh filsuf lainnya. Hal ini membahas tentang
apakah “yang-ada” itu “yang-pertama” ataukah “yang-terakhir”.
Kelima, god and freedom ini merupakan permasalahn terkahir yang disebutkan
oleh Sontag. Persoalan tentang god and
freedom ditempatkan pada bagian terakhir bukan karena paling tidak penting;
justru sebaliknya (Siswanto, 2004:18). Persoalan tentang Tuhan dalam kaitannya
dengan persoalan keniscayaan, membawa implikasi metafisis munculnya masalah
kebebasan (Siswanto, 2004:18).
2.2 Sistem
Metafisika Jean Paul Sartre
Jean-Paul Sarte membagi status
ontologis yang transenden, ke dalam dua
bentuk yaitu etre-en-soi (being-in-itself,
ada-dalam-dirinya) dan etre-pour-soi
(being-for-itself, ada-bagi-dirinya).
a. etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya)
Maksud dari etre-en-soi (being-in-itself,
ada-dalam-dirinya) adalah sesuatu yang tidak sadar atau tidak memiliki
kesadaran, statusnya sama seperti benda-benda mati seperti batu atau kertas.
Dilihat hanya sebagai suatu benda saja. Dia gelap bagi diri sendiri, karena padat dan
penuh dengan diri sendiri.
Apa yang ada adalah identik dengan
dirinya sendiri, It is what it is.
Keadan ini bersifat masif, tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, self-contained, dan tidak ada hubungan
dengan apa pun juga. (Siswanto : 1998). En-soi itu ada karena ada secara
kebetulan, dan bukan ciptaan tuhan. Karena, andaikata diciptakan Tuhan maka,
en-soi itu ada didalam pikiran Tuhan atau diluarnya. Bila didalam, maka belum
tercipta, bila diluar maka ia bukan ciptaan karena berdiri sendiri.
b. etre-pour-soi (being-for-itself, ada-bagi-dirinya)
Maksud dari etre-en-soi (being-in-itself,
ada-dalam-dirinya) adalah sesuatu sudah mempunyai kesadaran tentang sesuatu
diluar dirinya . Sadar akan adanya Subjek dan Objek, sadar bahwa ada jarak
antara diri dan kesadaran. Dan sadar akan sesuatu, akan adanya jarak, bagi Sartre
adalah meniadakan (neantiser) sesuatu. Sadar akan diri sendiri adalah
meniadakan diri sendiri. Ketika menjadi pour-soi, pengada itu menjadi retak,
karena ia mempunyai kesadaran. Memang kesadaran menghubungkan subjek. etre-en-soi bukanlah
benda dan berbeda secara radikal dengan etre-en-soi.
Etre-pour-soi memiliki ciri khas
negativitas. Menurut etre-pour-soi,
kesadaran berarti suatu jarak, distansi, non-identitas. Etre-pour-soi adalah Ada yang berkesadaran. Bagi Sartre, manusia
adalah makhluk yang membawa ‘ketiadaan’. Aktivitas etre-pour-soi adalah ‘menidak’ apa yang ada. Sartre menyimpulkan
bahwa ‘ketiadaan’ muncul dengan ‘menidak’ dunia. (Bertens : 1996). Sebagai contoh
misalnya terdapat seorang manusia yang sedang berbuat suatu hal, dia sadar
bahwa dia sedang melakukan suatu proses peralihan. Peniadaan itu terjadi terus
menerus, tidak pernah berhenti sebab manusia tidak pernah berhenti berbuat
sesuatu. Jadi, proses itu tidak pernah selesai, selalu meniadakan dirinya sendiri
dan berusaha untuk menjadi diri yang lain.
Jika dibandingkan kedua cara berada
tersebut, etre-en-soi sama sekali
tidak mempunyai relasi dengan etre-pour-soi.
Sedangkan, etre-pour-soi mempunyai
relasi dengan etre-en-soi, yaitu
menidak etre-en-soi. Etre-pour-soi mempunyai keinginan untuk
berada sebagai etre-en-soi, yakni
mempunyai identitas dan kepenuhan Ada.(Bertens : 1996)
·
Pemikiran
dalam Ada dan Ketiadaan
Program yang akan dilaksanakan dalam
buku ini ditunjukkan oleh anak judulnya : suatu ontologi dasar fenomenologis.
Dengan metode fenomenologi Husserl, Sartre ingin merancangkan suatu ajaran
tentang Ada. Itu berarti, bagi Sartre problem pokok adalah hubungan antara
kesadaran dan Ada.
·
Dua cara berada: etre-en-soi dan etre-pour-soi
Titik tolak tidak bisa lain daripada
Cogito: kesadaran yang saya miliki tentang diri saya sendiri. Dalam hal ini, Descrates
benar. Tetapi filsuf abad ke-17 ini langsung menafsirkan cogito sebagai suatu cogito
tertutup, sebagai cogito yang
terpisah dari dunia dan terkurung dalam dirinya. Dari H`usserl dapat kita
pelajari bahwa intensionalitas merupakan ciri khas kesadaran. Menurut kodratnya
kesadaran terarah kepada yang lain dari dirinya. Menurut kodratnya kesadaran
adalah transendensi (bertentangan dengan imanensi yang menandai cogito Descartes).
Menurut Sartre, para fenomenolog dan
khususnya Husserl tidak memberikan penjelasan yang memuaskan tentang Ada-nya
fenomen-fenomen. Soalnya adalah apakah Ada-nya fenomen-fenomen merupakan suatu
fenomen juga atau tidak? Menurut Husserl Ada-nya suatu objek tidak berbeda
secara prinsipal dengan tampaknya obyek itu; Husserl berhenti pada esensi atau
eidos, tetapi dengan itu tidak pernah merupakan syarat bagi tampaknya sesuatu.
Ada itu selalu bersifat transfenomenal.
Apakah yang dapat dikatakan tentang Ada-nya kesadaran? Sudah kita
ketahui, kesadaran itu bersifat intensional: menurut kodratnya terarah kepada
dunia. Hal itu dirumuskan oleh Sartre sebagai berikut: kesadaran (akan) dirinya
berada sebagai kesadaran akan sesuatu. Kesadaran adalah kesadaran-diri. Tetapi
kesadaran (akan) dirinya tidak sama dengan pengalaman tentang dirinya:
mengambil dirinya sebagai obyek pengenalan. Cogito bukanlah pengenalan-diri,
melainkan kehadiran pada dirinya sebagai nontematis. Karena alasan itu kata
“akan” oleh Sartre ditulis antara kurung, jadi harus dibedakan kesadaran
tematis dan kesadaran nontematis; kesadaran akan sesuatu dan kesadaran (akan)
dirinya. Itu berarti bahwa prarefleksif. Kesadaran (akan) dirinya
“membonceng” pada kesadaran akan dunia.
Itu berarti bahwa cogito tidak menunjuk kepada sesuatu relasi pengenalan,
melainkan kepada suatu relasi Ada. Kesadaran adalah kehadiran (pada) dirinya.
Kehadiran (pada) dirinya merupakan syarat yang perlu dan cukup untuk kesadaran.
Kita tidak membutuhkan suatu Subyek Transendental atau Aku Absolut seperti
diterima oleh idealisme.
Seperti kita lihat, kesadaran akan
sesuatu yang lain. Sartre menyimpulkan: terdapat Ada yang transenden (dalam
arti: tidak bisa disamakan dengan kesadaran). Disuatu pihak terdapat kesadaran,
dilain pihak terdapat Ada-nya fenomen-fenomen atau Ada begitu saja. (being-in-itself; ada pada dirinya
sendiri). Tentang etre-en-soi itu
harus dikatakan: “it is what it is”. Etre-en-soi
tidak mempunyai masa silam, masa depan; tidak mempunyai kemungkinan ataupun
tujuan. Etre-en-soi itu sama sekali
kontingen. Artinya: ada begitu saja tanpa fondamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat
diturunkan dari sesuatu yang lain.
Suatu hal lain yang ditekankan Sartre
(dan ini pun diterima oleh semua fenomenolog) ialah bahwa kesadaran
sekali-sekali tidak boleh disamakan dengan benda.
Sartre menggunakan istilah etre-pour-soi (being-for-sel; ada bagi
dirinya) untuk menunjukkan kesadaran. Etre-pour-soi
bukanlah benda, bisa dikatakan; berarti juga bahwa etre-pour-soi berbeda radikal dengan etre-en-soi; etre-pour-soi
mempunya status yang sama sekali berlainan dengan etre-en-soi. Jadi terdapat dua cara berbeda, dua modes of being
yang sama sekali berbeda: etre-en-soi
dan etre-pour-soi.
Lebih lanjut kekhususan etre-pour-soi, kesadaran (akan) dirinya
berada sebagai kesadaran akan sesuatu. Dengan perkataan lain, kesadaran adalah
intensional. Perumusan ini dapat dibalik juga: kesadaran akan sesuatu berada
sebagai kesadaran (akan) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya sendiri adalah
konstitutif bagi kesadaran. Suatu maksud, rasa senang, rasa sedih, atau lain
sebagainya hanya bisa berada sebagai sadar (akan) dirinya; persis seperti
sesuatu benda tidak mungkin berada kecuali dengan memiliki tiga dimensi, kata Sartre.
Kalau saya sadar akan sesuatu, berarti juga bahwa saya bukan “sesuatu”, bahwa
saya tidak sama dengan “sesuatu” itu. Saya melihat lukisan di dinding sana tau
gelas berisi teh dimeja sini: itu berarti, saya sadar bahwa saya bukanlah
lukisan atau gelas. Untuk dapat melihat sesuatu, syarat mutlak ialah adanya
jarak. Bila sesuatu dekat sekali dengan mata, apalagi bila sesuatu identik
dengan mata (seperti misalnya retina atau selaput jala), maka saya tidak akan
melihat apa-apa. Contoh lain lagi: saya sementara mengetik; itu tidak berarti
saya sadar akan diri saya sebagai orang mengetik, tetapi serentak juga saya
sadar bahwa saya tidak identik dengan orang yang mengetik. Saya juga bisa
berhenti mengetik dan berjalan jalan atau membaca koran umpamanya. Dari semua
ini harus disimpulkan bahwa negatifvitas merupakan ciri khas etre-pour-soi. Manusia sanggup untuk
mengadakan relasi dengan yang tidak ada. Tentang entre-pour-soi hatus dikatakan “it is not what it is”. Kesadaran berarti distansi, jarak,
non-identitas. Bagi Sartre itu berarti lagi, kesadaran sama dengan kebebasan.
Dengan demikian, Sartre dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang banyak memusingkan para filsuf: darimana
asalnya ketiadaan? Jawabannya ialah bahwa ketiadaan muncul dengan manusia,
dengan etre-pour-soi. Manusia adalah
mahkluk yang membawa “ketiadaan”. Aktivitas khusus etre-pour-soi adalah “menindak”.
Jika kita membandingkan dua cara
berada etre-en-soi dan etrepout-soi
itu, maka etre-en-soi sama sekali
tidak mempunyai relasi dengan etre-pour-soi,
sedangkan etre-pour-soi mempunyai
relasi dengan etre-en-soi, yaitu
tidak lain daripada “menindak” etre-en-soi.
Salah satu keinginan etre-pour-soi
adalah berada sebagai etre-en-soi:
mempunyai identitas dan kepenuhan ada (seperti:etre-en-soi) dan toh mempertahankan sifatnya sebagai etre-pour-soi. Manusia senantiasa
berusaha menjadi Allah, sintesa dari etre-en-soi
dan etre-pour-soi. Karena itu pada
akhir bukunya Sartre mengatakan bahwa manusia merupakan une passion inutile: suatu gairah yang sia-sia saja.
2.3 Analisis Koherensi Problem
Metafisika Sontag dengan Sistem Metafisika Sartre
Persoalan pertama yang diajukan Sontag adalah keterkaitan antara
metafisika Sontag dan Sartre yang akan diungkap disini yaitu mencoba menjawab
persoalan metafisika yang diajukan oleh Sontag mrnggunakan pemikiran Sartre. Persoalan
yang diajukan Sontag adalah mengenai being
and nothingness. Pertanyaan tersebut
kemudian menyangkut jumlah, apakah “yang-ada” itu satu (the one) atau banyak (the
many). Sartre menjawab persoalan ini dengan karyanya yang berjudul Being and Nothingness. Dalam buku
tersebut dijelaskan bahwa manusia berhubungan dengan dunia melalui hubungan
pertanyaan. Dalam kehidupannya, manusia mengajukan pertanyaan-pertanyaan
terhadap realitas dan kemudian akan mendapatkan jawaban “Ya” atau “Tidak”.
Sartre menjelaskan argumen tersebut dengan sebuah cerita ketika ia mencari
temannya, Piere, di sebuah cafe yang penuh sesak oleh pengunjung. Satu demi
satu ia melihat orang-orang dan memberikan kesimpulan apakan itu Piere yang ia
cari atau bukan. Ternyata, setelah mengamati sekian banyak orang, Piere tidak
ada disana. Realitas telah menyatakan suatu ketidakhadiran atau ketidakberadaan
yang bukan sekedar fakta gramatikal atau subjektif belaka, tetapi nyata. Ada
maupun ketiadaan dari realitas, keduanya menjadi alasan bagi tindakan manusia.
Misalnya, setelah ia menyadari bahwa Piere tidak ada di cafe itu, maka ia
tergerak untuk melanjutkan mencari Piere di tempat lain. Pertanyaan Sontag
tersebut menyangkut jumlah, apakah “yang-ada” itu satu (the one) atau banyak (the
many). Berdasarkan (Siswanto, 1998: 140) ontologi Sartre didasarkan pada
dualisme. Secara fenomenologis, yang ada (being) dapat dibedakan menjadi dua macam “Ada dalam
diri” (Being in itself – L’etre-en-soi)
dan “Ada untuk diri” (Being for itself –
L’etre-pour-soi). Maka dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
ada menurut Sartre itu jamak (the many).
Persoalan kedua mengenai time and
necessity yang masih berkaitan dengan “yang-ada”. Menurut Sartre,
berada-bagi-dirinya-sendiri dipisahkan dari masa lalu oleh suatu ketiadaan.
Masa lalu memang memiliki faktisitas, yaitu fakta-fakta tertentu yang tidak
dapat diubah (takdir). Tidak ada suatu hal pun di masa lalu yang menyebabkan
perbuatan kita di masa sekarang. Menurut Sartre, kebanyakan orang mendapat
pengaruh dari pengalaman masa lalunya dalam melakukan sebuah tindakan. Misalnya
kita memiliki sebuah pengalaman buruk dan tidak ingin peristiwa lalu itu
terjadi kembali, maka kita dianggap telah ‘putus’ dari masa lalu. Putusnya diri
kita sekarang dengan masa lalu memunculkan sebuah “ketiadaan”.
Persoalan ketiga, substance and
accidens, problem ini mempertanyakan watak “yang-ada” yang paling umum.
Membedakan antara subtansi dan aksidensia. L’etre-en-soi
merupakan substansi, alasannya karena ada-dalam-diri merujuk pada cara
bereksistensi secara tertutup. Ia tidak berhubungan dengan hal luar-diluar
dirinya sendiri, berarti juga ia terlepas dari aksidensi-aksidensi. Menurut
Siswanto (1998: 140), L’etre-en-soi disebut
“ada yang tidak berkesadaran”, merupakan adanya benda-benda yang berada begitu
saja (it is what it is). Ia timbul
secara kebetulan tanpa memerlukan keterangan-keterangan lain. Dapat pula
dikatakan bahwa L’etre-en-soi tidak
dipengaruhi atau bersentuhan dengan aksidensi.
Raymond dalam Siswanto (1998: 140) menyebutkan bahwa L’etre-pour-soi atau “ada untuk diri”
menunjuk cara beradanya manusia yaitu pada kesadaran manusia yang sifatnya
melebar dengan dunia kesadaran dan sifat kesadaran yang berada diluar diri
sesuatu atau seseorang. Selanjutnya kesadaran memunculkan subjek dan objek.
Subjek kemudian menjadi “pengada yang sadar” dan objek sebagai dirinya sendiri
yang disadari. Hal ini menunjukkan bahwa L’etre-pour-soi
melakukan aktivitas menjadikan diri sebagai subjek dan objek yang berperan
sebagai aksidensia.
Keempat, the first and the last things. Setiap keinginan untuk menjadi yang ada dalam diri setiap orang adalah
suatu usaha untuk memecahkan masalah tentang yang Absolut, dan setiap usaha
perorangan adalah unik dan menyatakan suatu pilihan asli dari
berada-di-dalam-dunia. Sartre menyebutnya sebagai ‘Proyek Asli’ atau proyek
‘mendasar’ atau ‘awal’. Sehingga hal ini bermula dari berada-pada-diri (le etre en soi), sebagai the first. Meskipun terdapat
anggapan bahwa berada-dalam-diri hanya terdapat pada benda dan hewan namun
sekiranya juga terdapat pada manusia, bukankah manusia juga memiliki sifat
kodrat jasmani yang tersusun dari unsur animal dan vegetatif. Setelah
berada-dalam-diri kemudian manusia menuju pada (le etre pour soi) atau
berada untuk diri sebagai the last things. Etre pour soi yang terakhir
ini hanya ada pada manusia yang kemudian sadar akan eksistensinya.
Persoalan terakhir mengenai god
and freedom, merupakan permasalahn
terkahir yang disebutkan oleh Sontag. Menurut Sartre, manusia dapat
didefinisikan sebagai kebebasan. Kebebasan tersebut tampak dalam kecemasan.
Kecemasan adalah kesadaran bahwa masa depan saya sepenuhnya ditentukan oleh
diri saya sendiri. Menurut K.Bertens (2001:100) Sartre mengungkapkan bahwa
manusia berada dalam dilema antara sama sekali bebas atau sama sekali tidak
bebas. Tidak ada kemungkinan ketiga. Kebebasan manusia betul-betul absolut, tak
ada batasnya selain batas yang ditentukan oleh kebebasannya itu sendiri. Konsep
tersebutlah yang menjadi alasan ateisme Sartre. Seandainya Allah ada tidak
mungkin dirinya bebas. Allah itu mahatahu yang sudah mengetahui segala-galanya
sebelum manusia melakukan suatu hal dan Allah pulalah yang akan menentukan
hukum moral. Jika demikian, tiada peluang lagi bagi kreatifitas kebebasan.
Allah sebagai Ada Absolut tidak boleh tidak akan memusnahkan kebebasan manusia.
BAB III
KESIMPULAN
Sontag dalam pandangnnya memaparkan lima persoalan metafisika. Pertama,
being and nothingness. Kedua, time
and necessity yang masih berkaitan dengan “yang-ada”. Bagaimana “yang-ada”
hadir dalam masalah time and necessity.
Ketiga, substance and accidents yang
mempertanyakan watak “yang-ada” yang paling umum. Membedakan antara substansi
dan aksidensia. Keempat, the first and
the last things. Hal ini membahas tentang apakah “yang-ada” itu “yang-pertama”
ataukah “yang-terakhir”. Kelima, god and
freedom. Persoalan tentang Tuhan dalam kaitannya dengan persoalan
keniscayaan, membawa implikasi metafisis munculnya masalah kebebasan.
Sedangkan Jean-Paul Sarte
membagi status ontologis yang transenden,
ke dalam dua bentuk yaitu etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya) dan etre-pour-soi (being-for-itself,
ada-bagi-dirinya). Etre-en-soi adalah sesuatu yang tidak sadar atau tidak
memiliki kesadaran statusnya sama seperti benda-benda mati. Etre-pour-soi adalah sesuatu yang sudah
mempunyai kesadaran tentang sesuatu diluar dirinya. Etre-en-soi sama sekali tidak mempunyai relasi dengan etre-pour-soi. Sedangkan, etre-pour-soi
mempunyai relasi dengan etre-en-soi,
yaitu menidak etre-en-soi. Etre-pour-soi mempunyai keinginan untuk
berada sebagai etre-en-soi, yakni
mempunyai identitas dan kepenuhan Ada.
Persoalan yang diajukan Sontag adalah mengenai being and nothingness. Sartre menjawab persoalan ini dengan
karyanya yang berjudul Being and
Nothingness yang menjelaskan bahwa manusia berhubungan dengan dunia melalui hubungan
pertanyaan. Secara fenomenologis, yang ada (being) dapat dibedakan menjadi dua macam “Ada dalam
diri” (Being in itself – L’etre-en-soi)
dan “Ada untuk diri” (Being for itself –
L’etre-pour-soi). Maka dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
ada menurut Sartre itu jamak (the many). Persoalan kedua
mengenai time and necessity yang
masih berkaitan dengan “yang-ada”. Menurut Sartre, berada-bagi-dirinya-sendiri
dipisahkan dari masa lalu oleh suatu ketiadaan. Tidak ada suatu hal pun di masa
lalu yang menyebabkan perbuatan kita di masa sekarang. Menurut Sartre,
kebanyakan orang mendapat pengaruh dari pengalaman masa lalunya dalam melakukan
sebuah tindakan. Persoalan ketiga, substance
and accidens, problem ini mempertanyakan watak “yang-ada” yang paling umum.
Membedakan antara subtansi dan aksidensia. L’etre-en-soi
merupakan substansi, alasannya karena ada-dalam-diri merujuk pada cara
bereksistensi secara tertutup. Ia tidak berhubungan dengan hal luar-diluar
dirinya sendiri, berarti juga ia terlepas dari aksidensi-aksidensi. Keempat, the
first and the last things. Setiap
keinginan untuk menjadi yang ada dalam diri setiap orang adalah suatu usaha
untuk memecahkan masalah tentang yang Absolut, dan setiap usaha perorangan
adalah unik dan menyatakan suatu pilihan asli dari berada-di-dalam-dunia.
Sartre menyebutnya sebagai ‘Proyek Asli’ atau proyek ‘mendasar’ atau ‘awal’.
Sehingga hal ini bermula dari berada-pada-diri (le etre en soi), sebagai
the first. Meskipun terdapat anggapan bahwa berada-dalam-diri hanya
terdapat pada benda dan hewan namun sekiranya juga terdapat pada manusia,
bukankah manusia juga memiliki sifat kodrat jasmani yang tersusun dari unsur animal
dan vegetatif. Persoalan terakhir mengenai god and freedom. Menurut Sartre, manusia dapat didefinisikan
sebagai kebebasan. Kebebasan tersebut tampak dalam kecemasan. Kecemasan adalah
kesadaran bahwa masa depan saya sepenuhnya ditentukan oleh diri saya sendiri.
Manusia berada dalam dilema antara sama sekali bebas atau sama sekali tidak
bebas. Tidak ada kemungkinan ketiga. Kebebasan manusia betul-betul absolut, tak
ada batasnya selain batas yang ditentukan oleh kebebasannya itu sendiri.
Daftar Pustaka
Bertens,
K. 1996. Filsafat Barat Abad XX, Jilid II Prancis. PT. Gramedia: Jakarta.
_________. 2006. Filsafat Barat Kontemporer
Prancis. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Palmer, Donald.
2003. Sartre Untuk Pemula diterjemahkan oleh B. Dwianta Edi Prakosa
dan Stepanus Wakidi. Kanisius:
Yogyakarta.
Siswanto, Joko.
1998. Sistem-Sistem Metafisika Barat: Dari Aristoteles sampai Derrida. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta.
____________.
2004. Metafisika Sistematik. Taman
Pustaka Kristen: Yogyakarta.
Sontag,
Frederick. 1970. Problems of Metaphysics. Chandler Publishing Company: USA.
0 comments