Istilah Tasawuf belum dikenal pada zaman Rasul, tetapi substansi ajaran tasawuf di ambil dari perilaku Rasulullah sendiri. kalimat tasawuf diduga berasal dari kata shafa yang artinya bersih, atau dari kata suf yang artinya woll, merujuk pakaian sederhana para sufi purba. Ajaran Islam mengenal pembidangan akidah, syariah, akhlak atau pembidangan Islam, iman dan ihsan. Dalam prespektif ini maka tasawuf berada dalam akhlak atau ihsan.
Dalam
khazanah keilmuan Islam, filsafat berkembang dengan amat pesat, tetapi
psikologi tidak berkembang. Hal ini bukan berarti ulama tidak tertarik dalam
masalah jiwa. Al-Qur’an dah Hadist sendiri banyak membicarakan tentang jiwa (nafs),
tetapi pengalaman psikologis masyarakat Islam berbeda dengan pengalaman
psikologis masyarakat Barat. Masyarakat modern Barat tumbuh di atas puing-puing
kekecewaan terhadap Gereja yang berseberangan dengan pemikiran modern sehingga
agama(gereja) kemudian dipisahkan dari urusan dunia, dan implikasinya kemudian
ilmu pengetahuan dan peradaban Barat berjalan
sendiri tanpa panduan agama dan jadilah kemudian peradaban sekular.
Sedangkan
dalam sejarah Islam, perkembangan ilmu pengetahuan berjalan seiring dengan
agama, dan bahkan ajaran Islam itu sendiri mendorong umatnya untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu pertumbuhan ilmu pengetahuan
dan peradaban kaum Muslimin berada dalam panduan agama, bahkan filsafat (Islam)
pun meski pada mulanya digelitik oleh pemikiran Yunani pertumbuhannya tetap berada
dalam koridor al-Qur’an.
Tentang
jiwa (nafs) misalnya, dalam khazanah keilmuan Islam tidak tumbuh ilmu jiwa
sebagai ilmu yang membahas perbuatan sebagai gejala-gejala jiwa. Nafs dibahas
dalam konteks sistem keruhanian yang memiliki hubungan vertikal dengan Tuhan.
Karena Al-Qur’an dan juga sunnah banyak menyebut secara langsung term nafs maupun
term yang menyebutnya secara tidak langsung seperti qalb, ‘aql, ruh dan bashirah,
yang kesemuanya itu baik secara lughawi maupun karena munasabah
dengan ayat lain atau dengan hadis Nabi mengandung banyak arti sehingga para
ulama dibuat sibuk untuk menggali pengertian nafs dan sistemnya dalam
prespektif Al-Qur’an dan sunnah. Di antara ilmu yang membicarakan nafs
dalam khazanah keilmuan Islam adalah ilmu tasawuf.
Meski
nama tasawuf itu sendiri tidak diambil dari Al-Qur’an dan atau Hadist, tetapi
esensi dari kajian tasawuf bersumber dari keduanya. Bertasawuf artinya
mematikan nafsu kediriannya secara berangsur-angsur untuk menjadi diri yang
sebenarnya. Bertasawuf artinya berusaha untuk menempuh perjalanan ruhani
mendekatkan diri kepada Tuhan hingga benar-benar merasa dekat dengan-Nya.
Tentan bagaimana metode mendekat (taqarrub) kepada-Nya para sufi
berpedoman kepada tingkah laku keagamaan Nabi, para sahabat Nabi dan para wali,
sehingga dalam bertasawuf faktor matarantai pengubung tradisional dengan
asal-usulnya atau rantai keruhanian dalam bentuk guru-murid sangat dipegang
teguh.
Kemajuan
zaman juga mempunyai andil dalam kecenderungan kaum Muslimin kepada tasawuf.
Dalam kurun waktu 30 tahun setelah hijrah Nabi, kaum Muslimin generasi pertama
ini mengalami perubahan yang amat cepat, dari penduduk padang pasir yang miskin
dan tak dikenal, berubah menjadi penguasa (imperium) dengan wilayah kekuasaan
yang amat luas dan kekayaan melimpah. Pada masa Umar bin Khattab, wilayah
jajahan Romawi di Afrika Utara dan Syam serta imperium Persia telah ditaklukan.
Semangat juang yang sangat tinggi dari tentara Islam untuk melakukan ekspansi
wilayah ketika itu tak bisa dihindarkan dari adanya semangat menemukan
kehidupan dunia yang lebih nyaman, yakni memperoleh harta rampasan perang dan
menemukan peluang bisnis di negeri baru, disamping semangat ibadat tentunya.
Pada masa Umar bin Khattab semangat bisnis elit politik belum tumbuh karena Umar
melarang sahabat-sahabat Nabi hijrah ke negeri baru, tetapi ketika khalifah
Usman bin Affan mencabut larangan itu maka berlomba-lombalah para elit sahabat
untuk ikut dalam ekspedisi militer dan selanjutnya menetap di negeri yang baru
ditaklukan, dan seperti yang sudah banyak ditulis, keluarga Usman (Bani
Umayyah) kemudian menguasai jaringan ekonomi nasional ketika itu. Ketika itulah
pertarungan antara motivasi duniawi dan motivasi ukhrawi muncul dan berkembang
menjadi konflik politik.
Pada
akhir masa Khalifah Usman bin Affan dan masa Ali bin Abi Thalib di kala
kekayaan melimpah ruah konflik elit politik mengemuka dengan amat tajam, dan
menelan korban yang tidak tanggung-tanggung yaitu Khalifah Usman, Khalifah Ali
bin Abi Thalib dan bahkan cucu Nabi sendiri Husain, ketiga terbunuh secara
aniaya.
Meski
perubahan datang begitu cepat, tetapi para ulama tidak kehilangan kemampuan
untuk merenung, mengambil hikmah dan mencotoh perilaku keagamaan Nabi serta
para sahabat-sahabatnya. Kenangan tentang Abu Bakar yang dikenal sangat
sederhana, tetapi mampu mengorbankan seluruh harta kekayaannya untuk perjuangan
belum hilang. Demikian juga tentang Umar Khattab yang hidup amat sederhana
dengan baju tambalan, meski ia ketika itu menjadi seorang kepala negara baru
yang kaya raya, satu bentuk kehidupan yang dalam tasawuf disebut sebagai zuhud,
atau meninggalkan kehidupan bendawi di tengah melimpahnya harta benda masih
belum hilang dari kenangan masyarakat. Ketinggian akhlak Rasul dalam kehidupan
kesehariannya juga masih belum hilang dari kenangan para sahabatnya. Hal inilah
yang menjadikan kekecewaan masyarakat atas konflik elit politik (sebagai limbah
“modernisasi”) tidak sampai menumpulkan pemahaman para sahabat (ulama) atas
ketinggian ajaran Islam. Sebaliknya, semangat memahami Al-Qur’an dengan ta’wil
menjadi subur, antara lain melahirkan metode tafsir isyrary yakni
memahami realita dengan isyarat-isyarat Al-Qur’an, satu tafsir yang kelak
dikenal sebagai corak tafsir tasawuf.
Bahwa
dalam prakter selanjutnya dijumpai penyimpangan-penyimpangan, terutama pada
tataran tarekat, adalah hal yang bisa dimaklumi tetapi konsistensi menjadikan
syariat agama sebagai koridor membuat perkembangan tasawuf tetap tidak terlepas
dari agama Islam, meski tasawuf itu sendiri universal ada pada semua agama.
Tasawuf pada masyarakat modern
Pada
abad 19 ketika dunia Islam diserbu oleh ide-ide Barat sekular, seperti gerakan
rasional dan gerakan anti mistik. Tasawuf pernah dituding sebagai biang keladi
kemunduran Islam dan dikutuk oleh beberapa kalangan modernis ketika itu. Imam
Ghazali dan ihya ulum ad-din-nya cukup lama dihujat sebagai biang keladi
kemunduran Islam. Jatuhnya kekuasaan politik dunia Islam ke penjajahan Barat
sering kesalahannya dialamatkan kepada tasawuf oleh orang Islam yang kebarat-kebaratan
dan bahkan mereka berteori bahwa kajian tasawuf itu sengaja direkayasa oleh
pihak kolonialis Barat untuk melemahkan Islam dari dalam. Para Orientalis
sangat berperan dalam menanamkan kesan dangkalnya nilai keruhanian dan
metafisik ajaran-ajaran Islam kepada kaum terpelajar Muslim yang menimba ilmu
di Barat, karena faktor bahasa yakni mereka tidak mampu memahami literatur
berbahasa Arab, menjadi sangat tergantung kepada karya orientalis tersebut.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, pada akhir Perang Dunia II dapat dijumpai dua
kelompok mahasiswa di universitas di negeri kaum Muslimin yang mengalami
modernisasi sekular, pertama yang anti Islam dan yang kedua Muslim tapi tidak
respek kepada syariah Islam dan keduanya menentang tasawuf,( Seyyed Hossein Nasr,
Living Sufism)
Akan
tetapi hal-hal berikut ini;
- Desintegrasi nilai-nilai kebudayaan Barat serta kekecewaan yang dirasakan akibat modernisasi,
- Ancaman malapetaka yang dibawa oleh peradaban Barat, dan firasat makin dekatnya ancaman itu.
- bukti adanya ketidakjujuran intelektual Barat terhadap Islam menyatukan dua kelompok tersebut, dan kini mereka justru nampak haus terhadap tasawuf atau sekurang-kurangnya sudah ada sikap baru yang lebih positif terhadap tasawuf.
Memang
peradaban Barat yang telah mencapai puncaknya, di sisi lain juga mencapai
semacam titik jenuh dengan sekularisasi yang melampaui batas dan kebebasan yang
negatif, suatu proses yang tak lain merupakan penjauhan benda-benda dari makna
spiritualnya. Dari kejenuhan itu akhirnya masyarakat Barat menerima kehadiran
dukun-dukun kebatinan dan ahli yoga yang datang ke Barat secara berduyun-duyun
membentuk organisasi. Manusia kini secara naluriah merasakan pentingnya
meditasi dan kontemplasi, namun sayang hanya sedikit kaum beragama yang secara
disiplin menjalankan syariatnya yang otentik sebagai satu-satunya jalan yang
mendatangkan kegembiraan dan ketenangan, yaitu melalui pernungan yang dalam
tentang keabadian surgawi. Karena mereka tidak menemukan jalan yang meyakinkan
akhirnya mereka lari kepada obat-obat bius, atau pusat-pusat realisasi diri
atau guru-guru keruhanian palsu dari Timur, satu hal yang menurut Nasr
merupakan bentuk pembalasan dendam yang luarbiasa terhadap Barat atas semua
yang dilakukanya terhadap tradisi-tradisi Timur pada masa penjajahan.
Di
sinilah kehadiran tasawuf benar-benar merupakan solusi yang tepat bagi manusia
modern, karena tasawuf Islam memiliki semua unsur yang dibutuhkan oleh manusia,
semua yang diperlakukan bagi realisasi keruhanian yang luhur, bersistem dan
tetap berada dalam koridor syariah. Betapapun paket zikir,wirid, sayr dan suluk
dalam tarekat lebih bisa “dipahami” oleh orang terpelajar. Relevansi tasawuf
dengan problem manusia modern adalah karena tasawuf secara seimbang memberikan
kesejukan batin dan disiplin syariah sekaligus. Ia bisa dipahami sebagai
pembentuk tingkah laku melalui pendekatan tasawuf Suluky dan bisa
memuaskan dahaga intelektual melalui pendekatan tasawuf faslsafy. (Tasawuf
suluki lebih menekankan aktifitas yang membimbing kepada tingkah laku mulia
seperti memperbanyak ibadat sunnat, pembacaan wirid, sedangkan tasawuf falsafi
lebih menekankan kontemplasi. Puncak maqamat tasawuf suluki adalah rida,
ma’rifat dan cinta, sedangkan puncak tasawuf falsafi adalah wahdat al-wujud,
bersatu dengan tuhan) Ia bisa diamalkan oleh setiap Muslimin, dari lapisan
sosial manapun dan di tempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah,
yaitu ka’bah, dan secara ruhaniah mereka berlomba-lomba menempuh jalan
(tarekat) melewati ahwal dan maqam menuju Tuhan yang satu, Allah
swt.
Tasawuf
adalah kebudayaan Islam, oleh karena itu budaya setempat juga mewarnai corak
tasawuf sehingga dikenal banyak aliran dan tarekat. Telah disebut di muka bahwa
bertasawuf artinya mematikan nafsu dirinya untuk menjadi diri yang sebenarnya.
Jadi dalam kajian tasawuf, nafs dipahami sebagai nafsu, yakni tempat pada diri
seseoarang dimana sifat-sifat tercela berkumpul. Nafs juga dibahas dalam kajian
Psikologi dan juga Filsafat. Dalam upaya memelihara agar tidak keluar dari koridor
Al-Qur’an maka baik tasawuf maupun Psikologi (Islam) perlu menggali konsep nafs
dan manusia menurut Al-Qur’an dan Hadis.
0 comments