Kita akan mulai membahas dengan mengajukan pertanyaan yang suka disalah artikan oleh banyak orang. Dari segi penamaan saja telah terjadi perdebatan. Ada sebagian orang berkata, “yang berfilsafat itu orang islamnya, bukan islamnya. Islam sebagai agama tidak bisa melakukan filsafat.” Bagi mereka, yang ada adalah filsafat muslim. Ada juga yang mempunyai penamaan sedikit rancu, Filsafat Arab, dengan alasan yang melakukan kegiatan filsafat adalah orang-orang Arab dan menggunakan bahasa Arab, sebagaimana halnya dengan Filsafat Yunani dan Filsafat India. Perdebatan ini bisa kita lihat dari karya-karya pemikir Islam, diantaranya M. Saeed Sheikh dalam buku Studies in Muslim Philosophy yang memberikan nama Filsafat Islam dalam dua Jilid bukunya, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiquh (kedua buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Filsafat Islam.
Penamaan di sini tampaknya tidak terlalu
penting bagi kita. Kita akan lebih mendekatkan diri pada ada atau tidak adanya
filsafat yang bersifat Islam secara Pemaknaan, bukan Penamaan.
Kamu lebih setuju mana? Kalau saya lebih
setuju Filsafat Islam. Terserah kamu! Tapi, saya yakin kamu tidak setuju dengan
nama filsafat Arab sebab tulisan ini pun Insyaallah akan bercerita tentang
filsafat islam dan tidak ditulis dengan huruf Arab, Islam itu rahmatan lil al-amin, kan?
Ketahuilah, filsuf teragung sekolong langit
itu tiada lain adalah Nabi kita yang mulia Muhammad bin Abdullah Saw. Dari
tarikh kita tahu, pada usia 7 tahun Muhammad telah bertanya kepada pamannya
tentang hakikat penciptaan semua yang ada ini. Pertanyaan Muhammad inilah yang
kemudian oleh Ibnu Sina disebut al-Hads, yaitu kemampuan potensial yang sangat
kuat dalam jiwa manusia yang sedang belajar.
Kita pun tahu Muhammad suka merenung di Gua
Hira sampai pada akhirnya belia menerima wahyu Ilahi di sana. Sebelum beliau
diangkat menjadi Rasul, tepatnya pada usia 35 tahun, dengan kecerdasan berpikir
yang mengagumkan, belia berhasil mendamaikan pertikaian di kalangan Quraisy.
Ketika setiap golongan merasa berhak menyimpan Hajar Aswad ke tempat asal
mulanya pada bangunan ka’bah yang baru diperbaiki, beliau terpilih menjadi
pendamai. Dengarkan kecerdasaanya ketika beliau berkata, “serahkan kain sorban
kepadaku dan kemarilah masing-masing kepala golongan, pegang ujung-ujung kain
itu oleh masing-masing kalian, kemudian angkatlah bersama. Itulah yang disebut
filsuf sejati. Filsuf sejati bukanlah mereka yang sanggup memikirkan tentang
sesuatu yang besar, melainkan mereka yang gelisah melihat realitas di
sekitarnya yang dipenuhi oleh permasalahan seperti penindasan kaum perempuan,
perampokan, penggusuran tanah kaum miskin. Filsuf sejati akan mencari
pencerahan, apakah gerangan yang menyebabkan itu terjadi, bagaimana cara
mengatasinya, bagaimana mengubah serta menjauhkan masyarakaat dari jurang
kehancuran dan kegelapan, menuju masyarakat yang damai dan sejahtera, dengan
penuh kebijaksanaan.
Kita suka mendengar mubaligh-mubaligh kita,
“apabila engkau seorang pedagang, tirulah dagang Muhammad Saw. Apabila engkau
seorang politikus, teladanilah kepemimpinan Muhammad Saw. Apa bila engakau
seorang jendral, teladanilah Muhammad Saw”. Setiap kali mendengar perkataan
seperti itu, saya ingin melontarkan pertanyaan. “ tidak bisakah kita berkata
apabila engkau berpikir maka berpikirlah seperti Rasulallah Saw,
berfilosofislah dengan kefilsufan Rasulallah Saw.?” Padahal, arti berpikir bagi
manusia itu sangatlah teramat mendasar dan penting.
Ringkasnya, Muhammad adalah filsuf sejati
sepanjang sejarah kehidupan manusia, sekurang-kurangnya, seperti dikatakan musa
asyari, sebelum wahyu diturunkan kepada beliau.
Nah, kita sekarang akan melihat pendekatan
Al-Qur’an dan Al-Hadist untuk ;membuktikan bahwa filsafat Islam itu ada dalam
khazanah intelektual Islam. Jadilah kamu seorang manusia yang setia pada
keingin tahuan yang tinggi.
Di KTP kamu pasti tertulis bahwa agama kamu
adalah Islam. Penamaan Islam di KTP itu hanyalah sebuah kepentingan yang
menyangkut kewarganegaraan saja. Pencantuman Islam di KTP hanyalah sebuah
formalitas. Dari segi pemaknaan, Islam tidak semudah menuliskannya di kartu
yang bisa dibohongi itu. Banyak bukan Islam KTP di negeri kita tercinta ini?
Agama Islam yang kita anut, dari segi
pemaknaannya tidaklah mencukupi untuk mengartikan apa yang dibawa Rasulullah
Saw. Din Islam . Agama secara
etimologi diambil dari bahasa Latin yang berati a adalh “tidak” dan gama
adalah “kacau”. Agama mempunyai arti “tidak kacau. Maksudnya, agar hidup kita
tidak kacau maka peganglah agama. Tapi, kata din tidaklah mencukupi untuk diterjemahkan hanya dengan kata
“agama”.
Din sebenarnya mempunyai arti lain: tunduk. Ia lebih menunjukkan kata
kerja, kata yang berproses. Sedangkan
agama dari kebahasaannya mempunyai sifat statis, diam terkunci, “tidak kacau”,
lebih menunjukkan kata keadaan. Kata Islam, kamu sendiri telah mengetahui, aslama yuslimu, pasrah. Tunduk dan pasrah adalah dua kata yang mempunyai
pemaknaan sama, disini maksudnya adalah tunduk kepada Tuhan dan pasrah total
kepada-Nya.
Kamu hafal kan sebuah ayat yang berbunyi,
“inna ad-dina inda Allahi al-Islam. Ayat ini suka diterjemahkan, “sesungguhnya
agama yang diridhoi adalah Islam”. Penerjemahan ini sah-sah saja. Tapi,
menurtku penerjemahan itu kurang dari segi pemaknaannya. Kenapa?
Ada sebuah hadist sahih yang berbunyi, “ad-din huwa al-aqlu, la dina liman la ‘aqla
lahu. Ad-din adalah akal, tidak ada ad-din bagi orang yang tak berakal.
Mari kita renungkan hadist ini. Tapi awas, jangan sampai kita memasukkan Tuhan
di dalam pengertian agama sehingga zat Tuhan kita paksa untuk bisa dimengerti
oleh akal. Tuhan tidak identik dengan agama. Agama hanyalah sebuah jalan agar
manusia bisa mendekatkan diri kepada-Nya, taqarrub
illa Allah. Sebaiknya hadist tersebut dimakna dengan “Ketundukan adalah
akal, tidak ada ketundukan bagi orang yang tak berakal”. Jadi, orang yang
akalnya tidak mau tunduk sehingga tidak meyakini bahwa Muhammad Saw adalah
manusia pilihannya dianggap orang yang tidak berakal.
Akal adalah potensi terbesar manusia dalam
dunia ini. Akallah yang membedakan kita dengan burung,ayam,babi dan sebagainya.
Dengan kemampuan akal yang mengagumkan, cahaya yang mempunyai kecepatan 300.000
kilo meter per jam bisa di perlambat seperti kecepatan sebuah mobil. Sebelumnya
saya ingatkan kamu, akal bukan otak. Kalau akal adalah otak maka ayam pun punya
otak. Akal (intelek murni) adalah satu kekuaatan ruhaniah (pada pembahasaan
epistemologi kita akan membicarakan ini terperinci InsyaAllah).
Akal kita harus tunduk kepada Tuhan, akal kita
harus patuh pada aturan-Nya. Kita harus menggali semua potensi akal sepanjang
zaman dengan menundukkannya kepada Tuhan. Sebab, apa yang kita dapatkan dari
akal semuanya itu hanyalah gejala-gejalanya yang kita sebut inspirasi,ilham,ide
atau gagasan. Dan, semua gejala itu harus kita buktikan dalam kehidupan
sehari-hari dengan Islam sejalan dengan ayat Al-Qur’an di atas. Kita laksanakan
semua perintah-Nya dan kita jauhi semua larangan-Nya. Islam adalah sebuah
totalitas kehidupan yang kita serahkan kepada-Nya, berserah dir kepada-Nya.
Islam merupakan kata kunci untuk meraih kebahagiaan duni akhirat.
Ketundukan berpikir seperti apa yang kita
pakai? Tentunya yang tidak keluar dari Al-Qur’an dan Al-Hadist. Kita tahu bahwa
Islam terbagi ke dalam beberapa madzhab, madzhab itu tidak lain dan tidak bukan
hanya satu aliran berpikir. Semu madzhab pasti berargumen pada Al-Qur’an dan
Al-Hadist. Setiap dari mereka berusaha menggali mutiara-mutiara hikmah yang
terkandung di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist dan secara pasti berbeda satu sama
lain. “Lain kepala, lain ide”, kata pepatah. Semua madzhab “berusaha” tunduk
kepada Tuhan Yang Mahaluas Ilmu-Nya.
Ketundukan berpikir (din) bisa kita sikapi dlam dua pengertian: ketundukan yang telah
ada (dassein) dan ketundukan yang harus ada
(dassolen).
Kita tahu sebuah hadist yang berkata bahwa
umat Rasulullah Saw. Akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka,
yang selamat satu saja (yang “Cuma satu ini” sering dimaksudkan dengan
Ahlussunnah wal Jama’ah). Dalam buku Islam
Aktual, KH. Jalaluddin rahmat memberikan kritik sanad tentang hadist
tersebut. Kesimpulan yang saya tangkap darinya adalah hadist itu diragukan, dha’aif adanya. Kesimpulan itu juga
didukung oleh KH. Said Aqiel Siradj dalam buku Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan. Bahkan ada sebuah hadist, kata
kedua kiai di atas, yang mengatakan sebaliknya, “Akan terpecah umatku menjadi
73 golongan. Semua masuk surga kecuali satu”. Nah, menurut hadist yang kedua
ini, yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad al-Ghazali dan Syaikh Ahmad
al-Basri, “yang celaka itu satu”: maksudnya yang ketundukan berpikirnya tidak
bersandar pada Al-Qur’an dan Al-Hadist, tetapi bersandar pada kepentingan dan
nafsunya. Di sinilah kita harus mengerti bahwa madzhab yang hanya merupakan
suatu aliran berpikir itu tidak mesti satu, tetapi banyak. Kita harus membuang
jauh-jauh kebiasaan mengklaim “hanya diri kita sajalah yang benar”. Kita harus
menjadi manusia yang mempunyai kedewasaan berpikir, yaitu bersikap
nonsektarian(tidak fanatik dengan satu aliran). Tidak! Ketundukan berpikir itu
tidak mesti satu. Dan, oleh karena itu pulalah kita mendengar definisi Ahlussunnah wal Jama’ah yang
baru dari KH. Said Aqiel Siradj bawa pengikut Ahlusunnah wal Jama’ah itu bukan
hanya kaum Asya’ariah saja, melainkan mereka yang mengamalkan sunnah.
Konsep din
Islam inilah yang menjadi bukti kemegahan Filsafat Islam dan merupakan dassein dari din. Kita akan bersilaturahmi dengan dua konsep ini secara lebih
menantang sekarang (dassein).
Tadi din
telah disinggung mempunyai arti tunduk. Tapi bukan hanya itu, din juga mempunyai arti “air hujan yang
tak henti-henti”. Ketika akal kita tunduk kepada Tuhan, di sanalah intelektual
kita tahu kemestian akal. Ini penting untuk dimengerti oleh mereka-mereka yang
suka berbangga dengan kepintarannya. Tanpa pemahaman seperti ini, para pemikir
akan melangkah pada kebebasan berpikir yang bukan hanya salah, melainkan
menjadi sesuatu yang salah kaprah. Misalnya, para pemikir (filsuf) Barat
seperti Nietzche dan Sartre. Dua filsuf hebat ini melesatkan akal pikirannya
dengan begitu bebas. Tujuan mereka sebenarnya mulia, mencari akar permasalahan
hidup, namun sayang hanya dalam kerangka manusiawi semata tanpa mempedulikan
peranan Tuhan dalam hidup ini. “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar
melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup”, (QS. Al-Alaq:6-7). Dua
filsuf ini menolak adanya Tuhan (Tuhan yang ada disetiap agama). Mereka
melangkahkan akalnya sampai tidak tahu dan tidak mau berhenti, dimana ujung
pengembaraan akalnya itu. Padahal pengembaraan akal itu harus berujung, titik
terakhirnya Tuhan. pada akhirnya harus mengakui kebenaran serta peranan Tuhan
dalam hidup ini. Dalam filsafatnya Immanuel Kant kita bisa tahu bahwa kemampuan
pikiran kita terbatas. Bagi Kant, ini bukan tentang seberapa jauh akal kita
meluncur, melainkan akal justruu harus bertanya secara kritis tentang
dasar-dasar mengenai sahnya pengetahuan. Ini adalah aturan main berpikir yang valid ke dalam, bukan aturan main bebas melabrak akalnya sendiri.
Kemudian, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya berkata bahwa akal merupakan suatu
“timbangan” yang dirancang Tuhan untuk menimbang emas, namun sebagian manusia
suka lupa sehingga mereka bermaksud menimbang gunung dengan akalnya. Singkatnya
kata Bergson, akal dicirikan dengan satu ketidakmampuan alami untuk memahami
kehidupan.
Sungguh indah bahasa Emha Ainun Nadjib, “Akal
itu ujung jari Tuhan.”
Oleh karena itu, dimuali dari Nietzsche dan
Sartre, para penganut gerakan filsafat yang mengedepankan akal ini, terutama di
dunia Barat, berada dalam kegelisahan yang tak bertepi. Kegelisahan ini
diakhiri dengan “kejatuhannya” akibat dari pertumbuhan intelektual yang tak
terkendali, meledaknya ilmu-ilmu fisik dan munculnya pseudoscience (ilmu-ilmu rekaan) di arena psikologi, sosiologi,
ekonomi dan yang lainya. Apalagi fisikawan-fisikawan hebat sekarang ini banyak
menolak Tuhan. Menurut mereka, alam ini hanya “ada”, tanpa Pencipta. Alasan
untuk menjadi orang ateis semakin canggih saja.
Dengan din
(tunduk), manusia akan tahu di mana batas kewajaran duni intelektual.
Dengan din, manusia akan tahu arti
keadilan dalam berpikir. Kita harus mendukung kebebasan berpikir, namun dalam
koridor ketundukan kepada Tuhan. Ketika akal kita din maka pada waktu itu kita harus menangkap intuisi ( kita akan
membahas tentang intuisi nanti), intelektual dan perasaan kita. Oleh karena
itu, kemestian pembahasan din tidak
lain dan tidak bukan adalah Islam. “totalitas” kepasrahan kita kepada-Nya.
Inilah mengapa Tuhan berfirman, “Inna ad-dina inda Allahi al-Islam”.
Filsafat Islam dari sudut pandang diatas,
merupakan satu proses. Oleh karena itu, saya ingin mengatakan bahwa ayat inna ad-dina inda Allahi al-Islam adalah
ayat Filsafat Proses. Kamu tahu ayat terakhir yang diturunkan Tuhan kepada
Rasulullah Saw, surat al-Maidah ayat 3, “..al-yauma
akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati wa raditu lakum al-Islama
dina”. Dari sudut pandang Filsafat Proses, ayat ini bisa diterjemahkan,
“Hari ini Aku telah sempurnakan (pedoman) ketundukan berpikirmu. Aku telah
lengkapkan nikmat-Ku sebagai (hasil) dari ketundukan berpikirmu.” Kedengarannya
rancu. Tetapi, seperti itulah barangkali terjemahan yang tepat.
Surat al-Maidah ayat tiga ini sering dijadikan
argumen bahwa agama islam itu telah sempurna, dalam artian Al-Qur’an itu
sempurna, memuat segala-galanya-tidak satu hal pun yang tidak disebutkan dan
dijelaskan di dalamnya; memuat penjelasan tentang sistem politik, ekonomi,
keuangan, kemasyarakatan, pertanian, perindustrian, ilmu pengetahuan dalam
artian sains, teknologi modern dan sebagainya. Pokoknya, Al-Qur’an sebagai
kitab suci agama Islam adalah kitab yang lengkap dan sempurna. Orang yang
berkata seperti itu, biasanya, hanya dengan persetujuan emosional semata, tanpa
mau memikirkan secara mendalam ayat-ayat Al-Qur’an. Untuk membantah pendapat
mereka, kamu harus membaca Islam Rasionalnya-nya Harun Nasution. Menurutnya,
mengutip beberapa tafsir, yang dimaksud penyempurna adalah sempurna dalam arti
hukum, ajaran, dasar agama, halal serta haram, serta kemenangan Islam. Benar
Al-Qur’an itu telah lengkap, namun bukan berarti telah menjelaskan
segala-galanya sampai pada tingkat kepentingan teknis. Bukaknkah cara-cara
shalat pun tidak kita dapatkan dari Al-Qur’an, melainkan dari Al-Hadist?
Al-Qur’an hanya berbicara secara garis besarnya saja. Misalnya, dalam konsep
kenegaraan Al-Qur’an tidak menyebutkan apakah harus mengambil bentuk kerajaan
atau republik. Yang dijelaskannya hanya dasar-dasar yang harus diambil dalam
mengatur negara, yaitu musyawarah. Musyawarah bisa dijalankan dalam sistem pemerintahan
yang berbentuk kerajaan atau republik. Masalah ada atau tidaknya konsep
kenegaraan dalam Islam ini sebenarnya menjadi tesis gelar Master of Art-nya
Munawwir Sjadzali. Baca buku KH. Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela.
Abdul Wahab Khallaf, Guru Besar Hukum Islam
Universitas Cairo, melakukan peneletian dan mengabarkan bahwa ayat-ayat yang
menandaskan tentang hukum (ahkam)
dalam Al-Qur’an jumlanhya hanya sedikit, berkisar 500 ayat atau 8% dari
keseluruhan ayat. Dan dari jumlah tersebut sekitar 228 ayat atau 3,5% berkaitan
dengan hubungan hidup kemasyarakatan. Oleh karena itu, sekali lagi, salah
kiranya apabila kita berkata bahwa Al-Qur’an mengandung segala-galanya. Sebab,
pernyataan ini tidak mempunyai landasan yang kuat, hanya persetujuan emosional
semata.
Titik terakhir “ujung jari Tuhan” manusia pun
pada akhirnya berbeda. Bagi masyarakat awam, yang tak punya kesempatan untuk mendayagunakan akal
secara maksimal, mungkin hanya dengan mendengar penjelasan sangat sederhana
dari Kiai dia langsung din (tunduk).
Tetapi bagi kita yang bertekad untuk mengembarakan akal semaksimal mungkin,
titik terakhir “ujung jari Tuhan” pasti berbeda dengan mereka. Tetapi konsepnya
sama din.
Kita jangan terlalu jauh melangkah ke sana
kemari. Kita tidak boleh hanya berdiam di dunia berpikir, din. Ketika kita
hanya sampai disana maka meminjam bahasa Milan Kundera ketika mengutip pepatah
Yahudi, “Manusia berpikir, Tuhan pun tertawa.” Dunia adalah komedi bagi mereka
yang mengandalkan pikiran dan menjadi tragedi bagi orang yang mengungsung
perasaan. Kalau hanya sampai di dunia berpikir maka kita Cuma akan diam dalam
keruwetan yang tak berakhir. Dunia ini permainan. Hakikat dunia adalah
permainan dan hakikat permainan adalah dimengerti ketidakmengertiannya.
Coba perhatikan permainan sepak bola,
misalnya. Satu bola dikejar-kejar oleh 22 manusia yang mempunyai kepentingan
dan tugas yang berbeda-beda. Mereka harus rela bercucuran keringat dengan napas
terengah-engah naik turun. Mereka harus menahan dan menerima kecurangan dari
teman-temannya (sekaligus lawan) sesama manusia. Mereka harus berjuang sekuat
tenaga memasukkan bola ke sarang lawan. Bahkan, mereka dituntut berlatih dulu
sampai bertahun-tahun. Bukankah itu merupakan sesuatau yang tidak dimengerti?
Coba kalau tiap orang diberi bola masing-masing satu, bukakankah itu lebih
manusiawi, tidak perlu menyiksa mereka dengan kelelahan dan kesakitan yang
pasti ada. Tapi, itulah yang namanya permainan, harus begitu, dimengerti
ketidak mengertiaanya.
Jadi, apakah dunia ini hanya peermainan dan
dipenuhi kesia-siaan? Apakah Tuhan bermain dadu? Tidak. Tuhan berfirman,
“Apakah kalian berpikir bahwa kami telah menciptakan kalian dengan sia-sia
tanpa tujuan dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada kami? (QS. Al-Mu’minun:
115). Banyak sekali ilmuwan sekarang yang mengetahui dunia ini absurd sehingga
akhirnya mereka menjadi ateis, di antaranya Richard Dawkins. Ia berkata,
“Hipotesis tentang Tuhan tidak memberikan penjelasan apa pun karena ia hanya
mempostulatkan apa yang justru ingin kita jelaskan. Ia mempostulatkan betapa
sulit mencari penjelasan semacam itu dan lantas membiarkannya begitu saja”.
Tidak! Tuhan tidak membiarkan begitu saja. Semua yang diciptakan-Nya ada dalam
Tujuan-Nya, tidak sia-sia dan ada dalam rabb-Nya (ayoman-Nya). Akal Dawkins
tidak din. Fazlur Rahman menulis, “Jika dunia merupakan permainan maka semua
pembicaraan mengenai petunjuk, kesesatan, dan pengadilan dalam pengertian
Al-Qur’an (tidak dalam pengertian sebagai peraturan-peraturan dalam permainan)
selain tidak ada artinya, juga merupakan khayalan belaka”.
Orang-orang yang berakal dan paham dengan
keterbatasannya akan mengerti bahwa hanya Islam yang akan membawa dia pada
kebahagiaan sempurna baik di dunia maupun di akhirat. Kalau kita ibaratkan tubuh
kita adalah delman maka Islam adalah jalan yang tepat menuju tujuan akhir dan
sang kusir adalah takwa. Jangan hanya berhenti sampai pada proses berpikir,
namun bumikanlah dengan dan dalam Islam.
Itulah Filsafat Islam. Filsafat Islam adalah
dunia din, yang mengajarkan kebebasan
berpikir sampai ke akar-akarnya yang tidak keluar dari lingkaran ketundukaan
kepada-Nya, harus diislamkan di dunia nyata dan dibuktikat dalam kehidupan ini
dengan kepasrahan total kepadanya. Kata “total” di sini apabila kita mau merenung
jauh merupakan kata yang sudah di luar batas rasional. Dengan begitu, kata
“total” adalah salah satu ungkapan akal kita yang din.
Singkatnya, “Adil dulu dalam berpikir, baru
engkau bisa adil dalm bertindak.” Dua konsep ini berlangsung tidak secara
terpisah tapi dalam satu paket yang ada pada tiap satuan detik kehidupan.
Kita tahu Islam adalah penyempurna agama-agama
sebelumnya. Inilah makna din yang
paling fundamental yang di ajarkan Al-Qur’an (penyempurna!). Oleh karena itu,
apabila kita membuka lembaran-lembaran Al-Qur’an, kita tak akan menemui satu
pun bentuk jamak kata din (adyan).
Ini pulalah salah satu alasan kuat yang membuat kita keberatan memaknai din dengan agama. Tuhan mengajarkan
bahwa ketundukan yang sempurna itu hanya ada dalam din; yang dibawa oleh Muhammad Saw. Dan disimpan dalam al-Qur’an.
Dan ini pula yang membuat kita meyakini bahwa Al-Qur’an akan tetap terjaga
sampai pada akhir zaman, akan sanggup menuntun manusia pada kesempurnaan
spritual dan kebahagiaan sejati.
Hikmah itulah filsafat. Kenapa hikmah
disejajarkan dengan filsafat? Di dalam al-Qur’an tidak termuat kata filsafat
karena memang Al-Qur’an ditulis dengan bahasa Arab, sedangkan filsafat adalah
asli dari bahasa Yunani. Sementara itu, kata hikmah asli dari bahasa Arab yang diartikan
sebagai pengetahuan mendalam yang diperoleh baik dari fakta-fakta, kejadian,
ataupun peristiwa. Menurut Fakhrur Razi, hikmah merupakankeutamaan ilmu dan
amal. Disebut hkimah karena ia terbentuk dari hukum-hukum dan perumusan
berbagai permasalahan, memperkuatnya dan menjauhkannya dari berbagai sebab
kelemahan; keyakinan-keyakinan yang tepat dan valid pasti tidak menerima
revisi, kontradisksi serta kekurangan. Menurut al-Jurani, hikmah adalah ilmu
yang membahas sesuatu yang apa adanya dalam wujud sesuai dengan kemampuannya
sebagai manusia. Menurut Musa Asy’arie, disamakannya istilah hikmah dan
filsafat karena antara keduanya secara umum mebahas tentang Tuhan, alam dan
manusia. Dengarkan Sayyed Hussein Nasr menulis dalam Islam Tradisi, “Islam adalah pewaris warisan filosofi dari dunia
Mediterania daan anak benua India. Ia mengalihkan bentuk warisan ini dalam
pandangan-dunia Islam dan sesuai dengan semangat dan simbol-tertulis Al-Qur’an,
serta melahirkan serangkaian besar madzhab intelektual dan filosofi, yang hanya
beberapa saja secara teknis diistilahkan dengan falsafah”.
Hikmah (filsafat) adalah uraian pencerahan
atas nilai-nilai yang terkandung di dalam ayat-ayat Tuhan, yang bertujuan untuk
menyingkap realitas perubahan masyarakat yang kompleks, yang tidak bisa
dimengerti dan dipecahkan semata-mata meengandalkan rasionalitas. Bahasa hikmah
adalah din. Oleh karena itu, diperlukan wawasan yang tajam daru qalbun(intuisi) yang bercahaya untuk
dapat memahami hakikat kebenaran dalam Islam. Di sinilah pentingnya kepasrahan
total kepada-Nya. Sekilas intuisi telah kita bicarakan, tapi insyaAllah akan
dibahas lebih detail lagi.
Itulah Filsafat Islam yang mengajarkan
bagaimana kemestian berpikir dan berperilaku. Ibnu Maskawaih mengingatkan,
“siapa saja yang ingin menyempurnakan dirinya sebagai seorang manusia
(insaniyah) dan mencapai peringkat ‘fitrah manusiawi’ supaya dapat
menyatupadukan dirinya bersama para filsuf maka biarkan dia memperoleh kedua
seni ini. Dengan begitu, akan terkumpul baginya hakikat-hakikat sesuatu lewat
aspek teoritikal, filsafat, dan amal saleh lewat aspek praktikal”.
Kemestian berpikir ini kemudian kita tarik
dalam kearifan menyikapi perkembangan zaman. Segila-gilanya zaman, bagi orang
yang bertekad dan mampu, din bukanlah
ancaman yang bisa merusak identitas manusia.
NB :
Apabila kamu membaca, baik tulisan ini maupun buku karya penulis-penulis besar,
jangan sampai terbawa, apalagi terhanyut. Kamu harus punya benteng, jangan
sampai terjebak dengan persetujuan buta pada pemikiran penulis. Kita harus
masuk ke dunianya, kita bahkan bisa jauh menorobos batas-batas yang bisa
mempertemukan kita dengannya secara emosional. Tapi untuk sebuah kesepakatan
tetap kita harus menyaringnya, harus seperti gunung kita merenung!
Sekaligi saya ingatkan hak tertinggi keberadaan kamu
0 comments