Friday, October 27, 2017

MANUSIA DAN HASRAT INGIN TAHU. 
Manusia memiliki pengetahuan, binatang dan tumbuhanpun juga memilii pengetahuan.
bagaimana dengan malaikat?jelas. malaikatpun juga mempunyait pengetahuan. lalu apa bedanya manusia dengan mahluk tyhan yang lain?
Bedanya, jika pada mahluk selain manusia pengetahuannya bersifat statis, dari masa kemasa seperti itu aja. sejak zaman purba hingga sekarang burung dan lebah jika membuat sarang atau rumah tidak mengalami perubahan.
Sarang lebah dari zaman dahulu hingga sekarang ya seperti yang kita lihat saat ini.
Tetapi pengetahuan yang dimiliki manusia bersifat dinamis, terus berkembang dari zaman ke zaman, karena manusia mempunyai kemampuan mencerna pengalaman, merenung, merefleksikan, dan meneliti dalam upaya memahami lingkungan.
Kemampuan-kemampuan yang dimiliki manusia disebabkan manusia dibekali akal dan ratio oleh tuhan dalam rangka berfikir.Dengan akalnya manusia memiliki rasa ingin tau.
Manusia mempertanyakan hal-hal yang dipikirkannya dan mencari segala bentuk jawaban dari apa yang dipikirkannya.Proses mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul inilah yang disebut dengan proses berfikir.

Menurut Francis Bacon akal manusia mempunyai tiga macam daya:
1.Ingatan menciptakan sejarah
2.Imajinasi menciptakan puisi
3.Fikiran menciptakan filsafat, filsafat sendiri dibagi menjadi 3 yaitu filsafat tentang tuhan atau teologi, filsafat tentang alam atau kosmologi, dan filsafat tentang manusia/antropologi.
Read more

Wednesday, October 11, 2017

Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa | Sinau Filsafat

            Kali ini Sinau Filsafat akan membahas Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa, setidaknya, dua aspek dari “kehendak untuk berkuasa” yang paling terkenal, yaitu sebagai kekuatan alamiah dan sebagai pengetahuan. 


Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa | Sinau Filsafat
Filsafat Nietzche | Kehendak untuk Berkuasa | Sinau Filsafat

Mari kita mulai dari yang pertama. Dalam bab Principles of a New Evaluation, Nietzsche menggambarkan kehendak untuk berkuasa sebagai: “the primitive form of affect, that all other affects are only developments of it […] there is a striving for power, for an increase of power.”[1] Kehendak untuk berkuasa adalah daya dorong azali. Banyak hal yag dihasilkan oleh kehendak untuk berkuasa ini, tetapi semua itu hanyalah residu atau ekses sampingan, kehendak untuk berkuasa sendiri hanya bergolak untuk kekuasaan, untuk pencapaian lebih dari kekuasaan itu sendiri. Bahkan bagi Nietzsche, hidup itu sendiri juga hanyalah suatu kasus khusus dari kehendak untuk berkuasa[2]. Ia menyebut kehendak untuk berkuasa ini sebagai “the innermost essence of being”[3]; “The world is will to power—and nothing besides! And you yourselvees are also this will to power—and nothing besides!”[4] Untuk lebih memahami kehendak untuk berkuasa, kita akan masuk ke dalam aspek yang kedua: sebagai pengetahuan.
            Pengetahuan pada dasarnya merupakan manifestasi kehendak untuk berkuasa. “Pengetahuan bekerja sebagai alat dari kekuasaan”,  tulis Nietzsche. Esensi keputusan (the believe that something is thus and thus), skematisasi dan seluruh klaim kebenaran sebenarnya adalah manifestasi dari kehendak untuk berkuasa. Kita ingin menguasai alam ini, oleh karena itu kita ciptakan ilmu ukur, konsep baik-buruk dan sebagainya. “Kehendak untuk kebenaran”, bagi Nietzsche, merupakan salah satu bentuk dari kehendask untuk berkuasa. Maka ia berkata bahwa kriteria kebenaran adalah seberapa besar ia meningkatkan perasaan kekuasaan[5]. Hanya saja kata “kuasa” di sini jangan melulu dimengerti dalam arti yang politis, ia lebih luas ketimbang itu.
            Konsepsinya mengenai kehendak untuk berkuasa sebenarnya terkait dengan upaya Nietzsche untuk melakukan revaluasi atas seluruh nilai. Mereka yang mengafirmasi kehendak untuk berkuasa berarti mengafirmasi pula seluruh gejolak alam-semesta ini, hal ini juga berarti bahwa mereka berkata “Ya” terhadap hidup. Oleh karena itu, kita bisa mengerti revaluasi Nietzsche atas “baik” dan “buruk” seperti yang ia tulis dalam Der Antichrist:

What is good?—All that heightens the feeling of power, the will to power, power itself in man.
What is bad?—All that proceeds from weakness.
What is happines?—The feeling that power increases—that a resistance is overcome.[6]

Mengafirmasi kehendak untuk berkuasa berarti terus-menerus mengalami pelampauan kehendak, menjadi liar, mabuk-total seperti sehabis pulang dari “simposium” (pesta minum minuman keras) Dionysius. Itulah kehendak untuk berkuasa, “the unexhausted, procreating life-will”[7]. Afirmasi atas kehendak untuk berkuasa menunjukkan penghormatan manusia atas hidup, bukan penyangkalan atas hidup seperti yang dilakukan oleh para penganut agama. Dengan begitu manusia menerima seluruhnya absurditas kehidupan, seluruh gejolak chaotic alam raya, tanpa mengharapkan surga. Itulah figur seorang Übermensch (“Overman”)[8] seperti yang diwartakan oleh Zarathustra: “I teach you Superman. Man is something that is to be surpassed. […] The Superman is the meaning of the earth.”[9] Itulah Übermensch, ia yang berani berkata “Ya” pada gejolak kehendak untuk berkuasa, pada absurditas hidup.
            Lalu jika hidup ini absurd dan surga, apapun itu, tak ada, akan kemanakah kita? Dengan pertanyaan ini, kita masuk ke ajaran Nietzsche yang lain: eternal return of the same.



[1] Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 366.
[2] Ibid. hlm. 369.
[3] Ibid.
[4] Ibid. hlm. 550.
[5] Ibid. hlm. 290.
[6] Friedric Nietzsche, Twilight of the Idols and The Anti-Christ, op.cit. hlm. 115.
[7] Friedrich Nietzsche, Thus Spake Zarathustra, op.cit. hlm. 164.
[8] Dalam bahasa Inggris, istilah Übermensch memiliki dua terjemahan, yaitu “Overman” dan “Superman”.
[9] Ibid. hl. 67-68.
Read more

Sunday, October 8, 2017

Pengertian Emanasi | Filsafat Islam | Sinau Filsafat

Untuk memahami lebih jauh tentang dunia, tentang jagad raya, tentang kosmis dan segala keruwetannya. Emanansi dalam pandangan filsafat islam baik untuk dibaca. Sinau filsafat sedikit menggoreskan tinta untuk pembaca semua. selamat membaca.

Emanasi-Filsafat-Islam
Pengertian Emanasi | Filsafat Islam | Sinau Filsafat

           Pengertian Emanasi

Secara etimologis emanasi mempunyai arti sesuatu yang mengalir (memancar).
Emanasi menurut Ibnu Sina
Teori Ibnu Sina mengenai emanasi bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud tunggal, secara mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalanya, maka apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa Ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud tetapi satu unsur atomic dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah Tuhan itu, hakikat Dia, adalah identik dengan eksistensi-Nya.

Doktrin Ibnu Sina tentang Wujud 

Sebagaimana para filosof Muslim terdahulu, bersifat emanasionistis. Dari Tuhanlah, Kemaujudan Yang Mesti, mengalir intelegensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Tetapi sifat intelegensi yang pertama itu tidak mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan.

Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan didunia, intelegensi pertama memunculkan dua kemaujudan yaitu :
  1. Intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas.
  2. Lingkung pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya, kemungkinan alamiahnya.

Dalam emanasinya, pendapat Ibnu Sina tak jauh berbeda dengan Al-Farabi, hanya saja, ada sedikit tambahan dari Ibnu Sina mengenai wujud lain yang berbeda dari pemikiran Al-Farabi, yaitu jirmul faalakil aqsha dan nafsul falaqil aqsha yang muncul tatkala akal ber-ta’aqqul mengeluarkan akal kedua. Yang dimaksud jirmul faalakil aqsha adalah langit dengan semua planetnya, sedangkan nafsul falaqil aqsha adalah jiwa dari langit denga semua planetnya. Jadi, menurut Ibnu Sina, tiap-tiap al-‘aql itu menyebabkan timbulnya tiga macam keadaan, yaitu selain dengan akal yang berikutnya juga mengeluarkan jirim langit dan planetnya serta jiwa langit dan planet-planetnya.

Menurutnya, falak mempunyai jiwa dan menggerakannya secara langsung karena berhubungan langsung dengan falak, sedangkan al-aql menggerakannya dari jauh karena al-aql terasing (munfarid). Al-aql mempunyai hal yang disebut al-khair (kebaikan), dan kebaikan inilah yang menjadi tujuan falak untuk mencapai kesempurnaan dirinya.

Untuk mencapai kesempurnaannya, falak berputar mengelilingi al-aqlul-mufarid. Namun falak tidak bisa mencapainya karena setiap falak mencapai satu tingkatan kesempurnaan dalam lingkungan akalnya, dia mempunyai hajat baru kearah akal yang lebih tinggi kesempurnaanya. Maka dari itu, akal pertamalah yang paling sempurna karena merupakan limpahan langsung dari Tuhan. Selanjutnya akal kedua lebih rendah dari akal pertama, dan akal ketiga lebih rendah dari akal kedua, dan seterusnya. Pelimpahan Tuhan atas akal-akal ini terjadi atas kerelaan yang dipikirkan (faidlu ridla ma’qul) oleh Tuhan. Alasan logikanya, limpahan ini berarti bahwa barang yang diingini lebih tinggi tingkatanya dari yang mengingini.

Karena itulah, kenapa Ibnu Sina berkeyakinan bahwa hanya dari bentuk dan materi saja anda tidak akan pernah mendapatkan eksistensi yang nyata, tetapi hanya kualitas-kualitas esensial kebetulan.



Sumber :
Syarif M.M. 1993. Para Filosof Muslim. Mizan. Bandung
Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, Erlangga, Jakarta, 2006.
Poerwantana DKK, Seluk-Beluk Filsafat Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.

Utsman Najati Muhammad, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002.
Read more

Friday, October 6, 2017

METAFISIKA FILSAFAT | NIETZSCHE : SANG NABI NIHILISME

NIETZSCHE: SANG NABI NIHILISME adalah runtutan tulisan dari tema Metafisika Filsafat. Untuk itu, silahkan untuk membaca postingan sebelumnya [ PENGANTAR METAFISIKA DALAM FILSAFAT ] agar pemahaman anda tentang nihilisme dalam metafisika lebih komprehensif.




Nihilisme

Barangkali kita dapat menangkap semangat nihilisme Nietzschean dengan melihat sebagian dari aforisme yang terkenal dalam bukunya, Die fröchliche Wissenschaft (Ilmu yang Ceria):


The Madman
Have you not heard of that madman who lit a lantern in the bright morning hours, ran to the market place, and cried incessantly: “I seek God! I seek God!”—As many of those who did not believe in God were standing around just then, he provoked to much laughter. Has he got lost? asked one. Did he lose his way like a child? asked another. Or is he hiding? Is he afraid of us? He has gone on a voyage? Emigrated?—Thus they yelled and laughed.
The madman jumped into their midst and pierced them with his eyes. “Whither is God?” he cried; “I will tell you. We have killed him—you and I. All of us are his murderers. But how did we do this? How could we drink up the sea? Who gave us the sponge to wipe away the entire horizon? What were we doing when we unchained this earth from its sun? Whither is it moving now? Whither are we moving? Away from all suns? Are we not straying as through infinite nothing? Do we not feel the breath of empty space? Has it not become colder? Is not night continually closing in on us? Do we not need to light lanterns in the morning? Do we hear nothing as yet of the noise of the gravediggers who are burying God? Do we smell nothing as yet of the divine decomposition? Gods, too, decompose. God is dead. God remains dead. And we have killed him.


Memang bombastis kedengarannya. Namun kita tak menemukan definisi tentang nihilisme di kutipan tersbut—bahkan kita tak menemukan kata nihilism di sana—selain seruan yang keras tentang “matinya Tuhan”.

Kata “Tuhan” dalam konteks Nietzschean tidak hanya merujuk pada artian “Tuhan” secara harafiah saja, yaitu Tuhan sebagai suatu entitas yang transenden. “Tuhan” juga berarti suatu titik teguh yang absolut dan niscaya tempat kita menambatkan diri kita sepenuhnya. Itulah dia. Itulah kebenaran. Tepat di sinilah nihilisme itu mengejawantah: kebenaran telah mati.


Istilah “nihilisme” memiliki akar katanya dalam bahasa Latin, yaitu nihil yang artinya “tiada”, “nothing”. Lewat ajarannya tentang nihilisme, Nietzsche langsung menggoyang pondasi tunggal dari seluruh realitas: kebenaran. Lebih persisnya, ia mempertanyakan secara radikal validitas klaim kebenaran. Kita akan kembali membahas tentang nihilisme dan aforisme panjang itu setelah merenung terlebih dahulu mengenai kebenaran.

Apa itu “kebenaran”? 

Truth is the kind of error without which a certain species of life could not live, tulis Nietzsche dalam Der Wille zur Macht. Nampak di sini bahwa Nietzsche berbicara tentang kebenaran sebagai suatu kondisi yang merupakan prasyarat bagi kehidupan (condition for life) suatu makhluk tertentu, atau persisnya, manusia. Dalam aforisme yang sama, ia melanjutkan, “The value for life is ultimately decisive.” “Nilai” (value) memiliki kedudukan yang sangat menentukan dalam kehidupan. Kebenaran sebagai condition for life itu memiliki bentuknya yang konkret dalam nilai.
Kebenaran sebagai nilai—tetapi apakah nilai yang ia maksud itu? Dalam Jenseits von Gut und Böse: Vorspiel einer Philosophie der Zukunft (Melampaui Baik dan Buruk: Prelud untuk Filsafat Masa Depan), Nietzsche memberikan insight:

[…] and it is high time to replace the Kantian question, “How are synthetic judgements a priori possible?” by another question, “Why is belief in such judgements necessary?”—and to comprehend that such judgements must be believed to be true, for the sake of the preservation of creatures like ourselves […]

Seperti kita ketahui, Immanuel Kant berupaya memberikan landasan rasional-a priori bagi validitas klaim kebenaran. Dengan upaya itulah, ia mengajukan pertanyaan tentang kemungkinan keputusan sintesis a priori. Namun Nietzsche membalik pemikiran Kant: mengapa kita memerlukan pembuktian bahwa kita dapat meraih kebenaran? Bagi Nietzsche, peryataan yang diajukan oleh Kant itu justru menunjukkan bahwa validitas klaim kebenaran adalah suatu “kepercayaan” (belief). Kita takut untuk mengakui bahwa memang tak ada kebenaran sehingga kebenaran itu “must be believed to be true”; dan tujuan dari kepercayaan itu adalah “for the sake of the preservation of creatures like ourselves”.
Dalam konteks yang sama, Nietzsche menerangkan lebih lanjut. Menurutnya, “keputusan” (judgement) atau secara lebih umum, klaim kebenaran, adalah kepercayaan kita yang tertua, “our most habitual holding-true or holding-untrue, an assertion or denial, a certainty that something is thus and not otherwise, a belief that here we really “know” […]”. Kebenaran, sebagai belief, memiliki karakter khas yaitu holding-true. Jadi, bagi Nietzsche, kebenaran adalah sesuatu yang diperlukan dan bukan sesuatu yang niscaya. Dalam Jenseits von Gut und Böse, ia menulis:

[…] that without accepting the fictions of logic, without measuring reality against the purely invented world of the unconditional and self-identical, without a constant falsification of the world by means of numbers, man could not live […]


Serangan Nietzsche atas validitas klaim kebenaran sangat radikal. 


Kita percaya pada logika berpikir yang “sah”: bahwa jika orang mengatakan, “Tak ada kebenaran!”, maka pernyataan itu akan menyangkal dirinya sendiri dan juga seluruh implikasi dari pernyataan itu. Kita seringkali tak sadar bahwa logika semacam itu hanyalah ciptaan kita saja; logika adalah fiksi. Begitu pula dengan logika matematika. Kita yakin bahwa 1+1=2 adalah benar, sah, logis. Padahal itu pun hanya fiksi buatan manusia. Lantas untuk apa manusia menciptakan “fiksi-fiksi” itu? Jawabannya jelas: “For the sake of the preservation of creatures like ourselves”, to maintain “the condition of life”, singkatnya, “holding-to-be-true”. Dalam pengantarnya untuk buku The Gay Science, kita memperoleh gambaran yang sangat jelas:

[…] what was at stake in all philosophizing hitherto was not at all “truth” but something else—lut us say, health, future, growth, power, life.

Lantas, dalam hal apakah “truth” sebagai fiksi itu nampak jelas? Jawabnya: dalam skematisasi. Nietzsche menuliskan hal ini dalam salah satu aforismenya pada Der Wille zur Macht: “Not “to know” but to schematize—to impose upon chaos as much regularity and form as our practical needs require.” Klaim kebenaran bekerja dengan menskematisasi realitas yang kacau-balau (chaos) ini, mengatur dan menyusunnya sedemikian sehingga realitas ini tampak tertata, rapih dan siap untuk kita gunakan. Contoh yang jelas: penemuan ilmu ukur (matematika dan geometri) di Mesir sebenarnya dilatarbelakangi oleh kebutuhan praktis (practical need) rakyat Mesir untuk mengukur tingginya peluapan air sungai Nil. Tak ada yang dramatis di sini—tak ada penemuan yang heroik seakan-akan penemuan itu for the sake of truth itself. Kebenaran hanyalah sederet konvensi yang dirayakan dengan ribuan konfeti.
Kini kita akan membahas “kebenaran” dalam tataran yang lebih kasat mata, yaitu moralitas. Nietzsche melihat moralitas sebagai tanda dekadensi, suatu sikap ketidakpercayaan-atas-hidup. Dalam bab Origin of Moral Valuations pada buku Der Wille zur Macht, Nietzsche menggambarkan moralitas senada dengan penjelasannya atas kebenaran: “I understand by “morality” a system of evaluations that partially coincides with the condition of a creature’s life.” Moralitas adalah bentuk nyata dari klaim kebenaran di dalam masyarakat. Bagi Nietzsche, fenomena moral tak pernah ada, yang ada hanyalah interpretasi moral atas fenomena itu. Perbuatan seperti membantu orang tua, hidup sederhana, rendah hati, bukanlah perbuatan moral. Perbuatan semacam itu hanya kita tafsirkan secara moral. Sedangkan interpretasi itu berasal dari sesuatu yang bersifat extra-moral. Apa itu “extra-moral”? Untuk memahami ini, terdapat sebuah aforisme Nietzsche yang menarik:

Formerly one said of every morality: “By their fruits ye shall know them.” I say of every morality: “It is a fruit by which I recognize the soil from which it sprang.”

Dalam aforisme itu, Nietzsche sebenarnya berbicara tentang fenomena extra-moral. Orang pada umumnya melihat moralitas dari buah yang dihasilkan moralitas itu (misalnya perbuatan etis). Namun Nietzsche melihat sebaliknya: moralitas merupakan buah dimana kita bisa menyadari dari tanah macam manakah buah itu muncul. Bisa kita duga, “tanah” (soil) yang dimaksud oleh Nietzsche adalah masyarakat. Di sinilah kita dapat melihat analisa—dan juga kritik tajam—Nietzsche atas masyarakat Kristiani-Eropa.
Masyarakat Eropa yang Kristiani, bagi Nietzsche, telah menjadi masyarakat yang dekaden. “Apa yang ditolak oleh Kristus? Semua yang kini disebut Kristiani.” Dekadensi yang meresapi peradaban Eropa disebabkan oleh “paradigma berpikir Platonis”. Paradigma ini membuat manusia Eropa menghasrati pembebasan setelah kematian, semacam dunia Idea nya Plato, dan dengan itu menampik kehidupan itu sendiri. Maka itu, Nietzsche menyebut agama Kristiani sebagai “la religion de la souffrance humaine” (the religion of human suffering). Agama Kristiani mengajarkan manusia untuk menegasi dirinya sendiri, menyangkal eksistensinya di dunia, meredam gejolak manusiawinya. Semua itu dilakukan demi imbalan surga yang abadi dan final. Kritik Nietzsche atas Kristianitas “cukup” keras:

From the start, the Christian faith is a sacrifice: a sacrifice of all freedom, all pride, all self-confidence of the spirit; at the same time, enslavement and self-mockery, self-mutilation.

Bagi Nietzsche, moralitas Kristiani adalah “moralitas budak”. 

Moralitas ini adalah moralitas milik para budak: kesetiakawanan, saling mengasihi, menyangkal diri demi komunitas, semua itu merupakan ciri khas moralitas budak. Moralitas ini disebut pula “moralitas kawanan”. Moralitas semacam ini membuat orang-orang hanya berani hidup dalam kerumunan, dalam kebersamaan yang dangkal, dalam anonimitas yang aman. Nietzsche sendiri menulis, “Entry into real life—one rescues one’s personal life rom death by living a common life”. Bagi Nietzsche, tak ada jalan lain,moralitas semacam itu harus dihancur-leburkan. Moralitas itu bertanggung jawab atas dekadensi masyarakt Eropa yang semakin takut untuk berpikir, yang hanya berani hidup dalam kerumunan. “[…] the whole morality of self-denial must be questioned mercilessly and taken to court […]” There is too much charm and sugar in these feeling of “for others,” “not for myself,” […]”. Oleh karena itu dalam suatu adegan singkat di tempi sungai, Zarathustra bersabda:

O my brethren, is not everything at present in flux? Have not all raillings and gangways fallen into the water? Who would still hold on to “good” and “evil”?


Sekarang kita akan beralih menuju pandangan Nietzsche mengenai atheisme. 


Baginya, seperti ia tulis dalam Der Antichrist  (Sang Anti-Kristus), kepercayaan akan Tuhan tak hanya merupakan suatu kesalahan namun juga suatu “pengkhianatan atas hidup”. Kita menganggap Tuhan memang sungguh ada, namun kita tak sadar bahwa kita, nun dahulu kala, telah menciptakan-“Nya” dari ketidaktahuan kita. Begitulah kira-kira yang dimaksud oleh Nietzsche ketika ia menulis dalam Beyond Good and Evil: “circulus vitiosus deus”. “Lingkaran setan lah yang menciptakan Tuhan”. Nampaknya term “lingkaran setan” (vicious circle) di sini dapat diartikan sebagai “lingkaran setan logika”, yaitu hubungan antar konsep yang jalin-jemalin sehingga membentuk lingkaran penuh yang tanpa jalan keluar; circulus in definiendo. Contoh yang jelas adalah pertanyaan ini: “Manakah yang lebih dulu ada, telur atau ayam?”. Pertanyaan semacam itu hanya akan bergerak melingkar-lingkar saja tanpa jalan keluar, kecuali jika kita menghadirkan semacam deus ex machina sebagai entitas ketiga yang melampaui keduanya. Dan persis di sinilah, Tuhan dihadirkan. Maka Tuhan tercipta justru dari lingkaran setan, dari ketidaktahuan kita. Selain itu, Tuhan membuat manusia menyangkal dirinya, sebagaimana Nietzsche menulis dalam Ecce Homo (Lihatlah Manusia): “[…] what has been the greatest objection to existence so far? God.” Penerimaan akan adanya Tuhan dan moralitas Kristiani sebetulnya hanya merupakan kedok ketakutan manusia. Hal-hal itu membuat manusia merasa memiliki legitimasi yang sah di atas bumi (sebagai homo imago Dei), yang dalam kenyataannya merupakan makhluk kecil yang tak berarti, sebuah aksiden selintas di tengah gelombang “kemenjadian” dan arus buas dari jagad raya yang chaotic ini.

In summa: kebenaran adalah nilai yang berguna untuk melestarikan kehidupan manusia. 

Moralitas, sebagai manifestasi kebenaran dalam tataran sosial, adalah ciptaan manusia, atau lebih persisnya dalam konteks Eropa, adalah ciptaan orang-orang lemah (budak) yang hanya berani hidup dalam kerumunan. Masyarakat Eropa yang diresapi moralitas budak atau kawanan mau tak mau akan segera terjatuh dalam dekadensi. Tuhan, sebagai manifestasi kebenaran dalam tataran spiritual, adalah konsep kosong hasil ciptaan manusia yang lemah, yang lari dari kenyataan hidupnya, yang tak bisa lagi berpikir. Semua ini adalah gejala, tanda-tanda lahirnya suatu zaman yang muram: the age of nihilism.

Term “nihilisme” dalam pemikiran Nietzsche setidaknya memiliki dua arti: nihilisme sebagai kondisi dan sebagai laku. Sebagai kondisi, nihilisme merupakan sebuah keniscayaan historis. Sebagaimana ditulis oleh Nietzsche dalam Der Wille zur Macht:


What I relate is the history of the next two centuries, I describe what is coming, what can be n longer come differently: the advent of nihilism. This history can be related even now; for necessity itself is at work here. This future speaks even now in a hundred signs, this destiny announces itself everywhere; for this music of the future all ears are cocked even now. For some time now, our whole European culture has been moving as toward a catastrophe, with a tortured tension that is growing from decade to decade: restlessly, violently, headlong, like a river that wants to reach the end, that no longer reflects, that is afraid to reflect. […] For why has the advent of nihilisme become necessary? Because the values we have had hitherto thus draw their final consequence; because nihilism represents the ultimate logical conclusion of our great values and ideals—because we must experience nihilism beferoe we can find out what value of these “values” really had.

Kedatangan nihilisme adalah sesuatu yang niscaya.

Nihilisme terlahir dari kesalahan manusia sendiri. Kepercayaan manusia terhadap nilai moral yang mutlak, kepercayaan manusia pada Tuhan dan surga, kepercayaan manusia pada kebenaran yang baku, itu semua membuat manusia tak lagi berrefleksi, tak berani berrefleksi (no longer reflects, afraid to reflects). Kepercayaan kita pada nilai-nilai seperti itu telah mengantarkan kita pada konsekuensi finalnya: the advent of nihilism. Oleh karena itu, Nietzsche menulis pada bab European Nihilism: “What does nihilism mean? That the highest values devaluate themselves. The aim is lacking; “why?” finds no answer.” Kepercayaan manusia pada kebenaran sebagai kebenaran, pada adanya kebenaran absolut, kebenaran-pada-dirinya-sendiri, membuat kepercayaan itu sendiri runtuh. Nilai-nilai yang dulunya diyakini benar, kini mendevaluasi dirinya sendiri, hancur dengan sendirinya. Semuanya karena manusia hanya berani hudup dalam kawanan, tanpa bertanya, dan akhirnya, merasa tanpa tujuan, tanpa makna.

Nietzsche menjelaskan tentang nihilisme sebagai kondisi ini dalam tiga tahap: 

“[1] when we have sought a “meaning “ in all events that is not there […] being ashamed in front of oneself, as if one had deceived oneself all to long. [2] man has lost the faith in his own value when no infinitely valuable whole works through him; i.e. he conceived such a whole in order to be able to believe in his own value. [3] as man find out how thatworld is fabricated solely from psychological needs, and how he has absolutely no right to it, the last form of nihilism come into being: it includes disbelief in any metaphysical world and forbids itself any belief in a true world.” Nihilisme menyelimuti masyarakat kerumunan seperti awan gelap. Orang tak bisa menemukan makna yang sungguh menyentuh dalam kerumunan; ketika tersadar, ia merasa ditipu oleh dirinya sendiri. Orang menyadari bahwa nilai yang absolut itu tak ada; selama ini ia hanya berusaha percaya pada nilai yang ia pegang sendiri. Pada akhirnya, orang sadar bahwa semua yang kita anggap realitas, yang kita anggap benar, sebenarnya tak lain dari manifestasi kebutuhan praktis kita; ia kini merasa sakit hati karena telah dibohongi oleh keyakinannya sendiri ketika dulu percaya akan aadnya kebenaran, moralitas dan Tuhan. Oleh karena itu, Nietzche menggembar-gemborkan perlunya suatu upaya “revaluasi semua nilai” (Umwertung aller Werte), sebagaimana merupakan subjudul buku Der Wille zur Macht. Nilai-nilai lama seperti Tuhan, moralitas, kebenaran mutlak, harus dirombak total.

Pada titik inilah kita bisa mengerti maksud aforisme The Madman yang kita kutip tadi. 

“Tuhan telah mati!! Kebenaran telah mati!!!”. Lalu: “bagaimana jika bumi ini terlepas dari orbitnya? Apakah kita bergerak? Menjauh dari matahari? Menjauh dari segala patron? Apakah kita hanya berputar-putar saja? Mana barat, mana timur? Apakah kita tak menghirup udara kosong? Tidakkah kini terasa dingin? Kenapa hanya ada malam dan malam senantiasa? Tidakkah kita dengan suara bising penggali kubur yang sedang menguburkan Tuhan dengan ocehan gosip yang tolol, dengan sikap letoy, sebuah psikopatisme dalam kehidupan sehari-hari—seakan-akan kehidupan ini berjalan baik-baik saja? Mau kemana kita? Celaka, sungguh celaka…” Nietzsche bersorak: “Everything is false! Everything is permitted!”. Nihilisme membuat kita hilang tak tentu arah, seperti orang yang hilang di padang tandus. Kita tak lagi punya telos (tujuan), kita bahkan tak bisa tahu dari mana kita, kita terdampar. Maka: dimulailah tragedi, Incipit Tragödia.
Kini kita akan melihat arti kedua dari term “nihilisme”, yaitu sebagai laku. Sebagai laku, Nietzsche memaksudkan “nihilisme” sebagai suatu “sikap” dalam menghadapi kondisi nihilistis yang niscaya datang. Nietzsche membagi laku nihilis ini ke dalam dua bentuk: nihilisme pasif dan nihilisme aktif. Jika dalam menghadapi kondisi nihilitas manusia menyerah ke dalam sikap keputus-asaan, ketakutan, ingin lari dari hidup yang tanpa tujuan ini, maka manusia itu mennjalankan laku nihilisme pasif. Laku ini sangat dibenci oleh Nietzsche, nihilisme pasif adalah sebentuk penyangkalan atas hidup. Satu-satunya cara untuk “melampaui nihilisme” (Überwindung der Nihilismus) adalah dengan menjalankan laku nihilisme aktif. Laku ini mengatakan “Ya” pada hidup, dengan kata lain, mengafirmasi seluruh “kekacauan” (khaos) hidup ini. Dengan menjalankan laku ini, kita menjadi “manusia tragis”. Tapi perlu dibedakan antara pesimisme dan tragisme. Pesimisme adalah sikap menolak hidup, ketakutan atas ketidakbertujuan hidup ini. Pesimisme adalah muara sikap nihilisme pasif. Tragedi adalah sesuat yang agung di mata Nietzsche. Dalam Die Geburt der Tragödie, ia menulis: “Knowledge kills action; action requires the veils of illusion: that is the doctrine of Hamlet.” Sikap tragis hanya muncul karena ada unsur ketidaktahuan dalam diri kita. Hamlet tak tahu persis apakah yang ia ketahui itu benar atau salah, dan dia tetap berani mengafirmasi kehidupan, melancarkan konfrontasi atas pamannya, walaupun sungguh tahu bahwa hal itu dapat mengakibatkan kematian dirinya; ia mengamini itu semua dan berjuang hingga akhir. Dalam Götzen-Dämmerung (Senjakala Para Dewa), Nietzsche menuliskan bahwa orang sebijak Sokrates pun, pada akhirnya hidupnya, mengakui bahwa hidup itu sia-sia; hal itu terlihat lewat kata-kata terakhirnya: “To live—that means to be a long time sick: I owe a cock to the saviour Asclepius.” Nietzsche melihat dalam kata-kata Sokrates: hidup adalah sesuatu yang sia-sia. Bahkan kalimatnya yang terakhir, bahwa Sokrates berhutang seekor ayam pada Asklepius, menunjukkan betapa remehnya kehidupan itu, sebuah aksiden selintas yang tanpa arti. Jadi, sejak awal, hidup itu sendiri adalah tragedi. Manusia tragis adalah ia yang berkata “Ya”, mengafirmasi, menerima sepenuhnya absurditas kehidupan ini tanpa harapan akan surga dan segala tujuan final yang lain, tanpa menambatkan diri pada kepercayaan akan kebenaran absolut, tanpa takut tersingkir dari kawanan. Manusia tragis adalah manusia yang berani dipeluk oleh kesepian.

Berkata “Ya” pada hidup, mengafirmasi hidup, menerima sepenuhnya seluruh gejolak alam yang “chaotic”, maka kita akan sampai pada ajaran Nietzsche yang terkenal: kehendak untuk berkuasa.



Friedrich Nietzsche, The Will to Power diterjemahkan oleh RJ Hollingdale (New York: Vintage Books), 1968, hlm. 272.
Freidrich Nietzsche, The Gay Science diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Random House), 1994, hlm. 181.
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil dalam Friedrich Nietzsche, Basic Writing of Nietzsche diterjemahkan dan diedit oleh Walter Kaufmann (New York: The Modern Library), 2000, hlm. 209
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 288.
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil dalam op.cit. hlm. 201.
Oleh karena itu, mungkin bukannya tidak sengaja jika Nietzsche memasukkan tulisan yang kita kutip tadi pada bab pertama yang berjudul On the Prejudices of Philosophers (Tentang Prasangka-Prasangka Para Filsuf)
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, op.cit. hlm. 35
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 278
Ibid. hlm. 148. Dalam buku Genealogy of Moral, Nietzsche menunjukkan bahwa perkembangan moralitas selalu terkait dengan kekuasaan. Argumentasi tentang moral ini senada dengan argumentasinya tentang pengetahuan sebagai skematisasi (sebuah upaya penundukkan).
Friedrich Nietzsche, Basic Writing of Nietzsche, op.cit. hlm. 212. Dalam sebuah surat kepada kawannya, Franz Overbeck tanggal 8 Januari 1887, Nietzsche menuliskan bahwa Kristianitas dan dekadensi masyarakat Eropa merupakan kesalahan Plato: “And it is all Plato’s fault! He is still Europe’s greatest misfortune!”. Lih. Friedrich Nietzsche, Selected Letters of Friedrich Nietzsche diterjemahkan oleh Christopher Middleton (Indianapolis: Hackett Publishing Company), 1996. hlm. 258

Friedrich Nietzsche, Basic Writings of Nietzsche, op.cit. hlm. 220.

Friedrich Nietzsche, Thus Spake Zarathustra diterjemahkan oleh Thomas Common (London: George Allen & Unwin Ltd), 1967, hlm. 246.

Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 9. Nietzsche menolak memandang alam semesta sebagai kosmos (tatanan; keteraturan) karena baginya keteraturan merupakan hasil skematisasi manusia demi practical need nya. Bagi Nietzsche, alam semesta ini adalah khaos (kekacauan), gelombang dashyat yang bergolak tanpa akhir (eternal flux of becoming). Friedrich Nietzsche, Basic Writings of Nietzsche, op.cit.


Read more

Wednesday, October 4, 2017

METAFISIKA FILSAFAT | MAX STIRNER: PROLEGOMENA MENUJU NIHILISME | SINAU FILSAFAT

Sebelum Membaca Max Stirner : Prologemena Menuju Nihilisme Sinau Filsafat mengharapkan kalian membaca dahulu Tulisan : Kedatangan Nihilisme Nietzsche dalam postingan sebelumnya, sehingga kalian membaca Metafisika Filsafat ini secara sistematis menurut kami. Harapan kami kalian memahami, dan berdampak positif terhadap cara hidup pembaca, terimakasih.


max_stirner_sinau_filsafat
Max Stirner - Sinau Filsafat


Pemikirannya, sebagaimana tertuang dalam bukunya, Der Einzige und Sein Eigentum, dapat dikatakan telah mengantisipasi berbagai tema besar dalam filsafat abad berikutnya. Bersama Kierkegaard, Stirner dapat disebut sebagai bapak Eksistensialisme yang menekankan keunikan dan singularitas ego. Mendahului Nietzsche, Stirner dapat disebut sebagai bapak “Posmodernisme” yang menolak segala bentuk klaim kepastian rasio, segala bentuk ide tentang yang transenden (bahkan ide Kemanusiaan) dan menolak segala bentuk universalisme. Mendahului Bakunin, Stirner juga dapat disebut sebagai bapak Anarkisme yang menolak segala bentuk otoritas yang diimposisikan dari luar (seperti negara). Bersama Marx, Stirner juga dapat disebut sebagai orang pertama yang menganalisa kontradiksi internal dalam kapitalisme, yang berpikir tentang cita-cita masyarakat tanpa kelas dan yang berpikir tentang revolusi proletariat (walaupun Stirner, setelah melakukan analisa tentang hal ini, menolak segala ide ini). Ia juga mengkritik habis-habisan paham Liberalisme dan positivisme hukum. Melihat posisi pemikirannya yang membuka persimpangan jalan bagi tema-tema filsafat abad ke-20, maka sungguh aneh jika ia jarang sekali dibahas dalam sejarah filsafat Modern.
Buku sepanjang 400 halaman itu berlandaskan suatu semangat, yaitu semangat nihilis-egois. Ia menggunakan bahasa Jerman dengan penuh kelincahan dan permainan kata-kata dengan menciptakan segudang neologisme (hingga Marx pernah mengkritik kecenderungan “etimologisme”  pada Stirner). Motif dasar buku itu adalah kritik atas Hegelianisme yang cenderung mengutamakan peran Roh dalam mempersatukan segala sesuatu dalam suatu kesatuan organik yang niscaya.

Ia mempertanyakan berbagai larangan dan ketentuan yang mengharuskan manusia untuk melayani suatu tujuan lain yang dianggap lebih tinggi dari dirinya, seperti Tuhan, Negara, Roh, dsb. Menurutnya, segala ide-ide yang dianggap agung itu pun memiliki sifat egois. Tuhan, Moralitas, Kemanusiaan, semua itu merupakan ide tertinggi yang tak melayani yang lain kecuali dirinya sendiri. Tuhan, misalnya, tidak perlu melayani Kebenaran dan Cinta Kasih karena Ia sendirilah Kebenaran dan Cinta Kasih itu, Ia sendirilah ideal sempurna bagi diri-Nya sendiri; maka Ia hanya perlu melayani diri-Nya sendiri. Stirner menulis: “He serves nothing higher and pleases only himself. His cause is—a purely egoistic cause”. Oleh karena itu, ia melawan segala bentuk ajaran yang memandang bahwa manusia mesti melayani suatu Ide tertentu karena Ide itu suci, mulia dan penuh pada dirinya sendiri. Tak ada yang mulia dan bebas dari egoisme, semuanya egois. Maka aku, menurut Stirner, tak perlu mengupayakan suatu tujuan lain yang bukan berasal dari diriku sendiri. Maka:

Away with every cause which is not wholly and entirely my cause! Do you think that my cause must at least be “the good cause”? Good and evil indeed! I am my own cause, and I am neither good nor evil… My cause is neither the divine nor the human, it is not the true, the good, the just, or the free cause, but simply mine, and it is not anything general, for it is—unique, as I am unique. Nothing more to me than myself!

Melalui kutipan tersebut kita telah melihat bahwa Stirner menekankan sifat “unik” dari individu dan bukan sifat umum dari individu (misalnya kesamaan di hadapan hukum dan negara). Terlihat pula bahwa ia mengkritik Subyek universal Hegelian (dan Gattung alias “Bangsa-Manusia” Feuerbachean).

Stirner juga menolak segala bentuk transendensi (entah itu Tuhan, Kebenaran Sejati, Hukum Moral, dsb). Sang egois alias sang individu dalam pandangannya bukanlah sesuatu yang transenden, bukanlah Sang Manusia yang bermartabat dan adiluhung. “I am neither God, nor Man, nor the Supreme Being, nor my Essential Being”, tulis Stirner. Ia juga dapat disebut sebagai anti-Humanis pertama (mendahului Nietzsche dan Heidegger). Nilai-nilai transenden seperti Kemanusiaan yang adil dan beradab, Hukum Moral (seperti dalam Proudhon), Sang Manusia (dalam Feuerbach), adalah berbagai bentuk manifestasi dari filsafat Roh yang ingin mematuhkan individu dan meleburnya ke dalam kesatuan kolektif yang abstrak. Bersamaan dengan itu ia juga menolak hierarki karena “hierarchy is the dominion of thoughts, the dominion of Spirit”.

Menurutnya sejarah dunia tersusun dalam tiga fase. Pertama, era “Negroid”dengan budaya Mesir dan Afrika utara dimana proses abstraksi atas realitas Ilahiah baru dimulai. Kedua, era “Mongoloid” (dalam pandangannya sesuai dengan nilai-nilai Kristiani) yang mengutamakan kesatuan absolut antara dunia dan surga demi mencipta suatu “culture-heaven”  berdasarkan proses abstraksi yang merengkuh segala-galanya. Hegel, dalam pandangan Stirner, merupakan puncak dari zaman ini (yang telah didahului oleh Martin Luther dan Descartes yang mengutamakan suatu fakultas abstrak—iman/rasio—yang mengaburkan realitas konkret). Ketiga, era “Kaukasian” yang sedang akan datang (dimana yang berjaya adalah para egois). Menurutnya, proses ini merupakan keniscayaan historis. “Mongolisme” akan tumbang dan mencapai era Kaukasian karena manusia sadar bahwa Roh, Keutamaan Moral, dan segala bentuk ideal, adalah ciptaannya sendiri sehingga manusia, yang kini telah sadar dan menjadi egois, lalu mendeklarasikan: “Akulah sang pemilik [proprietor] dunia benda-benda, dan akulah sang pemilik dunia Roh.”

Liberalisme yang seakan membela individu dan memberikan kebebasan pada individu, bagi Stirner, sebenarnya merupakan muslihat tengik. Segala individu setara di hadapan hukum—apa ini kalau bukan generalisasi dan skematisasi terhadap keunikan diriku? Kebebasan sipil, Stirner menulis, “does not signify my liberty, but the liberty of a power which rules and coerces me… its liberty is my slavery”. Maka baginya Revolusi Perancis cuma menumbangkan rezim dan membebaskan “warga negara”, namun tidak membebaskan “individu”. Dalam bab Der sociale Liberalismus, Stirner menganalisa tentang kemungkinan tatanan masyarakat sosialis dunia. Baginya, terdapat kontradiksi internal dalam kapitalisme, yaitu kesetaraan manusia yang digembar-gemborkan secara teoritis dan sekaligus ketidaksetaran yang aktual dalam hal kepemilikian real. Hal ini akan mengarah pada destruksi negara kapitalis oleh kaum sosialis dan melahirkan suatu tatanan masyarakat tanpa hak milik pribadi dimana semua kepemilikan diatur oleh “Masyarakat” (Society). Namun hal ini, menurut Stirner, akan mengarah juga kepada tatanan pemimpin (“Masyarakat”) versus budak (individu). Stirner, oleh karenanya, menolak ide kaum sosialis. Sebab baginya individu mesti bebas dan memiliki sifat-sifatnya sendiri tanpa berbagai proses birokratisasi.

Stirner mengkritik pandangan tentang manusia sebagai “makhluk rasional” (animal rationale). Baginya segala bentuk labelisasi yang diterakan pada individu merupakan suatu ketakmungkinan. Mengapa bisa begitu? Ia menulis: “For I, from whom I start, am not a thought, nor does my essence consist in thinking. Against me, the unnameable, the realm of concepts, thought, and Spirit is shattered.” Esensi ego tidak terletak pada sifat rasionalnya. Individu tak pernah dapat dipahami, tak ternamai, tak terrengkuh segala konsep dan Roh. Ketika individu mulai mengalami keterjebakan pada kepemilikannya (misalnya kepemilikan atas fakultas rasio), ia dapat meninggalkannya atau menghancurkannya sebelum hal itu terkristalisasi menjadi suatu prinsip yang mengatur ego. “In order to secure my property, therefore I continuously take it back into myself, annihilate its every movement towards independence, and swallow it before it can crystallize itself into any kind of established principle.”, tulis Stirner. Dengan demikian individu dalam artian Stirner bukanlah suatu individu yang stabil dan statis melainkan individu yang terus bergerak terus berubah mengafirmasi dan menegasi dirinya sendiri seturut kehendak hatinya  sendiri. “I start by presupposing myself”, demikian Stirner, “a presupposition which I exist by consuming, for as The Unique One I repudiate the dualism of a presupposing and a presupposed self… rather, I posit myself or create myself, existing only in the act of positing myself moment-by-moment, as creator and creature in one.” Maka individu selalu menciptakan dirinya dengan mengubah, mengafirmasi dan menegasi dirinya sendiri.

Dengan menekankan sifat ketidak-konsistenan dari individu, Stirner jelas menolak paham Humanisme yang mengakui kualitas-kualitas luhur yang inheren dalam diri manusia. Baginya, “the religion of Humanity is only the last metamorphoses of Christian religion” Humanisme, dan/atau Kristianisme, adalah suatu bentuk keterasingan individu ke dalam kesatuan kolektif. Jika demikian, bagaimana sang egois berrelasi dengan orang lain? Ia, menurut Stirner, memiliki relasi dengan yang lain tidak sebagai sesama manusia melainkan sebagai yang masing-masing unik, suatu relasi antara Aku dan Engkau (I-Thou). Lantas apakah ego ini adalah suatu bentuk prinsip metafisis yang merengkuh segala sesuatu? Tidak. Stirner menulis, “it is not so much that ego is all, as that the ego destroys all, and that only the self-dissolving ego, the never-being ego, the finite ego—is really me.” Maka jelas bahwa ego, individu, bukanlah suatu prinsip metafisis yang merengkuh seluruh realitas melainkan justru sebaliknya. Ego itu terbatas, fana, dapat mati, dan bangga dengan kefanaannya, dengan kerapuhannya (lemah tapi pongah). Yang menarik lagi adalah bahwa Stirner menekankan aspek “ke-belum-an” dari ego itu sendiri, never-being ego, ego selalu belum, ego selalu tak mencapai kepenuhan. Maka bagi Stirner, hanya “transitory ego” inilah yang nyata; “umat manusia” hanyalah fiksi yang dirajut dengan berbagai konsep yang wah. Stirner menyebut ego sebagai “Yang Unik” (Der Einzige) persis karena ego itu dapat mati, dapat berubah, dapat hancur, dan tak tergantikan.

Pandangan mengenai sifat ke-belum-an dari ego ini memungkinkan Stirner untuk memandang individu sebagai yang dapat berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Ia tak sepenuhnya stabil, mantap, puas diri. “Wretched stability!”, kutuk Stirner. Oleh karena itu, ia juga menolak peran negara dalam masyarakat. “The State does not let individuals play as freely as possible […] but I am free in no State […] Get out of my sunlight”. Dengan kalimat ini Stirner telah menggemakan pekik perjuangan kaum anarkis. Negara hanya menggunakan aku, melakukan birokratisasi atas diri dan sifat-sifatku, dengan berulangkali menekankan di berbagai media bahwa “I am “worthless” in myself”. Egoisme Stirner jelas terkait dengan “kehendak”, sang ego adalah ego yang menghendaki, “what I want, I must have”, tulis Stirner, dan bahwa ego yang menghendaki adalah juga ego yang memutuskan: “Here egoism, self-seeking, must decide.” Dan kehendak, sebagaimana dalam Nietzsche, adalah kehendak yang terus menghendaki secara lebih. “I see nothing”, demikian Stirner, “but a multiplication of my power and which I preserve only so long as it remains my multiplied power.” Dengan kata lain, preservasi kehendak adalah peningkatan kehendak, pengakumulasian “kekuasaan” (power) yang lebih besar. Ia menulis (kita barangkali akan teringat Nietzsche), “power is only a simpler word for the manifestation of power”.

Sekilas Stirner memang nampak seperti seorang pragmatis-utilitarianistik. Namun ia lebih dari sekedar itu, ia tidak “setengah-setengah” (dalam arti melakukan perhitungan, misalnya dengan birokratisasi, agar kenikmatan bisa meningkat), ia juga tidak peduli dengan kegunaan praktis. Lihatlah kata-katanya: “enjoyment of life means using life up”. Maka dapat dikatakan bahwa self-enjoyment is a self-destruction, bahwa penikmatan diri adalah penghancuran diri. Saya bisa menikmati diri saya dengan “menghancurkan” diri saya, dengan menggunakan daya hidupku habis-habisan.

Bagi Stirner, pikiran, yang biasanya disebut sebagai mahkota kesadaran dan sesuatu yang membuat manusia berdiri di puncak ciptaan, adalah sekedar salah-satu bentuk manifestasi kehendak. “Absolute thought”, tulis Stirner, “is nothing but that thinking which forgets that it is my thinking… that it only exists through me… that it is only my judgement, which I can at any moment change, i.e. annihilate, take back into myself, and consume.” Lebih jauh lagi, Kebenaran hanyalah sekedar hasil pikiran. Stirner menulis, “Truths are men’s thought, expressed in words and therefore just as extant as other things”, dan bahwa kebenaran hanyalah “phrases, forms of speech, words—when brought into connection or into an articulate series, forming logic, science, or philosophy” tapi selalu “nothing but words” dan bahwa “the Truth itself is dead, a corpse; it is alive only in the same way as my lungs are alive—as the measure of my vitality”. Maka, bagi Stirner, pemikiran hanyalah sekedar parodi yang “bisa kau buang ketika sifat humornya sudah habis”.

Ketika buku tersebut diterbitkan, yaitu pada tahun 1844, kaum intelektual Jerman segera memberikan reaksi yang keras. Szeliga dan Feuerbach mengkritik buku tersebut melalui jurnal ilmiah. Moses Hess, yang telah berkonsultasi terlebih dahulu dengan Marx dan Engels, menuliskan suatu pamflet berjudul “Filsuf-Filsuf Terakhir” yang mengkritik buku itu. Pada tahun 1845 Stirner membalas mereka dengan mengklarifikasi bahwa, sebagai konsep, “Yang Unik (Der Einzige) tak memiliki isi” (dalam arti tertentu, ia bukan konsep sama sekali) karena “bersamanya segala evolusi konseptual mencapai akhirnya” (dalam arti tertentu, ia menandai akhir dan batas segala konseptualisasi). Mari kita kutip lebih panjang:

Someone who calls you Ludwig does not mean any old Ludwig, but you, for whom he lacks a word. What Stirner says is a word, a thought, a concept; what he means is no word, no thought, no concept. What he says is not what he means, and what he means cannot be said. […] Thus you are without predicates, as you are without determination, without vocation, and without laws.

Dengan demikian, Stirner menekankan sifat keunikan, singularitas, yang tak terbahasakan dalam bentuk apapun, yang tak terrengkuh oleh konsep seketat apapun, dari individu. Maka sebenarnya Stirner melawan segala bentuk “kepenuhan makna” dalam bentuk apapun (bahkan dalam bentuk ego, karena Stirner memandang ego sebagai sesuatu yang terus berubah berkontradiksi dan dapat menghancurkan diri). Yang ia lawan bukanlah cinta atau pikiran ataupun sosialisme; Stirner menulis, “not against love but against holy-love, not against thought but against sacred thought, not against the socialist but against the devout socialist.”

Jika Stirner kita bandingkan dengan Nietzsche, maka setidaknya kita akan melihat lima jenis persamaan gagasan: pertama, pro-kefanaan dan anti segala bentuk ide tentang yang transenden; kedua, anti-moral; ketiga, anti-otoritas; keempat; penekanan pada penegasan-diri; kelima, penekanan pada kehendak. Walaupun Nietzsche tak pernah membaca buku Stirner, Karl Löwith mencatat bahwa “Stirner has often been compared with Nietzsche, to the point of asserting that Stirner was the “intellectual arsenal” from which Nietzsche derived his weapons.”  Meski demikian terdapat setidaknya tiga jenis perbedaan di antara keduanya. Pertama, Stirner tak berupaya melakukan revaluasi atas nilai-nilai yang dekaden. Kedua, Nietzsche masih mengakui perbedaan esensial dari jenis manusia pemimpin dan budak sementara Stirner menolak membandingkan manusia satu sama lain karena setiap manusia tak terbandingkan dan tak terskematisasi. Ketiga, manusia Stirnerian adalah Un-Mensch (“sang non-manusia”, karena “manusia” adalah konsep umum) dan bukan Übermensch yang hampir memiliki status transenden dalam pemikiran Nietzsche. Stirner menulis, seakan seperti mengejek Nietzsche, tentang Yang Unik itu: “I have no vocation and follow none, not even that of becoming Superman. […] By the side of Man there always stands the Unman, the solitary one, the egoist… invincible Devil”.


Max Stirner, Der Einzige und Sein Eigenthum dalam RWK Paterson, The Nihilist-Egoist: Max Stirner (Oxford: Oxford University Press), 1971, hlm. 65


Read more